Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Neokolonialisme dan Musuh dari Dalam

23 Desember 2019   09:44 Diperbarui: 23 Desember 2019   14:32 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia tidak merdeka di dalam dirinya. Mereka terjebak di dalam oposisi biner, yakni mempertentangkan dua hal yang saling bertubrukan. Manusia selalu terbelah, dalam banyak biner. Selama di bumi, manusia tidak damai, karena mereka tidak memerdekakan dirinya. Benarkah?

Untuk bebas, menusia harus memahami eksistensinya. Adalah Jean-Paul Sartre yang mengumandangkan Filsafat Eksistensialis-Humanisme. Selaku esksitensialis, Sartre berangkat dari ketiadaan menuju kemanusiaan.

Berbeda dengan humanisme abad Renaisans. Filsafat Sartre dapat dianggap sebagai analisis yang kejam terhadap situasi manusia dalam "Tuhan telah mati", yang telah diagungkan Nietzsche sebelumnya__(meski sangat radikal perihal ketuhanan, filsafat Nietzsche dianggap ada gunanya untuk menghantam kemapanan dogmatis yang menjajah pikiran Eropa ketika itu.)

Keberadaan manusia menurut Sartre mendahului dirinya sendiri. Kehidupan manusia itu bukan nihilis (Nihilisme Nietzsche yang putus asa). Eksistensi mendahului esensi (existence comes before essence). 

Bagi Sartre, manusia harus menciptakan esensinya sendiri, karena esensi itu tidak ditetapkan sebelumnya. Setiap orang punya eksistensi sebagai manusia, tapi mereka punya kehendak bebas untuk menciptakan esensi sehingga memberi arti bagi kehidupannya.

Adalah juga tidak bisa tidak, bumi sesungguhnya terdiri dari dua fraksi yang saling berperang. Fraksi pertama kata Sartre adalah pemilik dunia yang sering disebut sebagai kaum Kolonial, dan fraksi kedua adalah kelompok hegemonis pemakai yang sering disebut dengan kaum Terjajah.

Di antara kedua kelompok ini terdapat kaum Perantara, yang terdiri dari orang-orang borjuis bedebah, para penguasa licik yang korup dan raja-raja feodal. Seperti majikan tua yang arogan, kolonialisme akan tetap ada dengan bentuk baru yang kita kenal sebagai neokolonialisme.

Dalam Colonialism and Neocolonialism-, neokolonialisme didefinisikan sebagai praktik kapitalisme, globalisasi, dan pasukan kultural imperialisme bahkan ideologi komunisme untuk mengontrol sebuah negara sebagai pengganti dari kontrol politik atau militer secara langsung.

Kontrol tersebut bisa berupa ekonomi, budaya, atau linguistik; dengan mendiktekan budaya, bahasa atau media di daerah jajahan mereka. Korporasi yang tertanam di dalam budaya dipercaya dapat membuat kemajuan yang lebih besar dalam membuka pasar di negara itu. Neokolonialisme adalah sebentuk upaya jinak untuk mendominasi segalanya di tanah jajahan.

Dengan pikiran yang merdeka dari oposisi biner, kita dapat merasakan siapa neokolonialis yang sedang menjajah negeri ini. Dengan cara memerdekakan diri dari kontaminasi biner politik dan ideologi parsial yang kita anut.

Seperti frasa "cukup dengan menjadi manusia" untuk melihat kepedihan di Gaza atau Uighur. Manusia yang dimaksud adalah cerminan dari filsafat Sartre tentang humanisme.

Dengan melepas oposisi biner di mana mereka berdiri, manusia merdeka akan memilih ketinggian humanisme-nya, dengan menetralisasi dirinya dari doktrin pikiran kelompoknya.

Dari pernyataan Sartre tentang Kolonial, Terjajah dan Perantara, humanisme kita otomatis mampu mengklasifikasi siapa yang menjadi musuh publik. Sementara kaum Perantara, seakan berlomba dengan Kolonial untuk mendorong negeri ini ke arah distopia.

Selain koruptor yang merajalela di semua lini birokrasi (sepanjang tugas KPK sebatas tukang tangkap tangan dan pejuang kemanusiaan tidak memasukkan pemberantasan korupsi dalam agenda mereka), kaum Perantara ini adalah agen-agen impor seperti yang dianalisis oleh Faisal Basri sebagai benalu serta biang keladi defisit neraca dagang terutama dari impor pangan dan baja.

Tidak hanya itu mereka memungut rente yang luar biasa besar, seperti disebut Faisal dalam satu wawancara di Kompas TV, belum lama ini: rente dari impor migas saja mencapai Rp 600 miliar per hari x 365 dan itu berlangsung sepanjang tahun. Lalu siapa yang menikmati?

Hampir semua BUMN merugi dan meninggalkan utang bejibun, tapi direksi dan stafnya bermewah-mewah. Sedikit di antaranya: Garuda Indonesia mencatat utang Rp 12,6 triliun (cnnindonesia.com), Waskita Karya Rp 103 triliun (detik.com), Inalum $ 4 miliar (detik.com), Krakatau Steel Rp 35 triliun (kumparan.com), PLN Rp 394 triliun (republika.co.id), BPJS Kesehatan defisit 56 triliun (bisnis.com), terakhir Jiwasraya gagal bayar Rp 12,4 triliun.   

Bila orang-orang yang sudah merdeka pikirannya dapat bersatu, mereka akan bergerak bersama secara konstitusional atas dasar kemanusiaan untuk menghadang siapapun yang ingin merusak negeri ini. Dan kaum penjajah tidak seluruhnya datang dari seberang lautan, banyak di antara mereka yang ari-arinya di tanam di bumi Indonesia. Merdeka atau Nietzsche!  ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun