Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rentetan Anomali Sepanjang Sejarah Industrialisasi Pulau Batam

8 Januari 2019   15:48 Diperbarui: 24 April 2020   12:51 2140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industrialisasi dan politik tanah yang dikombinasikan dengan mindset kontinental sebagai penyediaan lapangan industri, melahirkan Teori Balon Habibie.

Inilah dasar utama upaya penyambungan gugus kepulauan Barelang dengan enam jembatan yang kemudian vakum. Batam ibarat memilih mundur ke selatan untuk memperluas halaman belakangnya.  

Bila saja pembangunan jembatan Barelang dialihkan untuk mendirikan pelabuhan - pelabuhan kelas dunia yang langsung bersemuka dengan peradaban ekonomi internasional, maka Batam tak perlu ditelikung oleh muridnya Port of Shenzhen, China dan tetangga dekat Johor Port Pasir Gudang, Malaysia (juga terkait dengan politik internasional neo merkantilis Singapura yang menekan Batam karena dianggap kompetitor).

Kedua, munculnya Orde Reformasi menyebabkan Batam dipandang sebagai legasi Orde Baru yang kemudian diutak-atik oleh para ekonom pragmatis-ahistoris sesudahnya.

Keistimewaan Batam yang secara de facto sebagai Free Trade Zone (FTZ) penuh lenyap, kemudian digantikan dengan FTZ Enclave (Kantong) serupa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sekarang, menyusul besarnya temuan potential lost dari PPN, PPnBM dan Bea Masuk yang ikut dinikmati warga Batam non faktor produksi (bukan tenaga kerja yang diserap dalam kawasan FTZ). 

Pada awal tahun 2000, Batam sempat bergejolak menolak penerapan PPN, PPnBM dan Bea Masuk yang dianggap menyebabkan turbulensi ekonomi akibat bergesernya titik keseimbangan (equilibrium) antara upah dan kenaikan harga.

Anomali berbuah anomali. Batam tergeletak dan tak mampu mempertahankan keistimewaannya. Ada lubang menganga yang menjadi celah bagi Pusat. Sejak awal, bila memang Batam ingin ditetapkan sebagai FTZ penuh, mestinya seluruh imigran yang mendiami Batam masuk melalui saringan skilled labor on demand sebagai faktor produksi FTZ. 

Tapi tidak, Batam justru berkembang sebagai pusat aglomerasi bebas hambatan sekaligus menjadi antitesa investasi. Setiap meter tanah yang awalnya diperuntukkan sebagai lahan investasi, menjadi ladang properti remeh temeh untuk memenuhi desakan populasi penduduk yang tumbuh bagai deret ukur. 

Ketiga, tipe hunian yang ideal untuk kawasan industri adalah rumah vertikal dan dormitori, demi mengantisipasi penyempitan lahan industrial dan komersial, tapi justru Otorita Batam (OB) kini Badan Pengusahaan (BP) Batam secara aneh mengobral lahan yang terbatas untuk hunian serta memberi kemudahan perubahan peruntukan sektor lain kepada developer bahkan dengan mengorbankan hutan lindung dan fasilitas umum. Tinjau: Meisterstadt dan Habibie Kembali

Investor berulang kali menanyakan, apakah masih ada lahan investasi, tapi dengan mudah dikatakan tidak ada lagi alokasi, atau silakan membeli milik spekulan yang diendapkan dengan cara melawan hukum. Menjadi super ironi, lembaga yang bertugas menarik investasi sekaligus adalah penghambat utama.

OB atau BP Batam dengan segenap mafia lahan yang ada di dalam dan di sekelilingnya termasuk mereka yang pro Otonomi Daerah serta sejumlah oknum pejabat dan orang -orang tertentu (yang diberikan privilege demi suatu konsesus pragmatis), memporakporandakan Master Plan yang sudah dibangun para visioner awal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun