Mohon tunggu...
muhammad nizar
muhammad nizar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Jokowi-JK adalah kita?

6 Juli 2014   21:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:14 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah lama tidak membuat catatan di fesbuk. Tapi hari ini saya terpancing membuatnya setelah membaca catatan seorang senior tentang pilihannya atas Jokowi-JK. Sebuah catatan yang menarik karena kalau dipikir-pikir mirip juga dengan isi hati saya. Belakangan berseliweran puluhan atau ratusan catatan yang terkait capres. Baik tentang capresnya sendiri, kelakukan tim suksesnya, masa lalu partainya atau apapun yang bisa dikait-kaitkan dengan capres. Seram-seram juga bacanya, susah membedakan mana pitnah mana fakta. Tapi dimata pendukungnya, semua tulisan yang bisa dijadikan amunisi untuk menyerang lawan akan dipakai habis-habisan.

Ini menjadi tulisan saya yang pertama tentang Capres Jokowi dan juga merupakan tulisan saya yang terakhir. Saya bukan anggota timses jokowi, tidak punya jabatan dalam organisasi apapun, tidak punya jabatan di kantor (kantor saja tidak punya), jadi saya tidak punya kapasitas mempengaruhi calon pemilih. Tulisan ini sekedar mengungkapkan uneg-uneg saya terhadap kondisi copras-capres, terutama Jokowi-JK. Kalau Prabowo-Hatta, saya sama sekali tidak punya perasaan terhadapnya, alias netral.

Benarkah Jokowi-JK adalah kita? Tagline ini menjadi andalan kampanye yang terpancang di setiap baliho atau iklannya. Kita lihat, mungkin benar, mungkin tidak.

Ketika pertama kali tahu tentang Jokowi, saya merasa heran, orang seperti dia kok bisa jadi walikota. Tidak ada tampangnya sebagai pejabat sedikitpun. Kurus, tidak bling-bling, tongkrongan biasa saja, kalau bicara medok jawa, tidak kelihatan intelek sama sekali. Tapi kok bisa ya Jokowi jadi walikota? Ini seperti saya, tidak ganteng (ini masih saya perdebatkan dengan saya sendiri!), tongkrongan cuma sepeda motor tua, penampilan kurang meyakinkan, tidak meyakinkan kalau bicara.

Makin lama karir jokowi makin bersinar. Dia dua kali jadi walikota Solo. Walau mantan Sekdanya bilang Jokowi ga ada apa-apanya selama jadi walikota. Tapi toh dia terpilih dua kali dengan masa kedua terpilih hampir 90 persen (mohon dikoreksi kalau salah). Apa jokowi nya yang bodoh atau warga Solo-nya yang b***d**h?

Setahu saya Jokowi anak dari seorang yang biasa-biasa saja. Bapak atau ibunya bukan tokoh terpandang, bukan priyayi jawa, ataupun punya keluarga pejabat. Tapi saya juga yakin meskipun kedua orangtuanya hanya orang biasa, mereka telah mengajarkan nilai-nilai yang luar biasa buat anaknya yang kurus ceking itu. Mencuatnya Jokowi ini tentu semata-mata karena kehendak Allah SWT dan kecerdasan beliau sendiri. Lha, dia tidak punya siapa-siapa yang bisa mendongkraknya. INi seperti berlawanan dengan kebanyakan tokoh selama ini. Biasanya mereka berasal dari keluarga terpandang (Prabowo anak Sumitro, orang hebat tempo dulu), minimal memiliki famili dari keluarga terpandang yang bisa mengungkit popularitasnya. Ini lebih kurang seperti saya juga, dari orang tua yang biasa-biasa saja, tidak punya jabatan, bukan tokoh dan tidak punya koneksi. Kita berbagi mimpi heheheh...

Melihat bahasa tubuh Jokowi, tidak begitu mirip dengan bahasa tubuh pejabat. Sebagai contoh, Sy memperhatikan, pejabat itu kalau bersalaman dengan orang lain yang tidak dikenalnya, jarang memandang mata lawan salamannya. Salamannya sambil lalu saja, lalu melengos. Tapi ini berbeda dengan Jokowi, ia salaman dengan menatap wajah lawan salamannya. Jika bersalaman dengan tokoh, ia membungkukkan badannya. Persis seperti rakyat jelata bersalaman dengan pejabat. Pencitraan? Bisa jadi, tapi ini tidak lazim. Seperti saya juga yang kalau salaman dengan tokoh atau pejabat, agak kikuk sehingga tanpa sadar membungkukkan badan sedikit.

Soal agama

Jokowi sering dikampanyekan bukan Islam, keturunan cina kristen.Tapi fakta ini kemudian bisa dipatahkan dengan mudah karena gambar-gambar selanjutnya membuktikan bahwa Ia Islam. Apa Islam  yang baik atau bukan, hanya Allah SWT yang tahu. Yang jelas ia beribadah sebagaimana lazimnya orang Islam beribadah. Calon sebelah saya lihat belum tampak ciri-ciri ke Islaman, ukuran saya sih dengan ibadahnya seperti shalat, berdoa dan sebagainya. Ada yang bilang calon sebelah tidak mau pamer. Tapi bagaimana mungkin tidak terekspose media, lha wong mereka berdua adalah capres yang segala gerak-geriknya di pantau media.

Agak aneh bagi saya ketika sebagian kelompok Islam, begitu semangatnya menjatuhkan jokowi, malah mengelu-elukan calon sebelah. Mereka menganggap di belakang jokowi ada tokoh syiah, LBGT, Sekuler dan sebagainya. Saya setuju dengan ini. Tapi calon sebelah menurut saya lebih parah, karena di depannya malah banyak non muslim. Keluarganya banyak non muslim, ada hasyim penyokong dana, ada HT raja media yang non muslim. Malah yang pilih ahok-non muslim dulu siapa??

Dalam Islam sy tidak pernah mengenal ada ungkapan " musuh dari musuh adalah sahabat". Apa kelompok ini sedang menjalani istilah ini sehingga menghujat habis-habisan Jokowi dan mendewakan sebelahnya? Kalau benar-benar ingin menegakan Islam, tegakan Islam secara benar tanpa pandang bulu. Cari tokoh sendiri yang Islami. Ini  baru fair.

Apakah dengan memilih Jokowi, orang Islam akan masuk neraka? Apakah dengan memilih prabowo, orang Islam akan masuk surga? atau vice versa? Masuk surga atau neraka hanya amal ibadah kita yang menentukan. dan itu caranya banyak sekali, tidak termasuk menebar fitnah saya rasa.

Jadi dalam konteks agama Islam, pertarungan kedua capres ini tidak relevan lagi. Karena kedua sama-sama mempunyai tokoh non muslim di kubunya.

Pengalaman memimpin

Jokowi dalam ejekan haters-nya dianggap memimpin Solo dan jakarta tidak becus. Apalagi memimpin Indonesia yang besar ini. Yang cocok adalah calon sebelahnya. Lah yang bener aja, calon sebelah setahu saya tidak pernah memimpin teritorial (wilayah) apapun. Tidak pernah jadi Danramil, tidak pernah jadi Dandim, jadi Danrem juga enggak, apalagi jadi Pangdam. Seumur karirnya cuma memimpin pasukan elit, kopassus dan kostrad. Memimpin pasukan juga hebat tetapi karakteristiknya sangat jauh berbeda.

Jokowi juga dianggap mengabaikan tugas sebagai gub DKI sebelum masanya berakhir. Lha Prabowo juga begitu, tidak lagi menjadi TNI sebelum masa tugasnya berakhir. Soal kenapa berhenti, cari tahu sendiri lah...

Di tentara, titah komandan adalah "ayat suci" yang harus dijalankan anak buah. Jika membangkang, maka anak buah bisa ditabok, dipenjara atau ditembak kalau perlu. Sistem komando, tidak memberi ruang anak buah untuk membantah, makanya memimpin militer relatif lebih mudah menurut saya karena tingkat kepatuhan anak buah yang tinggi.

Bagaimana dengan sipil atau pemerintahan? Perintah A dari pimpinan bisa jadi A besar, bisa jadi a kecil, bisa jadi A minus dan sebagainya. Dibantah juga bisa kalau perlu, tinggal cari alasan saja. Tidak ada sistem komando dalam sipil, semua aspirasi harus ditampung. Tidak bisa bertindak semau pimpinan saja, ada sederet aturan yang harus dipenuhi. Makanya tingkat kesulitannya pun lebih tinggi. dan banyak yang gagal di sipil.

Jokowi relatif berhasil memimpin daerah, setidaknya menurut warga Solo yang memilihnya dua kali dan warga DKI yang memilihnya sekali (walau sebagian pemilihnya merasa tertipu hehehhe..).

Pendukung

Pendukung kedua belah pihak sama saja menurut saya. Ada yang sopan, ada yang kasar, ada yang asal bela, ada yang argumentatif. Biasanya dukungan diberikan seseorang sesua dengan pengetahuan yang dimilikinya tentang calonnya, pengalaman pribadi terkait capres dan pengalaman hidup barangkali. Ini yang membentuk preferensi seseorang. NAmun ada seorang pendukung Jokowi di FB saya yang lumayan saya kagumi. Dia mau meladeni pendukung bonek capres sebelah, tetap dengan santun dan berdasarkan argumen jernih. Ia yang walaupun sebenarny tidak mendukung jokowi, namun punya pengalaman hidup yang tidak mengenakan dengan perusahaan milik prabowo. Ia juga merasa diantara kedua calon yang sama lemahnya, ia lebih cenderung memilih jokowi untuk menyelamatkan bangsa ini.

Dalam sebuah riset, ntah siapa yg buat saya lupa, PDI-P kebagian disebut sebagai partai yang paling korupsi. Mungkin saja, ini soal metodologi saya rasa. Tapi partai lain, bukan ga banyak. Sebut saja demokrat (ketua Umumnya), PPP (ketua umumnya), PKS (ini yang membuat saya mati kutu, ketua umumnya juga). Mereka semua bergabung bersatu membela mantan danjen kopassus.

Jadi saya rasa tidak ada pendukung yang lebih baik dibanding pendukung yang lain.

Pencitraan Media/mainstreaming/underground

Gini-gini saya jurnalis juga, anggoa Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) kota Banda Aceh dan telah mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis (semacam sertifikasi wartawan yang kurang masimal pemanfaatannya saya rasa). Soal media atau pencitraan saya bisa memahaminya sedikit banyak. Media mainstreaming bukan rahasia lagi bisa "dibeli". Bisa itu dalam bentuk kerjsama, iklan, macam parlementaria, dsbnya. Lantas media non mainstreaming (sebut saja underground)  tidak bisa dibeli? Memang tidak bisa dibeli karena gratis!!!

Artinya media underground ini, terutama media online atau yg abal-abal, tetap punya kepentingan. Apalagi sekarang dengan modal 200 ribu anda bisa dirikan media. Beli domain, sewa hosting, pake wordpress atau sejenisnya, jadilah satu media. Kasikan nama yang garang-garang sehingga tercitra media andalah yang paling jujur. Pengalaman saya, banyak sekali teman jurnalis yang mengelola media online sendirian termasuk saya sendiri. Ini baru jurnalis, banyak juga yang bukan jurnalis, kurang ngerti jurnalistik tapi punya media online. Mereka ga punya, wartawan, cukup copas aja, apalagi kantor, badan hukum ga usah tanya lah. Mereka tentunya punya preferensi sendiri berdasarkan apa yang mereka lihat, baca, dengar atau siapa yang bayar..

Kalau saya, dulu di awal kejatuhan orde baru, sangat suka dengan media underground karena mengungkap banyak hal tersembunyi. Namun sekarang pengalaman membuktikan lain. Media online kayak panu di badan orang yang jarang mandi, sangat mudah tumbuh, ga jelas apa maksudnya. Saya skr lebih suka mainstream. Paling tidak kita kita tahu alamat medianya, siapa wartawannya, jadi tahu kemana harus komplain. Jelas..

Dewan pers sudah menyatakan TVone harus meminta maaf kepada PDIP, kalau ga salah. Inilah enaknya media mainstream, tahu alamatnya, jelas penanggung jawabnya. Walaupun TV one kena demon, ini yang saya ga setuju. Sekrang sy lihat muncul orang yang mengecam dewan pers. Kenapa Metro TV ga kena tegus juga? Harap dibedakan, dewan pers menyelesaikan kasus per kasus saya rasa. Jadi bukan menilai keseluruhan acara tv. Yang ditegus dewan pers adalah acara yang menuduh PKI itu saja. Kalau ada yang mau melaporkan metro, saya rasa dewan pers akan memproses juga. Saat ini saya lebih yakin dewan pers dibanding para penuduh yang kurang paham kerja dewan pers itu.

Pencitraan? Halo..siapa sih jaman sekarang yang tidak pencitraan? Baik sengaja atau tidak sengaja sekarang adalah zaman media. Setiap tindak-tanduk tokoh menjadi bahan liputan. Bagi wartawan yang ikut pendidikan pasti udah tahu yang dimaksud dengan "nilai berita". Yang namanya tokoh pasti ada nilai berita jadi dikejar terus. Tinggal tokoh aja yang menyiapkan diri. Kedua capres pasti udah sadar akan hal ini.

Berapa banyak sih yang pernah jumpa SBY, atau jokowi atau Prabowo secara langsung? Citra mereka yang tergambar dalam benak kita pasti berasal dari media. Emangnya kita kawan main mereka dari kecil sehingga tahu luar dalamnya??? Jadi cara terbaik melawan pencitraan adalah dengan membaca sebanyak mungkin semua tokoh-tokoh idola kita, dari berbagai sudut (angle, ini kalo ngaku jurnalis pasti tahu) agar dapat keragaman infonya.

Jokowi dicitrakan sebagai jujur, merakyat dsb kita dapat dari media. Prabowo dicitrakan nasionalis, juga kita dapat dari media.

******

Tulisannya ini sebenarnya tidak layak dengan judul di atas. Tapi sebagai jurnalis, kita belajar untuk selalu membuat judul kalau membuat artikel. Daripada pening mikir, akhirnya judul diatas saya tulis saja.

Saat menulis ini saya ketemu link ini: https://www.facebook.com/m.supriatma

Isinya banyak tentang bagaimana memoles citra seorang tokoh, menyiapkan kampanye dengan mencari kelemahan lawan dan sebagainya. Politik di Indonesia masih seperti main tenis meja, kita mendapat nilai kalau lawan membuat kesalahan.

Terakhir, kabarnya Prabowo akan rujuk dengan Titik? Bagus. Ini sangat dianjurkan dalam Islam. CUma ada analisis yang mengatakan kenapa rujuknya di minggu tenang? jadi dibilang ini merupakan "kampanye" dimasa bukan kampanye. Artinya diharapkan bisa menarik perhatian pemilih perempuan yang mana menurut konsultannya, pemilih perempuannya masih dikit. Tapi jangan percaya ini 100 persen.

Terakhir, siapapun yg menang nanti, sy kurang yakin mereka mampu membereskan persoalan-persoalan kita, ditengah ratusan juta penduduk Indonesia. Kenapa? karena yng kita butuhkan bukan seorang Jokowi atau Prabowo semata. tapi kita butuh ribuan jokowi atau prabowo lain, untuk mengelola luasnya wilayah Indonesia dan keanekaragaman bangsa. Kita butuh bupati/walikota/keuchik/kades/kadis atau bahkan keplor yang sekelas mereka berdua.
Jadi apakah saya akan mencoblos Jokowi tanggal 9 Juli nanti? Belum tentu, siapa tahu saya ketiduran hingga bangun kesiangan hari itu. Tapi saya bukan penggila bola loh...

Banda Aceh, 5 Juli 2014, sambil nunggu buka puasa dan sedang hobi berkebun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun