Investor tidak bisa masuk karena lahan industri sudah dibabat dan diserahkan kepada pengembang atau diendapkan demi spekulasi dan konspirasi. Uang Wajib Tahunan (land lease)Â yang diterima Negara, hanya seujung kuku dari harga yang harus dibayar investor pada berbagai cara kompetitif hingga lahan tersebut akhirnya dapat mereka sewa.Â
Anomali soal tanah Batam yang paling absurd adalah: adanya objek sewa yang bisa diperjualbelikan berpadu dengan cara pandang awam yang tidak menghiraukan keanehan itu, tapi justru meributkan dua pungutan yakni UWTO dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sama sekali berbeda definisinya (tidak untuk saling meniadakan).
Keempat, dualisme antara OB dan atau BP dengan Pemkot Batam. Penggantian istilah dari OB ke BP hanyalah lips service, yang nirsubstansi dengan melucuti sebagian kewenangan dan aset lembaga ini untuk diserahkan kepada Pemkot Batam.
Pelucutan kewenangan berlangsung seperti hukum rimba untuk mengatakan adanya kekosongan regulasi, karena Peraturan Pemerintah (PP) soal itu tidak pernah dikeluarkan selama hampir dua dekade, hingga berujung bebas tafsir dan mendegradasi daya tarik investasi.
Diksi dualisme pun terkesan asal tarik dan entah siapa yang memulainya. Dari zaman Plato sampai Descartes istilah dualisme digunakan untuk dua substansi dasar yang saling bertentangan, misal protagonis dan antagonis atau spritual dan material, bahkan Tuhan dan Iblis, sedangkan BP dan Pemkot Batam adalah sesama lembaga pemerintahan yang esensinya -bila ingin jujur- adalah kesejahteraan rakyat. Pun dualisme ekonomi di Afrika Selatan era Apartheid terlalu ekstrem untuk jadi rujukan.
Kelima, Wali Kota Batam bertindak sebagai ex-officio Kepala BP Batam. Artinya bila ada jabatan yang dirangkap maka ada pelanggaran UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang melarang kepala daerah merangkap jabatan. Pertanyaannya apakah BP Batam masuk dalam kategori jabatan yang tidak bisa dirangkap?
Tapi bila merujuk kepada istilah ex-officio, maka jabatan ini bersifat temporer sampai dipilihnya pejabat baru yang memenuhi skala fit and proper test  (dalam perkembangan terakhir, Darmin Nasution melantik Edy Putra Irawadi sebagai Kepala BP Batam yang baru untuk mengisi kekosongan selama masa transisi).
Payah masuk akal jika Wali Kota Batam menginginkannya hanya sebagai jabatan sementara, karena ini adalah titik akhir perjuangan menahun yang digerakkan oleh panji-panji Otonomi Daerah. Besar kemungkinan BP hanya menjadi lembaga setingkat dinas. Lalu bagaimana menjelaskan alokasi dana APBN dan sejumlah koneksitas eksklusif antara BP dengan Jakarta?
Pertanyaan lain muncul, bagaimana kemudian jika Kepala BP yang juga Wali Kota Batam ke depan dipilih melalui jalur pilkada, lalu atas anomali demokrasi yang terpilih -atas kehendak rakyat- justru figur yang gagap investasi dan canggung dengan dunia internasional.Â
Yang juga perlu diwanti-wanti dalam kapasitas wali kota sebagai orang politik, garis kebijakannya rentan untuk ditunggangi oleh bos satu partai untuk merebut rente di titik - titik strategis di Batam secara oligarkis.
Terakhir, adalah himpunan anomali lainnya yang menyertai Batam baik pra dan pasca peleburan. Yang menyertai pencarian titik temu antara eksistensi Pemkot Batam sebagai lembaga pelayan publik yang otonom, dengan eksistensi BP Batam sebagai lembaga pelayanan investasi yang langsung terhubung ke Pusat dan menjadi kebijakan sekaligus kepentingan nasional.