Manusia tidak merdeka di dalam dirinya. Mereka terjebak di dalam oposisi biner, yakni mempertentangkan dua hal yang saling bertubrukan. Manusia selalu terbelah, dalam banyak biner. Selama di bumi, manusia tidak damai, karena mereka tidak memerdekakan dirinya. Benarkah?
Untuk bebas, menusia harus memahami eksistensinya. Adalah Jean-Paul Sartre yang mengumandangkan Filsafat Eksistensialis-Humanisme. Selaku esksitensialis, Sartre berangkat dari ketiadaan menuju kemanusiaan.
Berbeda dengan humanisme abad Renaisans. Filsafat Sartre dapat dianggap sebagai analisis yang kejam terhadap situasi manusia dalam "Tuhan telah mati", yang telah diagungkan Nietzsche sebelumnya__(meski sangat radikal perihal ketuhanan, filsafat Nietzsche dianggap ada gunanya untuk menghantam kemapanan dogmatis yang menjajah pikiran Eropa ketika itu.)
Keberadaan manusia menurut Sartre mendahului dirinya sendiri. Kehidupan manusia itu bukan nihilis (Nihilisme Nietzsche yang putus asa). Eksistensi mendahului esensi (existence comes before essence).Â
Bagi Sartre, manusia harus menciptakan esensinya sendiri, karena esensi itu tidak ditetapkan sebelumnya. Setiap orang punya eksistensi sebagai manusia, tapi mereka punya kehendak bebas untuk menciptakan esensi sehingga memberi arti bagi kehidupannya.
Adalah juga tidak bisa tidak, bumi sesungguhnya terdiri dari dua fraksi yang saling berperang. Fraksi pertama kata Sartre adalah pemilik dunia yang sering disebut sebagai kaum Kolonial, dan fraksi kedua adalah kelompok hegemonis pemakai yang sering disebut dengan kaum Terjajah.
Di antara kedua kelompok ini terdapat kaum Perantara, yang terdiri dari orang-orang borjuis bedebah, para penguasa licik yang korup dan raja-raja feodal. Seperti majikan tua yang arogan, kolonialisme akan tetap ada dengan bentuk baru yang kita kenal sebagai neokolonialisme.
Dalam Colonialism and Neocolonialism-, neokolonialisme didefinisikan sebagai praktik kapitalisme, globalisasi, dan pasukan kultural imperialisme bahkan ideologi komunisme untuk mengontrol sebuah negara sebagai pengganti dari kontrol politik atau militer secara langsung.
Kontrol tersebut bisa berupa ekonomi, budaya, atau linguistik; dengan mendiktekan budaya, bahasa atau media di daerah jajahan mereka. Korporasi yang tertanam di dalam budaya dipercaya dapat membuat kemajuan yang lebih besar dalam membuka pasar di negara itu. Neokolonialisme adalah sebentuk upaya jinak untuk mendominasi segalanya di tanah jajahan.
Dengan pikiran yang merdeka dari oposisi biner, kita dapat merasakan siapa neokolonialis yang sedang menjajah negeri ini. Dengan cara memerdekakan diri dari kontaminasi biner politik dan ideologi parsial yang kita anut.
Seperti frasa "cukup dengan menjadi manusia" untuk melihat kepedihan di Gaza atau Uighur. Manusia yang dimaksud adalah cerminan dari filsafat Sartre tentang humanisme.
Dengan melepas oposisi biner di mana mereka berdiri, manusia merdeka akan memilih ketinggian humanisme-nya, dengan menetralisasi dirinya dari doktrin pikiran kelompoknya.
Dari pernyataan Sartre tentang Kolonial, Terjajah dan Perantara, humanisme kita otomatis mampu mengklasifikasi siapa yang menjadi musuh publik. Sementara kaum Perantara, seakan berlomba dengan Kolonial untuk mendorong negeri ini ke arah distopia.
Selain koruptor yang merajalela di semua lini birokrasi (sepanjang tugas KPK sebatas tukang tangkap tangan dan pejuang kemanusiaan tidak memasukkan pemberantasan korupsi dalam agenda mereka), kaum Perantara ini adalah agen-agen impor seperti yang dianalisis oleh Faisal Basri sebagai benalu serta biang keladi defisit neraca dagang terutama dari impor pangan dan baja.
Tidak hanya itu mereka memungut rente yang luar biasa besar, seperti disebut Faisal dalam satu wawancara di Kompas TV, belum lama ini: rente dari impor migas saja mencapai Rp 600 miliar per hari x 365 dan itu berlangsung sepanjang tahun. Lalu siapa yang menikmati?
Hampir semua BUMN merugi dan meninggalkan utang bejibun, tapi direksi dan stafnya bermewah-mewah. Sedikit di antaranya: Garuda Indonesia mencatat utang Rp 12,6 triliun (cnnindonesia.com), Waskita Karya Rp 103 triliun (detik.com), Inalum $ 4 miliar (detik.com), Krakatau Steel Rp 35 triliun (kumparan.com), PLN Rp 394 triliun (republika.co.id), BPJS Kesehatan defisit 56 triliun (bisnis.com), terakhir Jiwasraya gagal bayar Rp 12,4 triliun. Â Â
Bila orang-orang yang sudah merdeka pikirannya dapat bersatu, mereka akan bergerak bersama secara konstitusional atas dasar kemanusiaan untuk menghadang siapapun yang ingin merusak negeri ini. Dan kaum penjajah tidak seluruhnya datang dari seberang lautan, banyak di antara mereka yang ari-arinya di tanam di bumi Indonesia. Merdeka atau Nietzsche! Â ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H