Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kultus Kartini dan Rahasia di Balik itu

21 April 2017   13:23 Diperbarui: 21 April 2017   22:00 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudahlah.! Wanita dan pria itu berdamai saja. Kenapa wanita ingin terus menerus menjadi musuh dalam selimut. Alam bawah sadar wanita tampaknya masih diliputi purbasangka kepada kaum pria, sebagai makhluk bagak penindas. Siapa yang bilang begitu, jangan – jangan bisa sebaliknya. Meriahnya Hari Kartini, wow.!

Peringatan Hari Kartini terlihat seperti kenduri kaum Hawa yang pernah terjajah berabad lamanya, lalu merayakan kebebasan mereka. Kaum Adam yang dituding sebagai penjajah, ikut pula bertepuk tangan, ada – ada saja.

Kebebasan seperti apa? Dulu Kartini dipingit, lalu mengirim rangkaian surat kepada sahabat - sahabat pena Holanda. Kartini terkagum – kagum kepada wanita Barat yang bisa sekolah tinggi ketika ia harus dikunci di rumah. Elegi feminis Kartini dalam surat – surat itu kemudian menjadi simbol ketertindasan.

Apa yang salah dengan kata pingit. Itu adalah sebentuk kearifan lokal untuk menjaga harkat wanita, daripada mereka melenggang di jalanan lalu membuat aib keluarga, bisa – bisa diperkosa Belanda. Dipingit dengan kesempatan untuk sekolah adalah dua hal yang sebenarnya bisa dipisahkan. Sezaman itu, jangankan wanita, pria bisa tulis baca saja sudah sangat mahal harga dirinya. Kartini masih beruntung karena ia berdarah biru sehingga dapat mengenal bangku sekolah. Sampai usia 12 tahun, ia diperbolehkan menuntut ilmu di Europese Lagere School (ELS).

Apa boleh buat Kartini menjadi Pahlawan Nasional yang tanggal lahirnya diperingati dengan kebaya dan aneka lomba. Kartini menjadi mitos, menjadi kultus, menjadi simbol, menjadi wacana usang kesetaraan gender. Padahal di belakang Kartini ada barisan nama harum yang lebih layak menjadi “Kartini” sebenarnya. Mereka lebih berkeringat, lebih berdarah – darah, lebih besar pengaruh bekas tangannya.

Dibanding Malahayati, Panglima Perang Kerajaan Aceh yang pernah hidup hampir tiga abad sebelum dirinya, Kartini hanyalah wanita sendu dari kelas priyayi yang terlalu akrab dengan Belanda. Dibanding Rohana Kudus, wanita Minangkabau, wartawati sekaligus pejuang pendidikan untuk kaumnya, Kartini terlihat sangat hijau dan hanya pandai beretorika di manara gading. Bahkan dibanding bangsawan Melayu, Engku Puteri Hamidah, dengan ketegasan dan keteguhan sikapnya, Kartini hanyalah wanita ambigu yang menolak dipingit, menjadi objek poligami yang pasrah dan kebarat – baratan. Atau siapa yang tak mengagumi Aisyah Amini - Singa Betina dari Senayan - pada masa Orde Baru, Kartini akan terlihat biasa.

Adalah J.H. Abendanon Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belandamengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Namun surat – surat tersebut dicurigai sebagai hasil rekayasa atau dramatisasi karena bersamaan dengan dilancarkannya Politik Etis (balas budi) Belanda. Keluh kesah Kartini dijadikan alat untuk menohok sekat – sekat adat yang menghambat realisasi sekolah – sekolah di tanah jajahan. Keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis Belanda, kemudian mendirikan Sekolah Kartini di berbagai kota di Pulau Jawa.

Kisah – kisah surat Kartini kemudian diadaptasi oleh Armijn Pane, Sastrawan Pujangga Baru dengan menulis bukuHabis Gelap Terbitlah Terang (1938), lalu diperkuat dengan syair – syair hiperbola Wage Rudolp Supratman dengan Ibu Kita Kartini kemudian disusul sebuah kompilasi berjudul Panggil Aku Kartini Saja oleh Pramoedya Ananta Toer.

Hingga kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun menjadi hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Daripada memusingkan kenapa Kartini bisa menjadi simbol emansipasi wanita, saya pribadi justru tertarik mengamati pemandangan aneh tentang repro negatif potret Raden Ajeng Kartini tertulis tahun pembuatan 1890, artinya ketika foto itu dibuat Kartini masih berumur sebelas tahun. Dengan sanggul dan kebaya, Kartini terlihat sangat ibu – ibu untuk ukuran belia sebelas tahun.

Meminjam Plato, dunia manusia hanya sedalam pikirannya sendiri. Kita sering berada dalam akuarium pikiran sendiri, hal – hal di luar itu akan tertolak. Ketika sebuah pola pikir terbentuk, maka hal – hal yang tidak identik dianggap sesat. Aktivis feminisme membonceng semangat Kartini untuk membuat konstruksi berpikir bahwa wanita berada dalam ancaman. Seolah – olah wanita selama initerus berada dalam subordinat dan hegemoni kaum pria, lewat doktrin patriarki, kungkungan adat dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun