Sing "I'm slow woles woles baby baby..
Rasakno aku wes wani perih baby..
Rungokno, ku alami hal yang sama dengan dirimu... "
Dendang Jaran Goyang lagu dari Nela Vallen renyah nan ceria didendangkan Yu Ginah pagi itu, megat-megot, bergoyang goyang sembari ngangkat mendoan dari penggorengan. Bergoyang bak orang ra due utang tidak punya tanggungan happy selalu, bergoyang ala pedangdut koplo pro yang lagi naik daun, bernyayi tanpa takut suaranya dipolitisi media murahan atau jadi viral berbau hoax dengan lantang nan sumbang memecah pagi itu.
"Mboookk... simboook, iki piye? Bagaimana? Malah nyonya-nyayi!! Udah pas belum?" ujar Anna anak gadis Yu Ginah yang sedari tadi mematut-matut-kan spanduk atau banner baru untuk warung Yu Ginah. Harapannya Warung kecil di depan pasar impres Desa Parang Pojok itu mendapatkan pelanggan yang lebih banyak, bukan hanya orang itu-itu saja, yang kerjanya pada nge-bon bayar tak jelas, Bunyinya kira-kira begini:
"WARUNG KOPI YU GINAH, WARUNG KOPI PRIBUMI"
DISKON KHUSUS BAGI PRIBUMI SEBESAR 20%"
Sedikit propokatif memang, tapi mungkin ini cara Yu Ginah menawarkan aneka penganan di warungnya yang syahdu itu.
"gimana ini Mbok, sudah pas belum? Tapi, ngomong-ngomong iki opo to mbok? Kok pakai banner segala? Kayak kampanye saja, Mbok?" Tanya anna yang telah selesai memasang sepanduk itu, mengamat-amati untuk dibaca. Tapi Yu Ginah yang ditanyai tak menggubris malah makin asik dan syahdu mendendangkan dangdut koplo, sekarang dengan judul "Sayang" dari Via Kharisma tetap sembari megat-megot tak karu-karuan menirukan biduan dadakan product sosmed dan youtube. Anna yang sedari tadi memangling-mangling hasil kerjanya meminta penilaian dari Sinboknya tak tak digubris, malahan dicueki, terang saja Anna jadi sedikit agak kesal
"Simbook..... ada cowoo ganteeng, mirip bintang Sinetron anak langit lhooo...!!!" Seru anak gadis Yu Ginah itu keras-keras macam ahli agitasi politik kelas kampung desa sebelah.
Sontak saja Yu Ginah lari cincing jarik sambil ngangkat kainnya dengan tangan megang sothil, serbet di bahu dan susur di bibir eksen andalan, lari tergopoh-gopoh menyambut wong ngganteng liwat.
"Endi? Mana-mana?" Ujar Yu Ginah menyahuti umpan dari Anna, ternyata yang datang adalah Bagong bareng Katon, keduanya berboncengan dengan sepeda C70 yang lagi ngetrend jaman now. Tentu saja Yu Ginah mrengut, kecewa.
"Badala iki tow? Duo anak tua jalanan. Ora menarik sama sekali?" Tambah Yu Ginah menggerutu dengan segala kekecewaannya.
"Opo to Yu? Baru juga datang udah semprot sana sini saja. Belum juga bikinin kopi?" Sahut Katon memprotes omelan tak berdasar dari Yu Ginah.
Lalu tambah Bagong "Iyo kang" sembari nyumet udud  --klepuss---
"marah-marah aja, nanti awet tuwa lho, udah ngga jamannya sok-sokan marah-marah, sekarang jamannya sok-sokan sopan mengayomi dan islami" --klepuus---satu sedotan udud sebelum Bagong meneruskan protesnya.
"semalem bola kalah, lalu tadi di tempat mbaca koran di Balai Desa ngga ada brita bagus, Politik melulu, semua halaman mbahas masalah pribumi, kayak ngga ada brita lain? Kopi siji Yu, satu, sing pait, pait kaya nasib bangsa ini yo. Huh!!" Gerutu bagong memprotes dan mengomel.
Lalu Bagong meneruskan menikmati tembakaunya sembari meletakkan pantatnya di kursi panjang warung Yu Ginah, warung itu tata sedemikan terbukanya, menghadap ke jalan dengan 3 meja berjajar dilengkapi dengan sepasang kursi panjang tiap mejanya, berikut panganan, nyamikan serta pirantinya, lalu catur di tiap mejanya. Tentu saja TV tabung 17" di pojok atas warung tersebut, biasa buka mulai pagi buta sampai jam 8 mlm. Ini adalah cafnya orang-orang marjinal Parang Pojok, warung ngudo roso, warung rakyat diskusi mencerdaskan diri dan bangsa suapanya tidak melulu dibodohi oleh Pemimpin-pemimpin tengik bangsa ini. Entah itu raja-raja kecil level bupati, DPRD, DPR sampai pucuk tertinggi dan petinggi-petinggi partai, semua tengik, tengik macam gorengan warteg seminggu tak laku-laku, lengket, dekil bau, meracuni dan menipu, kelihatannya enak tapi tengik.
Maka, begitulah warung Yu Ginah terbentuk dan terpelihara, walau kadang yang cenderung sering terjadi perdebatan macam di tipi, tapi toh mereka masih merasa sedulur tidak ngawur membesarkan otot lengan dan urat suaranya, yang pasti warga Desa Parang Pojok itu bahagia dan damai.
"Iyo Yu britanya politik melulu, kalua ndak Pribumi ya UU Ormas, mbok mbahas kemiskinan bangsa ini, remaja-remaja kita yang makin bubrah bin ruwet, tambang kita, petani yang meringis dan menangis, malah rebutan jatah saja isinya. Ora mutu!!!!" Katon melanjutkan gerutu Bagong.
"aku kopi siji juga ya Yu, jangan pait-pait" tambahnya.
 "eh..eh.. iki opo to Yu, poster apa, itu apa yang kamu pasang Ann. mau ngadain lomba demo lagi pow?" tanya Katon ketika melihat poster yang dipasang Ana pada dinding warung simboknya.
"Warung kopi Yu Ginah, warung kopi pribumi, diskon khusus bagi pribumi sebesar 20%" Katon membacanya sembari mengernyitkan dahi, mikir. "Wah wah ide siapa ini? Bisa ramai ini, ngga bener ini, ngga bener." Sahut katon memprotes isi poster tersebut.
"embuh.. tanya simbok tuh, aneh-aneh saja. Ini kan jadi menghilangkan hiburanku, nanti para artis-artis Korea yang mau belanja kesini kan jadi mikir mereka, karena merasa didiskriminasikan, macam Gong Yoo, Lee Min Ho, Choi Si..." Belum juga selesai Anna meneruskan kalimatnya Yu Ginah meraupi muka Anna dengan tangan belepotan adonan gandum. Sambil keluar membawakan kopi pesanan Bagong dan Katon Yu Ginah menimpali ucapan anaknya.
"Meneng koe... diam koe Ann, sukanya kok ngimpi.., delusi kayak yang katanya ilmuwan itu siapa itu BH, eh DH?. Gini lho Kang, ini kan dalam rangka usaha saya memajukan warung ini, jadi ini termasuk cara saya melakukan negosiasi dengan konsumen dan bargaining, ya to? Terus menyatakan bahwa warung ini juga cinta dan pro pribumi?" Terus Yu Ginah sembari mebetulkan letak susur di mulutnya.
Sejurus kemudian Bagong menyahut setelah nyruput kopi yang telah disediakan oleh Yu Ginah.
" Eheem.. ehhm" gaya Bagong berdehem macam politikus yang hendak memberikan pidato." Bagus, bagus.. kita itu memang harus pro pribumi dan tidak harus takut bahwa kita ini pribumi ya to? kalau kita minder menampakan jati diri kita, lalu bagaimana ketika menghadapi bangsa lain? Bagaimana ketika asing dan aseng mulai agresif melakukan penetrasi di segala bidang, semua dikuasai dan diakuisisi tak tersisa. Huh!!" jawab Bagong menggebu gebu seperti biasa, penuh semangat dan cadas.
Lalu terusnya, "Kita mau apa? Bisa apa? Apalagi belakangan orang-orang Tiongkok itu mulai berdatangan baik sembunyi-sembunyi alias illegal atau resmi? Mau diinvasi lewat apalagi kita? Udah ini bener, setuju!! persis seperti pidato dari Kepala Desa tetangga yang baru, Pak Ais Bassedan. Top itu jempolan. Sing singkek dan sing encik minggir kono pergi hih." Terocos bagong mirip angkutan konvensional yang takut kalah saing dengan angkutan online, srudak-sruduk seperti biasanya.
Katon mengamati mereka berdua dengan keki, lalu bia berujar." Weeh lha aku ki mung takon, saya cuman menanya, kok malah pada pidato tow? Tadi waktu di balai desa kan kita sepakat Kang Bagong, tidak usah dibahas, mboseni, piye to?" lalu tambahnya "bukan begitu, ini nanti kalau tahu warga yang merasa dideskreditkan apa tidak menyinggung mereka, menyakiti hati paseduluran. Jelas ucapan dari Pak Kades Ais itu kurang tepat, salah. Kok malah didukung piye tow?" katon anyel dan sedikit mangkel.
Memang juga sobat karib beda bapak lain ibu, juga berbeda selera dalam menilai wanita, kendaraan apalagi dalam berpolitik, tapi tetap saja meskipun mereka sering berantem dan berdebat dengan hal yang tak jelas tapi tetap saja mereka rukun dan happy, yang jelas mereka punya kesamaan. Sama-sama suka ngutang di warung Yu Ginah.
"Karepmu Ton...Katon, terserah kamu lah," Bagong meneruskan menikmati kopi dan rokoknya sambal jegang. Suasana pun menjadi kurang kondusif. Â Merekapun memilih menikmati kopinya masing-masing dan gadget di tangan dan Yu Ginah kembali nggoreng panganannya.
Lalu kemudian, suara uluk salam yang dengan lafal sedikit cedal pun bergema menyapa kecanggungan antara Bagong dan Katon.
"Assalamualaikum blatel semua.. fagi-fagi sudah pada ngelumpi yak" Ucap suara dari orang yang baru datang menyapa.
 Ternyata yang datang adalah Koh Jii Shu, china muslim langganan Yu Ginah yang biasa mampir untuk menikmati kopi dan pisang goreng-nya, bahkan sakin ingin diakui bahwa dia Muslim Koh Jii Shu ini sudah umroh 5 kali berikut dengan 5 karyawannya, meskipun umrohnya cuman bonus penjualan dari produsennya. Koh Jii Shu adalah pedagang beras yang juga membuka warung klontongnya di Pasar impres Desa Parang Pojok.
"Eh.. ada Koh Jii, monggo-monggo, silahkan duduknya dipilih sendiri. Kebeneran pisangnya anget-anget baru saya angkat." Sambut Yu Ginah sumringah.
Lalu segera saja Koh Jii Shu beranjak masuk ke warung Yu Ginah, tapi beberapa saat hendak meletakkan pantat nya ke kursi panjang, Koh Jii Shu  mengernyitkan dahi lantaran membaca banner yang terpasang di diding warung itu.
"Oeeiii... afa ini iyaa. Oe kagak tahu a maksudnya a? Bole dipeljelas Yu?, ini diskliminatif a, kamu olang mau ikut-ikutan kepala desa sebelah yang balu itu a? telsinggung oe." Koh Jii Shu pun membatalkan duduknya dan memprotes isi poster yang terpasang di dinding itu.
"Naaah kan kandani tooo, iki bakale gawe masalah akan bikin masalah, ngeyel!!" Sambar Katon membara.
"Heh ra marai koe Ton. Ngga usah ikut-ikutan manasin suasana. Udah sumuk en gerah ini" Bagong membalas celetuk Katon tak kalah membaranya, kemudian lanjutnya "lho, sampeyan ngaku sebagai pribumi tidak Koh Ji? Atau sampeyan bukan pribumi? Yang mana? Kalau sampeyan merasa pribumi ya biasa saja lah. Kita itu sebagai warga negara Indonesia harusnya bangga bahwa kita ini pribumi asli Bangsa Indonesia ini. Kok mahal tersinggung piye to?" Lanjut Bagong menerangkan.
"Fukan Fegitu e. Oe tumfah dalar Indonesia, kalau misalnya ada felang oe majulah faling devan, tafi kalau ditanya apa asli dai penduduk sini oe lagu-lagu juga meskifun oe cinta mati dengan bangsa ini e. coba oe tanya fada kamu olang semua, saya lahil disini tafi kake nene oe pelantau a, dali Yunan, dalatan Tiongkok. Lalu fosisi oe mau dimana ini. Dikata plibumi atau kamu olang kata oe non plibumi? Dafat diskon tidak di walung ini?... aeeeee semakin fusing a hidup di negala ini, olang-alang sendili semua suka bikin masalah a?" Koh Jii Shu yang merasa tersinggung berusaha menanya membela diri, mencari tempat bagi kaumnya, mencari jati diri bangsa yang sejatinya justru anak bangsa sendiri yang membuat bingung siapa sebenarnya diri kita.
"Aduuuh mumet aku, pusssing?" Bagong garuk-garuk kepala sendiri, merasa kebingungan dengan termin "Pribumi" itu sendiri dan siapa yang harus disebut pribumi? Dan siapa-siapa saja yang bukan pribumi.
"Ciakakakaka... modyar koe gong, Bagong leyong nabrak gentong, sudah aku bilang ngga usah ikut-ikutan sok-sok membela pribumi karena pidato Kades desa sebalah Pak Ais Bassedan itu. Wis Yu Ginah copot Bannernya, bikin rusuh saja, ayo Ann, copoten.. lepas saja banner nya." Katon menyela mencoba mencari pembenaran atas pendapatnya dan merasa punya posisi.
"Opo to Mass Katon, masih pagi kok minta copot saja, nanti laah maluu.." Ujar Ann merajut tak kalah kemayunya dengan Simbok sematang wayang nya.
"Husss.. Yu Ginah koe kui Ann. Hehe... bukan begitu Koh Jii dan Kang Katon, ini kan semata-mata adalah cara saya mencari pelangggan atau membuat tambah laku dagangan saya ini. Lagian semalam saya sudah dikasih subsidi jika mau memasang ini.... Eh eh eh" Â Tak sadar Yu Ginah ketrucut, keceplosan bahwa semalah telah didatengi orang dan dikasih komisi jika memasang banner atau sepanduk itu.
"Pokoknya ngga bisa, jadi tetap yang pribumi akan saya berikan diskon yang non-pribumi tidak akan mendapatkan diskon, nah untuk Koh Jii berhubung njenengan adalah tetangga warung, akan ada pengecualian. Koh Jii akan mendapatkan diskon jika belanja lebih dari 50 ribu, yaitu diskon 10% hehe... Giman enak tow? " tegas Yu ginah berpromosi layaknya SPG di showroom mobil bekas.
Tentu saja Koh Jiii Shuu merasa nelangsa dan kecewa dengan kedaan, bagaimana tidak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap warga se-ras dengan Koh Jii Shu ini selalu dipersulit jika mau mebikin KTP Â atau surat lainnya. Jadinya selalu belakangan, sering kali juga diminta uang tambahan lebih mahal daripada yang lain.
"Heeh, semakin menyebalkan saja we. Kemalen Oe bikin e-KTF saja halus bayal 3 kali lebih mahal a, fadahal glatis, sudah gitu nunngu sampai tahunan, bikin jalan tlans-Sumatla, tlans-Bolneo, transpesal apalah itu bisa a, kamu olah bikin E-KTF begitu saja ndak becus?? Ini negala cap apa. Lalu ini kamu olang ya, oe mau ngofi dan makan fisang goling kesukaannya we saja kok juga halus mengeluarkan uang yang lebih, diskliminasi, oe menolak a, bial oe fanggil lekan-sekan Oe sekampung biaaal.." Marah Koh Jii diperlakukan berbeda oleh kebijakan yang dibuat oleh Yu Gunah, dimana kebijakan itu dibuat demi mendapat keuntungan pribadi namun tidak memikirkan obyek dari kebijakan itu seperti Koh Jii ini.
Mecuculah Koh Jii Shu, mbesengut nan marah. Ternyata benar saja, serius Koh Jii Shu melakukan makar terhadap warung Yu Ginah. Difotonya banner di dinding Yu Ginah dan disebarkan di WAG (Whatsapp Group) Desa Parang Pojok dan di group Komunitas Etnis nya. Tentu Yu Ginah jadi kelabakan, bigung dan meras serba salah. Sudah terlanjut mau bagaimana lagi, yang ada dia meng-iba-iba sama Bagong yang sedari tadi tampak serius memerhatikan protes Koh Jii Shu.
Kemudian Bagong pun tak kalah sigap menghadapi ancaman dari Koh Jii Shu. Lalu terjadilah perdebatan sengit di WAG, meskipun mereka berhadap-hadapan didepan mata, tapi tak bersuara sama sekali. Kecepatan jari-jari merekalah yang akan menentukan bagaimana nasib warung Yu Ginah. Walau perdebatan yang demikian tidak akan melukai secara fisik dan lahiriyah, tapi percayalah hal tersebut akan membuat susah tidur dan gangguan mental yang luar biasa.
Terpecahlah Desa Warung Pojok menjadi dua kubu yang sama-sama kuat, dan sama-sama bodoh. Bodoh dalam menghadapi hal kecil yang seharusnya diselesaikan dengan mudah sembari minum kopi. Sedang Katon sendiri pringas pringis, sedari tadi mengamati tingkah polah mereka semua, lucu dan sedikit norak. Baginya suatu keadaan itu kuat dilakoni nek ora kuat yo ditinggal ngopi, macam lagunya Via Kharisma, tidak usah dibikin pusing nanti lekas mati.
"Piye iki Kang Katon?, warungku iso kukut iki, bisa tutup macam hotel alecis itu nanti, tapi kan warung ini warung Sholeh dan sholehah bukan warung goyang atau warung pijit urat syahwat. Iki payee tulungi aku, ucap Yu Ginah mengembik kepada Katon penuh kekawatiran.
"Tenangno Pikirmu Yu. Itu Hotel Alecis kan hanya tidak diberikan ijin malah klausalnya belum diijinkan bukan di cabut ijinnya, masih bisa beroperasi, jadi santai wae.. lho lho.. kok jadi Alecis." Jawab Katon ngawur, lalu tambahnya " biar saja Yu, ben wae, biar meraka pada ribut, kaya ngga ada kerjaan saja. Ini kata di WAG desa, warga pada mau ngumpul disini sejam lagi mau demo katanya, demo sama siapa? warga ndemo warga? Edan kabeh! Ben wae Yu, sekali-kali melihat tontonan tow? Yo ra Ann, iya ndak?"Katon berusaha menenangkan Yu Ginah yang sedang kalut.
"Iyo lah mass. Pokok e aku wani perih mas" Tak kalah ngawurnya jawaban Anna.
Lalu...
Orang-orang mulai berdatangan membawa perlengkapannya dan keperluannya masing-masing. Perlengkapan dan keperluan yang mereka angap cocok untuk demo, untuk mewakili perasaan hati mereka atau pun benda-benda yang dianggap bisa menjadi symbol untuk menyuarakan hati mereka. Somali yang merasa iba dan empati terhadap apa yang alami kaum minoritas seperti Koh Jii Shu datang dengan memebawa dengan alat gambar dan ukulelenya. Lennon datang membawa poster-poster yang bergambar para pejuang-pejuang kemerdekaan, dimana para pejuang itu dilebeli bukan pribumi atau mungkin seorang Totok (Peranakan). Dalam sepanduk yang dibawa Lennon berbunyi " Mereka katamu bukan-pribumi tapi rela menumpahkan darah, harta, jiwa dan raga demi kejayaan nusantara. Kalian mengkonbankan apa untuk bangsa ini??, palingan mulut pedas di Sosmed, tak tahu malu!!". Pedas dan tajam bunyi spanduk yang dibawa Lenon dan kawan-kawannya. Tentu yang lain tak kalah unik dan tak kalah menarik.
Di pihak lain, juga tak kalah heboh dan ramai mereka memperlengkapi diri demi membela apa yang mereka percayainya. Pokoknya harus seperti apa yang saya, kita, kami mau atau diam tapi minggat lebih baik. Mungkin seperti itulah perselisihan jaman sekarang. Nek ora ngene ora, kalau tidak begini tidak. Limbuk, Gareng dan konco-konconya dari Kota Raja sengaja datang untuk membela Bagong, mereka membawa baju-baju adat Nusantara, yang menjadi ciri bahwa mereka adalah asli pribumi, yang dianggap menjadi identitas kepribumian di nergeri ini. Lain pula dengan Mang Kempleng, dia membawa poster pembangunan liar yang dilakukan oleh kaum-kaum yang dilebeli non-pribumi, dianggap merusak dan dianggap memetingkan kelompoknya, ada juga gambar yang memeperlihatkan adanya eksodus dari Tiongkok mendatangkan orang-orangnya untuk bekerja proyek mereka. "Demi pribumi aku rela mati, aku wani perih, Aseng dan Asing dilarang masuk." Begitu  bunyi sepanduk yang dibawa Mang Kempleng dan konco-konconya, memang provocatif dan tak kalah pedasnya.
Terang saja suasanya menjadi riuh seketika, kata-kata yang terucap pun rusuh tanpa tatanan tanpa nalar penuh emosi. Yu Ginnah lari kebelakang pintu, sembunyi, delik dibelakang pintu warungnya. Bagong segera saja bergabung dengan kelompoknya, begitu juga dengan Koh Jii Shu segera saja bergabung dengan kelompok yang mendukungnya. Sedang Katon malah asik  menikmati panganan di warung Yu Ginah sambil ngopi dan menikmati tontonan gratis ini.
Riuh seketika mirip pasar malam, pasar dadakan yang datang tiga bulanan di lapangan Desa. Gontok-gontakan pun sudah tak terhindarkan mereka saling lempar kesalahan, lempar tuduhan bahkan lempar tanggung jawab. Koh Jii Shu dan Bagong sudah pinting-pitingan, saling colok hidung dan uyel-uyelan. Beberapa berusaha menurunkan banner yang terpasang di warung Yu Ginah, tapi disisi sebaliknya juga ada yang berjaga berusaha menghalang-halangi. Tampaknya akan menjadi pertempuran desa atau perang civil atau civil war kecil-kecilan tingkat desa yang tak akan terhindarkan, bisa jadi pula hal ini kan berkembang dan merembet kemasalah-masalah lain.
Dari kejauham tampak berlari mendekat seseorang datang sambil membawa sesuatu. Semakin dekat dengan keramaian, pertempuran unik warga desa, seseorang tersebut tampak tergopoh-gopoh, terburu-buru, mengenakan blangkon, seragam pamong Desa dan menenteng megaphone. Pak Kades datang tepat waktu, persis sebelum terjadi pertumpahan barang dagangan Yu Ginah karena dijadikan bahan lempar-lemparan.
"Berhentiii...Berhentiii... berhentii.. Hop.. stop!!!" Seru Pak Kades dengan menggunakan megaphonenya.
Gema suara dari megaphone membuat warga desa terkaget tak kecuali Bagong yang mengadakan pertempuran single 1 lawan 1 dengan Koh Jii Shu. Warga desa mematung seketika begitu juga dengan Bagong.
"Eh Pak Kades, ngagetin wae lho ya." Begitu sapa Bagong sok ramah pada Pak Kades.
Lalu lanjutnya "Pak Kades, terimakasih lho ya, kemaren E-KTP nya sudah jadi geratis lagi, Btw Pak Lurah mau joint dengan kami? Langsung saja lho Pak tak perlu sungkan-sungkan, silahkan pilih lawan? " celoteh Bagong yang merasa tidak salah dengan apa yang diperbuatnya.
Lalu teriak bagong lagi"Hadiriiin...Bapak-bapak, ibu-ibu Pak Lurah datang mau joint... jadii Lanjuuuuuuuuttt...!!!" teriakan Bagong tersebut membuat Pak Lurah semakin gemes dan kaget. Seketika pula pergumulan menjadi semakin liar, nakal dan brutal.
Pak kades mumet dengan kondisi tersebut, dengan tingkah warga desanya yang memang susah dikontrol. Pak Kades harus berpikir dengan keras apa yang harus dilakukkannya sehingga warga desa berhenti dari aksi konyol tersebut. Kemudian Pak Kades menaiki drum yang ada di depan warung Yu Ginah, lalu berdiri dan mendekatkan megaphone mulutnya.
"Berhenti!!!! Mandeeeg kabeeh!! Berhenti semua!! atau saya akan melakukan ini". Menggema suara megaphone itu, Pak Kades berseru kembali berusaha menenangkan warga desa sembari mulai mencopoti bajunya, dimulai dari blangkon, seragam pamong desa dan sepatu pantofelnya. Sekarang praktis tinggal singlet dan kolornya.
"hayoo.. ndang ribut lagi!! Aku copot juga ini singlet dan kolor saya, biar kalian berhenti!!" Kembali Pak Kades berseru, warga pun mulai mematung melihat tingkah Pak Kades. Mereka menjadi geli dan keheranan, sebagaian besar dari warga mulai berhenti dan tertawa-tawa tapi beberapa masih melakukan aksi anarkisnya terhadap warga yang lain.
"Oke kalau begitu, kalau belum mau berhenti semunya" Pak Kades pun melanjutkan aksinya dengan mencopot singlet nya, tinggalah sekarang Pak Kades hanya mengenakan kolor bergambar burung emprit warna pink. Dengan perut buncit dan bule ketek lebat yang berkibar Pak Kades kembali meneruskan ancamannya.
"Pokoke nak ora bisa diam, ini kolor saya copot!!. Begitu ancamnya, penuh dengan bahaya.
Warga pun mulai tenang memerhatikan Pak Kades, bukan karena takut atau bagimana tapi merasa hal tersebut lebih menarik dari apa yang mereka lakukan sekarang ini. Lalu triakan pun menyemangati aksi Pak Kades pun mulai bergema.
"Coopott.. copot.... Copot... copott katok e.. copot katoke!!" Korr teriakan warga yang mualai bersatu menyemangati Pak Kades.
"Woong Edyaaaan kabeeeh, gila semua kalian... ini apa-apaan?" Pak Kades menghardik warga, sedikit keki dengan reaksi dari warga tetapi sedikit lega karena mendapatkan kesempatan berbicara dengan warga.
"Kalian itu ngapain, opo to opo. Masalah sepertu itu saja kok dibesar-besarkan, kita semua ini pribumi tanpa terkecuali, pokoknya asal punya KTP itu pribumi mau dia alien sekalipun. Ndak usah diributkan, kaya anak kecil saja. Kalian tahu ndak hee.. ini semua kan demi kepentingan politik, semua yang bisa menjadi bahan untuk menjatuhkan atau bisa dikata menjadi senjata untuk menusuk lawan politiknya, mereka akan melakukannya tak perduli itu masalah apa yang penting bisa melukai musuh dan lawan, mau itu masalah sepatu, pribumi, pringsilan, miegodog, RUU, reklamasi, reboisasi. Seharusnya itu semua adalah masalah yang harus diselesaikan dengan duduk bersama, rembugan musyawarah oleh para penggede itu. Bukan malah gontok-gontokan tak jelas mementingkan kelompoknya. Lalu kita mau apa? Mau ikut-ikutan mereka mengelompokkan diri kita masing-masing pada kelompok yang kita seukai?? Koyo wong ra duwe pikiran, heh!!!" Menggebu-gebu Pak Kades memberi pengertian pada warga desa, semua warga jadi mematung dan merasa malu atas tingkah konyol mereka.
Lalu lanjut Pak Kades "Wis gini, mereka yang ribut dan rusuh biar saja diluar sana. Tapi jangan sampai terjadi diwarga desa ini, biar saja para penggede itu pada edyan. Toh tidak akan berpengaruh pada penghidupan kita to? Siapa lagi yang akan menjaga persatuan kalau bukan kita semua kalau bukan warga desa, masyarakat bawah dan akar rumput, siapa?? Bukankah para penggede dan politikus itu malah membuat perpecahan saling cela saling menyalahkan. Wis sekarang begini, sepanduknya copot Yu, selama tiga hari akan saya gratisi saya bayarin ndak usah pada ribut!! Wis do meneng anteng, Kang Bagong dan Koh Jii Shu ayo salaman dan pelukan yang lain juga harus begitu!! Kalau sampai ada yang masih marahan dan dendam tidak akan saya urusi kalau buat surat menyurat biar kapok!!" Terang Pak Kades dengan jelas dan penuh penenangan untuk warga.
Warga desa pun mengangguk-angguk. Katon yang sedari tadi ngopi menonton kejadian itu bersama Anna dan Yu Ginah malah mrengut karena kehilangan tontonan seru nan menghibur. Pak Kades turun dari atas drum kembali mengenakan seragam pamong desanya. Sedangkan Yu Ginah keluar dari persembunyiannya dan mencopoti banner yang terpajang di dinding warungnya. Desa Parang Pojok pun kembali damai dan tentram, wargapun bancakan panganan di warung Yu Ginah. Lalu aktor intelektulan penghasut Yu Ginah malam itu masih dalam pencarian.
 End.
Moral: Bahwasannya yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan hanyalah kesadaran semua masyarakat untuk bersatu menjaga perdamaian dan kerukunan karena para penguasa dan pemimpin tidak bisa diharapkan, sebab mereka malah sibuk mencari cara memecah belah Bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H