Pikiran wanita dipenuhi oleh emosi – emosi dalam rupa – rupa yang aneh: ia cinta mati kepada musuh bebuyutannya, untuk kemudian membuat mereka beranak pinak. Rasa sakit akibat melahirkan, karena benih yang ditanam pria, justru tidak dianggap sebagai bentuk penindasan, karena emosi wanita sudah disaluti cinta.
Kesetaraan gender dan emansipasi wanitakini masih didengung – dengungkan. Belum juga puas rupanya. Perasaan – perasaan wanitalah yang membuat mereka merasa lemah, terjajah sehingga butuh perlindungan, perlakuan khusus dan kuota politik. Sedangkan Tuhan menurunkan Adam dan Hawa ke dunia tanpa ada perlakuan khusus. Sama – sama ditaruh di belantara ganas paling primitif dari ujung ke ujung.
Tuhan menciptakan pria dan wanita dalam harmoni. Saling menguatkan, tidak saling meniadakan. Orang purba sudah mencontohkan harmoni itu. Pria berburu dan wanita mengolah biji – bijian. Pria membanting tulang dan wanita menyusui. Pria melanglang buana, wanita menjaga rumah dan harta benda.
Apakah dengan meninggalkan dapur, wanita sudah disebut modern? Tidak juga. Saya sudah beratus – ratus kali menonton film Barat, sangat jarang ditemukan pembantu rumah tangga. Wanita Barat, sebagai simbol modernitas bagi wanita Indonesia, tetap bekerja di dapur, mengurus anak dan berada wilayah privat lebih banyak dibanding pria, suami mereka.
Apakah wanita fisik dan mentalnya lebih lemah? Tidak juga. Jika pernah menonton reality show Fear Factor di televisi, maka kita dapat menyaksikan sekat – sekat gender dinihilkan. Pria dan wanita sama – sama mendapat tantangan yang sangat memacuadrenalin. Mereka sama – sama digantung, dilontarkan, melewati titian berbahaya dan mengunyah benda menjijikkan untuk mendapatkan US $ 50.000.
Apakah wanita terlalu kemayu sehingga tidak berbahaya? Tidak juga. Tidak semua wanita menggemaskan seperti Hello Kitty.Agrippina, Chaterine Agung, Chaterine de’ Medici, Elizabeth Bathory, Santa Olga adalah sedikit nama tiran wanita haus darah yang menyiksa sampai mati bangsanya sendiri.
Lalu apa yang menjadi soal? Jika boleh menebak, lagi – lagi soal perasaan. Momok paling menakutkan oleh wanita terhadap prianya adalah poligami. Sayangnya Kartini tidak dapat diharapkan untuk mewakilkan ketakutan wanita soal yang satu ini. Pada akhirnya Kartini adalah sekeping puzzle sejarah yang bangunan kepahlawanannya tampak bersinar di satu sisi, tapi redup di sisi yang lain.
****
Isu – isu keseteraan gender dalam skala global banyak dikaitkan dengan penempatan perempuan pada posisi kedua dalam stratifikasi sosial. Budaya patriarki yang lebih dominan menempatkan wanita pada wilayah privat menyebabkan ketidakpuasan dan rasa terkekang. Masih maraknya gerakan feminisme adalah penanda bahwa upaya – upaya penindasan terhadap kaum hawa masih saja terjadi.
Kaum liberal menuding bahwa hegemoni yang menimpa wanita adalah akibat kurangnya daya saing wanita sendiri untuk mencerdaskan diri mereka sehingga mampu mereduksi dominasi pria. Sedangkan golongan Marxis menilai, kaum kapitalislah yang menindas wanita, dengan menjadikan mereka sebagai buruh tanpa perlindungan terhadap kesehatan reproduksi bahkan mempersyaratkan wanita tidak kawin dan beranak.
Orang Sosialis menyebut, ketertindasan kaum wanita adalah akibat garangnya mesin kapitalisme dan kolotnya budaya patriarki. Sedang agama mendalilkan, pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban mereka dalam porsi yang sesuai dengan fitrah masing - masing. Wanita tidak diberatkan kecuali di dalamnya ada balasan kemuliaan harkat dan janji surga. Bukankah ini sudah sempurna wahai Ibu kita Kartini?. ***