Penyakit itu mendekapnya lama untuk kemudian menjadi asbab maut menjemput. Kematian itu mengendap, mengawasinya, mengintip dengan senyum lalu memilih saat yang tepat.
****
Delapan bulan sebelum Pilkada serentak 9 Desember 2015, saya dan orang dekat Sani, kanda Burhanuddin Nur membuat kerja diam – diam. Kami merilis media sosial untuk Sani: facebook, twitter, path dan sebuah website. Enam dari sebelas akun facebook-nya kena banned karena tidak lolos verifikasi. Penyebabnya akun – akun tersebut mencurigakan, ia diserbu netizen menembus angka 5.000 orang hanya dalam waktu beberapa hari. Ribuan permintaan pertemanan lainnya dipastikan tertolak.
Akun facebook atas nama atau yang menggunakan foto Sani yang bisa terselamatkan waktu itu adalah Muhammad Sani, Ayahnda Sani, Sani Gubernurku, Untung Sabut, Sani Kepri 1 dan Simpatisan Sani. Selama mengelola akun tersebut saya menyaksikan betapa antusiasnya warga Kepulauan Riau kepada sosok berwajah teduh ini. Betapa Sani sangat diinginkan, meski ada sekelumit sindiran – sindiran penolakan dari group sebelah.
Ratusan inbox dikirim netizen tiap hari untuk memberi semangat, memperkenalkan diri, mohon menghadap, mengundang acara, mengirim proposal, mempertanyakan masalah – masalah krusial di Kepri, memohon bantuan dana, sekadar menyapa, minta diangkat jadi honorer, minta dimutasi, mohon kepastian kapan dana bantuan provinsi cair dan beberapa lainnya menyarankan Sani untuk tidak maju pilkada karena sudah terlalu uzur. Ada lagi yang menawarkan bukti – bukti yang bisa digunakan sebagai senjata kampanye hitam, menyerang pihak lawan. Akun – akun tersebut sempat dinonaktifkan, untuk menghindari hal – hal yang tidak baik untuk Sani.
Ekpekstasi warga Kepri terlalu kuat agar Sani terus bertahan meski kondisi fisiknya sudah tampak tidak memungkinkan. Akun facebook Sani menjadi saluran komunikasi yang selama ini mungkin tersumbat oleh prosedur dan protokoler. Media sosial menjadi wadah tanpa sekat untuk menyampaikan selaksa harapan di pundaknya yang lelah. Jika diperas menjadi saripati, ada empat persoalan utama yakni air, listrik, jalan (transportasi) dan kesempatan kerja.
****
Duhai Ayah Sani yang sudah tenang di alam sana, sebagai mantan jurnalis hubungan saya yang tak seberapa dengan ayah tidak bisa dipaksakan untuk terus membaik. Ada saat – saat di mana saya harus menjalankan tugas bongkar muat perkara sensasional. Saya pernah mengulas kandungan “Buku Putih” ketika ayah menjabat Bupati Karimun. Berturut – turut berita itu terbit di harian nasional tempat saya pernah bertugas.
Ayah yang selalu menghindari konflik mengajak saya berdamai. Ayah yang waktu itu Wakil Gubernur Kepri menunggu lama di Restoran Sanur, Batam Center, tapi saya tidak sempat datang. Saya seperti tidak memberikan kesempatan kepada ayah untuk mengatakan yang sebenarnya, meluruskan silang sengketa.
Sewaktu ayah masih Bupati Karimun, saya waktu itu menjadi redaktur daerah di harian Sijori Mandiri. Tak ada angin tak ada hujan, pas dekat – dekat lebaran, Kepala Perwakilan Karimun Sugito bilang, “ini ada titipan dari Pak Sani”. Saya pribadi tak kan pernah melupakan ini.