Mohon tunggu...
muhammad nizar
muhammad nizar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Jokowi-JK adalah kita?

6 Juli 2014   21:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:14 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi saya rasa tidak ada pendukung yang lebih baik dibanding pendukung yang lain.

Pencitraan Media/mainstreaming/underground

Gini-gini saya jurnalis juga, anggoa Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) kota Banda Aceh dan telah mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis (semacam sertifikasi wartawan yang kurang masimal pemanfaatannya saya rasa). Soal media atau pencitraan saya bisa memahaminya sedikit banyak. Media mainstreaming bukan rahasia lagi bisa "dibeli". Bisa itu dalam bentuk kerjsama, iklan, macam parlementaria, dsbnya. Lantas media non mainstreaming (sebut saja underground)  tidak bisa dibeli? Memang tidak bisa dibeli karena gratis!!!

Artinya media underground ini, terutama media online atau yg abal-abal, tetap punya kepentingan. Apalagi sekarang dengan modal 200 ribu anda bisa dirikan media. Beli domain, sewa hosting, pake wordpress atau sejenisnya, jadilah satu media. Kasikan nama yang garang-garang sehingga tercitra media andalah yang paling jujur. Pengalaman saya, banyak sekali teman jurnalis yang mengelola media online sendirian termasuk saya sendiri. Ini baru jurnalis, banyak juga yang bukan jurnalis, kurang ngerti jurnalistik tapi punya media online. Mereka ga punya, wartawan, cukup copas aja, apalagi kantor, badan hukum ga usah tanya lah. Mereka tentunya punya preferensi sendiri berdasarkan apa yang mereka lihat, baca, dengar atau siapa yang bayar..

Kalau saya, dulu di awal kejatuhan orde baru, sangat suka dengan media underground karena mengungkap banyak hal tersembunyi. Namun sekarang pengalaman membuktikan lain. Media online kayak panu di badan orang yang jarang mandi, sangat mudah tumbuh, ga jelas apa maksudnya. Saya skr lebih suka mainstream. Paling tidak kita kita tahu alamat medianya, siapa wartawannya, jadi tahu kemana harus komplain. Jelas..

Dewan pers sudah menyatakan TVone harus meminta maaf kepada PDIP, kalau ga salah. Inilah enaknya media mainstream, tahu alamatnya, jelas penanggung jawabnya. Walaupun TV one kena demon, ini yang saya ga setuju. Sekrang sy lihat muncul orang yang mengecam dewan pers. Kenapa Metro TV ga kena tegus juga? Harap dibedakan, dewan pers menyelesaikan kasus per kasus saya rasa. Jadi bukan menilai keseluruhan acara tv. Yang ditegus dewan pers adalah acara yang menuduh PKI itu saja. Kalau ada yang mau melaporkan metro, saya rasa dewan pers akan memproses juga. Saat ini saya lebih yakin dewan pers dibanding para penuduh yang kurang paham kerja dewan pers itu.

Pencitraan? Halo..siapa sih jaman sekarang yang tidak pencitraan? Baik sengaja atau tidak sengaja sekarang adalah zaman media. Setiap tindak-tanduk tokoh menjadi bahan liputan. Bagi wartawan yang ikut pendidikan pasti udah tahu yang dimaksud dengan "nilai berita". Yang namanya tokoh pasti ada nilai berita jadi dikejar terus. Tinggal tokoh aja yang menyiapkan diri. Kedua capres pasti udah sadar akan hal ini.

Berapa banyak sih yang pernah jumpa SBY, atau jokowi atau Prabowo secara langsung? Citra mereka yang tergambar dalam benak kita pasti berasal dari media. Emangnya kita kawan main mereka dari kecil sehingga tahu luar dalamnya??? Jadi cara terbaik melawan pencitraan adalah dengan membaca sebanyak mungkin semua tokoh-tokoh idola kita, dari berbagai sudut (angle, ini kalo ngaku jurnalis pasti tahu) agar dapat keragaman infonya.

Jokowi dicitrakan sebagai jujur, merakyat dsb kita dapat dari media. Prabowo dicitrakan nasionalis, juga kita dapat dari media.

******

Tulisannya ini sebenarnya tidak layak dengan judul di atas. Tapi sebagai jurnalis, kita belajar untuk selalu membuat judul kalau membuat artikel. Daripada pening mikir, akhirnya judul diatas saya tulis saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun