Bertahun – tahun setelah itu ayah kembali dibuat kecewa. Bersama Rahmat Riyandi kami mengelola tabloid budaya. Tapi ayah tidak puas pada salah satu edisi. Berbagai alasan ayah buat untuk menghindari kami. Kami mencari tahu apa musababnya. Melalui ajudan ayah mengeluh: foto yang terbit kemarin sekecik – kecik umat (terlalu kecil).
Kami terbahak dan bermaksud mendatangi ayah untuk menawarkan foto terbesar di sampul depan. Tapi ayah mengalihkan cerita ke soal lain. Ayah mungkin merajuk atau sudah tak berminat. Ayah yang jenaka, memanggil saya Yong Dolah, seorang lagenda komika fenomenal dari Bengkalis.
Lewat tabloid ini ayah punya hajat untuk menerjemahkan Gurindam XII Raja Ali Haji secara berseri, lalu kemudian dibukukan. Gegara foto sekecik - kecik umat, semuanya terbengkalai.
Kini ayah benar – benar sudah tiada. Jejak – jejak ayah dalam pengembaraan hidup dari anak tukang kebun yang papa kedana, menjadi birokrat sarat pengalaman, lalu Gubernur Kepri adalah jejak – jejak kearifan, tentang nilai – nilai kejuangan, kejujuran dan keikhlasan.
Sani adalah sebuah ensiklopedia. Hampir tidak satupun pulau berpenghuni di Kepri yang tidak pernah ia kunjungi. Tak terbantahkan jika Sani satu – satunya figur paling paham problema sosial dan lika liku masyarakat yang menghuni setiap gugus Kepulauan Riau sampai ke akar - akarnya. Ditambah pengalaman berpuluh tahun sebagai birokrat, Sani hampir sempurna untuk ukuran seorang gubernur.
Meski tubuhnya renta tapi otaknya nomor satu. Tutur katanya sistematis, dan sanggup berdiri berjam – jam untuk pidato tanpa teks dengan lutut gemetar. Setidaknya ia lebih beruntung dari Stephen W Hawking, ahli fisika kuantum yang 40 tahun berada di atas kursi roda. Kini ensiklopedia itu sudah bersemayam di pusara. Selamat jalan Ayah Sani.! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H