Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Waspada! Jejak Digital Kita Serupa Bom Ranjau

23 Juni 2018   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2018   08:18 2621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: epsilontec.com)


Jejak digital memang kejam, kata seorang warganet mengomentari tabiat seorang pesohor yang terciduk: dulu bilang A sekarang B. Atau janji-janji yang terserap ke ruang maya yang tak jua terlunaskan. Orang tidak perlu mengingat semuanya, cukup mengandalkan mesin pencari dan secepat kedipan mata, jejak-jejak itu sudah terlacak.

Kita kini ibarat sebutir debu kosmos di semesta raya digital yang terus berkelindan. Tidak ada tempat bersembunyi ketika kita sudah memilih jalan hidup milenial. Kita sudah terikat dan segala konsekuensi mesti ditanggung sendiri. Utamanya kepada figur publik yang lidahnya tidak bertulang, berhati-hatilah ketika di masa depan jejak digital Anda menjadi senjata makan tuan. Jejak digital akan laksana bom ranjau yang meledakkan penanamnya.

Definisi jejak digital (digital footprint), menurut Sandi S. Varnado, merupakan kumpulan jejak dari semua data digital, baik dokumen maupun akun digital. Jejak digital dapat tersedia baik bagi data digital yang disimpan di komputer maupun secara daring atau online.

Semakin ke sini, jejak digital akan semakin menjangkau tidak hanya seorang penting tapi juga para jelata yang sudah terhubung kepadanya yang melakukan rekam jejak secara selfie atau swakelola. Kita telah mencatat sejarah kita sendiri dengan sangat lengkap dan tanpa tapisan.

Apa yang terjadi di laman Facebook, Twitter, Instagram dan semua jejaring sosial serta ruang baca berbasis web adalah sejarah bagi masa depan.

Zaman Milenial atau apa yang melampaui zaman ini di masa hadapan adalah tentang manusia yang membaca teks sejarah dengan sekali ketukan pada layar gadget atau tanpa benda padat apapun dengan sesuatu yang dipanggil: layar virtual.

Sejarah atau historia hari ini berarti catatan peristiwa yang diperoleh melalui penelitian dan studi tentang masa lalu dan bersifat faktual, sosiologis-antropologis terutama tentang raja - raja dan silsilahnya, kronologi kejadian - kejadian besar yang terbatas dan kadang bias, maka di masa depan ia adalah teks, suara, video, sketsa, grafis dan visualisasi imajiner yang mampu menjangkau semua elemen manusia, mulai dari menara gading sampai akar rumput.

Tertulis di laman tirto.id, manusia masa kini menghasilkan jejak digital jauh lebih besar dan terus menggelembung. Ini terjadi karena masifnya penggunaan gawai pintar.

Tahun 2017 diperkirakan ada 2,32 miliar pengguna gawai di seluruh dunia. Pada tahun ini diprediksi meningkat hingga 2,53 miliar.

Melalui telepon genggam hampir segala jejak digital bisa tercipta. Surel atau email yang dikirim dan diterima, pembaruan status di media sosial, jejak navigasi GPS, hingga foto dan video yang disimpan, semuanya menghasilkan jejak digital.

Dalam laman Techterm, jejak digital terbagi menjadi dua, dilihat dari cara bagaimana suatu kegiatan digital menghasilkan jejak. Ia adalah jejak digital pasif dan jejak digital aktif.

Jejak digital pasif merupakan jejak yang tidak sengaja ditinggalkan seperti rekaman linimasa Google Maps. Segala tujuan, rute, maupun titik-titik yang dikunjungi, terekam oleh Google Maps. Perekaman tujuan maupun rute dilakukan tanpa ada tindakan aktif si pemilik jejak digital.

Google Maps mampu merekam jejak terutama bagi segala gawai pintar yang memasang aplikasi tersebut dengan mengaktifkan fitur GPS.

Sayangnya, dalam laporan yang dirilis Quartz, Google dikatakan tetap mengumpulkan data lokasi meskipun fitur lokasi atau GPS dimatikan pemiliknya.

Sementara itu jejak digital aktif merupakan segala jejak digital yang tercipta atas peran aktif si pengguna. Ini misalnya termuat dalam segala unggahan atau pembaruan status di media sosial. Serta segala surel yang dikirim pemilik jejak digital. Dengan sadar mereka menciptakan jejak digitalnya sendiri.

Bom ranjau digital yang sudah kita tanamkan akan meledak terutama jika ada pihak-pihak tertentu yang menargetkan si pemilik jejak digital.

Gwenn Schurgin O'Keeffe dalam jurnalnya berjudul "The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families" menyebut,  meskipun jejak digital memiliki risiko yang berbahaya, pemilik umumnya tak menyadari.

Ia mengatakan, ada anggapan "apa yang terjadi di ranah online, hanya ada di dunia itu" oleh para pemilik jejak digital. Kita bahkan dengan ramah membiarkan mereka mencuri semua data pribadi kita, ketika mengunduh sebuah aplikasi apa saja. Untuk kemudian dimanfaatkan atau dijual ke pihak tak bertanggung jawab.

Lebih dari mozaik sejarah, kualitas dan moralitas seseorang dapat ditilik dari apa yang sudah mereka bagi. Keluh kesah, kegembiraan, caci maki, kepura-puraan, remeh temeh, narsistis, nasihat, motivasi atau kata-kata kotor yang pernah kita posting mencerminkan sebuah persona yang kita citrakan - jika tidak dihapus - akan tertanam selamanya serta dapat diakses siapa saja. Menjadi sejarah tentang kita. 

Para eksibisionis boleh insaf, namun jejak digital mereka yang tanpa busana dan adegan-adegan mesum yang terekam nyaris abadi dan menjadi koleksi pribadi siapa saja di bumi selain menjadi aib sepanjang zaman.

Pembicaraan dalam kelambu atau ruang privat segera masuk ke ruang publik ketika sepasang suami istri secara menggelikan berkelahi di sosmed untuk disaksikan siapa saja.

Keluar dari jejak digital individu, sampah-sampah digital berisi kebohongan yang dipaksakan sebagai realitas juga meninggalkan jejak-jejak berbahaya bagi generasi penerus.

Melihat satu fenomena dalam ilusi optik, seseorang yang terlanjur mempercayai kebohongan A yang kemudian tertanam di bawah sadar, akan menutup kemungkinan untuk kebenaran B atau bahkan menjadi penentang yang nyata.

Mari kita melihat para penabur sampah digital dalam perang urat syaraf kekinian. Di antara para penyanjung atau pembenci dan di antara jemari penuh dusta yang menebar hoaks kapanpun dan di manapun, tanpa memikirkan akibat buruk bagi sejarah masa depan, bagi anak cucu mereka sendiri.

Masa depan mungkin akan begitu kumuh, ketika sampah-sampah digital tidak segera dibersihkan mulai kini. Alih-alih dibersihkan, keberadaan tukang share yang tak tahu ujung pangkal tetapi begitu girang untuk membagi-bagikan sampah digital beracun kepada siapa saja, jumlah mereka bahkan semakin membiak seperti amuba dan akan terus dilahirkan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun