Pengorbanan Ibrahim dan Ismail tak mampu ditembus oleh logika. Jika filsafat dan ilmu bermain di sini, ia akan mempertanyakan hingga meragukan apakah itu perintah Tuhan atau mimpi dari iblis. Logika berkata: Tuhan tak mungkin menyuruh kepada keburukan, menyembelih dan mengalirkan darah anak kandung sendiri yang suci bersih tanpa dosa.
Jan Hendrik Rapar dalam Pengantar Logika Asas-asas Penalaran Sistematis mengurai, bahwa konsep bentuk logis adalah inti dari logika.Â
Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan atau validitas sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis).
Memakai logika silogistik tradisional cara Aristoteles, jika semua api akan menghanguskan, maka api yang membakar Ibrahim oleh perintah Namrud juga demikian adanya.Â
Namun itu tidak terjadi karena Tuhan telah memerintahkan kepada api supaya dingin. Peristiwa ketika Tuhan mendinginkan api, tak akan mampu ditembus oleh logika.
Dalam peristiwa penyembelihan Ismail, logika Ibrahim telah mati. Firman Allah baginya adalah hakiki, pengabdian tertinggi sebagai hamba. Ibrahim tak akan mendebat Tuhannya mengapa menyuruh kepada hal yang sebegitu tidak logis.Â
Seperti dilakukan Iblis, yang membantah Tuhan dengan logika: tidak pantas makhluk api yang tinggi kastanya sekaligus pembawa bekal ibadah ribuan tahun bersujud kepada Adam sebagai makhluk tanah yang baru saja ditiupkan roh kepadanya.
Dalam peristiwa pembakaran Ibrahim yang terjadi justru sebaliknya. Ibrahim sudah mematahkan logika Namrud tentang keniscayaan api, namun sebelum itu ia telah menisbikan logika kaum Pagan.Â
Alkisah Ibrahim menghancurkan semua berhala dengan kapak lalu menyisakan satu berhala terbesar dan mengalungkan kapak di lehernya. Kepada kaum Pagan, ia berkata: coba tanyakan kepadanya siapa yang telah menghancurkan berhala - berhala kalian.
Logika Ibrahim pun mati saat Tuhan memerintahkan kepadanya untuk membawa dan meninggalkan Ismail kecil dan istrinya Hajar di lembah Mekah yang tandus.Â