Industrialisasi dan politik tanah yang dikombinasikan dengan mindset kontinental sebagai penyediaan lapangan industri, melahirkan Teori Balon Habibie.
Inilah dasar utama upaya penyambungan gugus kepulauan Barelang dengan enam jembatan yang kemudian vakum. Batam ibarat memilih mundur ke selatan untuk memperluas halaman belakangnya. Â
Bila saja pembangunan jembatan Barelang dialihkan untuk mendirikan pelabuhan - pelabuhan kelas dunia yang langsung bersemuka dengan peradaban ekonomi internasional, maka Batam tak perlu ditelikung oleh muridnya Port of Shenzhen, China dan tetangga dekat Johor Port Pasir Gudang, Malaysia (juga terkait dengan politik internasional neo merkantilis Singapura yang menekan Batam karena dianggap kompetitor).
Kedua, munculnya Orde Reformasi menyebabkan Batam dipandang sebagai legasi Orde Baru yang kemudian diutak-atik oleh para ekonom pragmatis-ahistoris sesudahnya.
Keistimewaan Batam yang secara de facto sebagai Free Trade Zone (FTZ) penuh lenyap, kemudian digantikan dengan FTZ Enclave (Kantong) serupa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sekarang, menyusul besarnya temuan potential lost dari PPN, PPnBM dan Bea Masuk yang ikut dinikmati warga Batam non faktor produksi (bukan tenaga kerja yang diserap dalam kawasan FTZ).Â
Pada awal tahun 2000, Batam sempat bergejolak menolak penerapan PPN, PPnBM dan Bea Masuk yang dianggap menyebabkan turbulensi ekonomi akibat bergesernya titik keseimbangan (equilibrium) antara upah dan kenaikan harga.
Anomali berbuah anomali. Batam tergeletak dan tak mampu mempertahankan keistimewaannya. Ada lubang menganga yang menjadi celah bagi Pusat. Sejak awal, bila memang Batam ingin ditetapkan sebagai FTZ penuh, mestinya seluruh imigran yang mendiami Batam masuk melalui saringan skilled labor on demand sebagai faktor produksi FTZ.Â
Tapi tidak, Batam justru berkembang sebagai pusat aglomerasi bebas hambatan sekaligus menjadi antitesa investasi. Setiap meter tanah yang awalnya diperuntukkan sebagai lahan investasi, menjadi ladang properti remeh temeh untuk memenuhi desakan populasi penduduk yang tumbuh bagai deret ukur.Â
Ketiga, tipe hunian yang ideal untuk kawasan industri adalah rumah vertikal dan dormitori, demi mengantisipasi penyempitan lahan industrial dan komersial, tapi justru Otorita Batam (OB) kini Badan Pengusahaan (BP) Batam secara aneh mengobral lahan yang terbatas untuk hunian serta memberi kemudahan perubahan peruntukan sektor lain kepada developer bahkan dengan mengorbankan hutan lindung dan fasilitas umum. Tinjau: Meisterstadt dan Habibie Kembali
Investor berulang kali menanyakan, apakah masih ada lahan investasi, tapi dengan mudah dikatakan tidak ada lagi alokasi, atau silakan membeli milik spekulan yang diendapkan dengan cara melawan hukum. Menjadi super ironi, lembaga yang bertugas menarik investasi sekaligus adalah penghambat utama.
OB atau BP Batam dengan segenap mafia lahan yang ada di dalam dan di sekelilingnya termasuk mereka yang pro Otonomi Daerah serta sejumlah oknum pejabat dan orang -orang tertentu (yang diberikan privilege demi suatu konsesus pragmatis), memporakporandakan Master Plan yang sudah dibangun para visioner awal.Â