Oleh: M.Iqbal.M
“Yang Indah bersuara dengan bisikan,
ia menyelinap ke jiwa-jiwa yang paling waspada.” (Demikian Zarathustra Bersabda II, “Kaum Berkeutamaan”)
Sejauh Mana Masyarakat Sipil Mengetahui Ada Tidaknya Covid-19.
Apakah masyarakat sipil/awam yang percaya covid itu ada dengan mengatakan bahwa "lihat saja apa yang dikatakan para tokoh pejabat, medis, dan seterusnya", itu sudah mempelajari covid secara saintifik dan komprehensif, serta masuk kedalam laboratorium ?.
Apakah masyarakat sipil/awam yang percaya covid itu tidak ada dengan mengatakan bahwa "lihat saja RS yang sepi atau statistik orang sakit dimanipulasi sehingga terlihat banyak yang sakit covid", itu sudah meneliti/memantau/mengelilingi seluruh kota dan melihat dengan mata kepala sendiri selama 24 jam terus-menerus sekaligus meneliti subjek-covid dilaboratorium saat itu juga, serta selalu mengawasi saat medis memeriksa subjek terduga covid disaat itu pula ?.
Jika itu semua belum dilakukan, maka perdebatan antara masyarakat sipil yang percaya atau tidak itu hanyalah perdebatan yang abu-abu atau abstrak.
Hal-hal semacam itu tidaklah ada yang sungguh-sungguh valid jika dilihat dari kaca mata skeptisisme radikal. Maka, setiap orang awam/masyarakat sipil berhak mengambil keputusan sesuai kemampuannya masing-masing dalam hal memperoleh kebenaran, pun dalam hal mengambil keputusan.
Akan tetapi tentu saja dengan catatan bahwa setiap orang hendaknya sebisa mungkin menjalankan protokol kesehatan (toh sekedar protokol kesehatan tidak terlalu merugikan) sebagai langkah antisipatoris, serta terus-menerus mencari pengetahuan sebanyak mungkin agar tidak terlalu terjebak kedalam keterpurukan berbagai narasi-narasi dogmatis antara yang mengatakan bahwa covid itu ada dan covid itu tidak ada.
Bahkan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat filosofis sangatlah penting di tengah krisis dan pandemi. Sebab adanya situasi serba dilematis semacam inilah yang mendesak manusia untuk lebih giat lagi dalam merenungi seluk-beluk kehidupanya. Dan agar perenungan bisa dilakukan secara mendalam, maka salah satu caranya dengan banyak belajar filsafat (segala bidang keilmuan tentang manusia dan jagad raya).
Ontologi Pesimitik.
Terlepas dari itu semua, fenomena semacam itulah yang mengafirmasikan bahwa memang hidup itu abu-abu dan tidak masuk akal. Hidup adalah suatu kekacauan yang diregenerasi. Suatu peradaban chaos yang sejauh ini enggan mengatakan bahwa sesungguhnya peradaban memanglah sebuah chaos yang tidak pantas untuk dilanjutkan. Tapi seringkali manusia tidak menyadarinya atau tidak mampu mengakuinya, kerena mereka menganggap bahwa memang beginilah adanya dan kita dipaksa untuk melanjutkan peradaban dengan beregenerasi.
Itulah kenyataanya. Bahkan lebih jauh lagi, bila ditinjau secara ontologis dalam filsafat, maka semua narasi tentang kepercayaan terhadap apa yang "ada" atau apa yang "tidak ada", sesungguhnya hanyalah sebuah ilusi. Tidak pernah ada yang benar didunia ini, sebab siapapun yang masih hidup tidaklah akan bisa menemukan kebenaran sebelum ia mati.
Namun, bukan berarti "ada"/eksistensi mendahului esensi–seperti kata Jean Paul Sartre–melainkan kita tidaklah pernah bisa bereksistensi, sebab eksistensi itu sendiri merupakan ilusi/bayang-bayang. Dengan kata lain, kita ada hanya sekedar sebagai ketergelincirian dari "ada disana/dalam dirinya sendiri" atau kalau kata Martin Heiddeger ialah Da-sein.
Banin Diar Sukmono, dalam karyanya berjudul Kemandirian Dunia dalam Pemikiran Heidegger (2017), dengan cermat dan jernih menjelaskan bahwa bagi Martin Heidegger; ‘ada’ ialah kehadiran yang memiliki karakter “ada memberi,” “ada menghadirkan”. Maksudnya ada itu tidak mengada–sebagaimana entitas–melainkan memberikan kehadiran entitas. Dengan kata lain, ada dan entitas sifatnya struktural dan bukan kausal. Serta senantiasa belum mencapai suatu yang final (finalitas).
Namun, kehadiran pada manusia sebagai yang sudah selalu datang dan terus datang ini perlu dipahami secara tepat. Kehadiran dalam arti ini bukan berarti manusia secara aktif memproduksinya atau melakukannya lewat kesadaran yang persis dilakukan oleh Sartre. Oleh karenanya, kehadiran yang tak bisa dikontrol oleh manusia ini juga merupakan syarat mutlak adanya manusia. Dengan kata lain, “Dunia” juga bisa menampakkan dalam berbagai cara dengan sekitarnya secara a priori maupun aposteriori (Being and Time, 1996).
Dengan demikian, apakah anda masih optimis dengan kebenaran yang anda peroleh atau optimis dengan keberlanjutan tradisi-tradisi yang telah dimapankan oleh peradaban ?.
Setelah anda mengetahui bahwa kepercayaan antara "ada" dan "tiada" hanyalah ilusi (yang masih terus-menerus menjadi/non-finalitas), mungkin kini anda menjadi pesimis dalam menjalani hidup. Dan memang benar adanya, bahwa satu-satunya yang masuk akal adalah hidup itu tidak pantas untuk dijalani. Dengan kata lain, yang masuk akal adalah pesimisme atas hidup, bukan optimisme atas hidup.
Namun, apakah anda mampu untuk menjadi seorang pesimis sepenuhnya ?, mungkin ada yang mampu dan ada yang tidak. Hanya yang sanggup meruntuhkan vitalitas dirilah (melenyapkan fisiologis-psikologis) yang bisa dijuluki sebagai seorang pesimis sepenuhnya. Akan tetapi tentu saja hal itu sangat mustahil dilakukan oleh orang-orang yang belum sanggup melakukan upaya kemuliaan semacam itu.
Orang-orang yang tidak sanggup itulah yang hendaknya terus-menerus mengupayakan pesimisme, bukan malah menjadi optimis sepenuhnya ataupun menjadi pesimis sepenuhnya. Kondisi dimana orang yang terus-menerus berupaya menerapkan pesimisme inilah yang disebut sebagai "menjadi bayi", seperti yang dikatakan secara aforistik oleh Friderich Nietzsche dalam risalah magnum opusnya berjudul Zarathustra (1883). Istilah "bayi" inilah yang digunakan Nietzsche untuk menamakan seseorang yang tidak menggebu-gebu dalam menjadi pesimis pun tidak menggebu-gebu dalam menjadi optimis.
Kriteria orang seperti ini adalah kriteria orang yang selalu gamang, selalu berhati-hati dan selalu mereevaluasi hidupnya secara terus-menerus. Dalam konteks wabah covid-19 ini, ia tidak terpaku oleh kebenaran yang diperoleh dari para tokoh pejabat dan medis, atau kebenaran dari para tokoh konspirator.
Ia memilih untuk tetap mengantisipasi tapi juga tetap skeptis terhadap medis atau segala macam tokoh. Ia hidup diantara ketegangan-ketengangan fenomena dikotomi semacam itu. Sebab seperti yang dikatakan dimuka tadi, bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat niscaya/pasti. Semua selalu bersifat abu-abu. Tidak ada yang mudah di hitam-putihkan. Serupa metafisika Heraklitus yang menganalogikan kehidupan bak api yang senantiasa bergerak secara dinamis.
Kebijaksanaan.
Maka dari itu, yang bisa kita lakukan sebagai "bayi" adalah bertindak sebaik/sebijak mungkin dalam mengisi sisa hidup kita. Entah dengan cara berupaya tidak melahirkan keturunan, mengurangi hasrat-hasrat destruktif atau konsumtif, mengurangi mengeksploitasi bumi, bahkan meninggalkan tradisi kompetitif dalam membangga-banggakan kemewahan ataupun "daya hidup".
Semacam itulah upaya kita sebagai "bayi" sembari menunggu ajal tiba (misteri tentang ajal). Apakah upaya sedemikian itu mungkin untuk dilakukan ?, tentu saja mungkin, asal kita mau berupaya, namun tentu saja juga tergantung dengan seberapa mampu individu itu berupaya. Sebab setiap individu itu mempunyai kemampuanya masing-masing.
Orang-orang yang sedang berupaya semacam itulah yang juga biasa disebut sebagai pengikut Diogenes. Para manusia yang berupaya meninggalkan "keduniawian" dan memilih untuk menikmati hidup tanpa ada intensitas perasaan yang terlalu menggebu-gebu dalam menjalaninya. Mungkin juga bisa diartikan sebagai upaya pelampauan atas dikotomi kesedihan dan kesenangan, salah dan benar, hitam dan putih.
Atau juga bisa disebut sebagai seorang Promethean yang terus-menerus mencari Api kedamaian, walau konsekuensinya berupa pesakitan, kesendirian, dan kebuntuan, namun ia tetaplah berbahagia dengan semua kutukan yang menerpa dirinya. Sebab memang hidup adalah kutukan dan kita semua dipaksa menikmatinya, sembari—bergumul dengan—sekaligus mengupayakan altruisme dan asketisme.
Daftar pustaka:
Stambaugh, Joan, Being and Time. Joan Stambaugh, Albamy: State University of New York Press, 1996
Sukmono, Banin Diar, Kemandirian Dunia Dalam Pemikiran Martin Heidegger (Kritik Atas Pembacaan Materialisme Spekulatif Quentin Meillassoux, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,2017
Nietzsche, Friedrich Wilhem, Zarathustra, Yogyakarta: IRCisoD, cetakan pertama 2019.
Sumber Bacaan Lainnya:
Wibowo, A.Setyo, Gaya Filsafat Nietzshe, Yogyakarta: Kanisius, Edisi elektronik.
Budi, F.Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, Jakarta: KPG, cetakan pertama 2012.
Sugiharta, Bambang I., Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogya-
karta: Kanisius, cetakan ke-4 2001 (cetakan pertama terbit tahun
1996).