Mohon tunggu...
Muhammad NurullohBestami
Muhammad NurullohBestami Mohon Tunggu... Ilmuwan - Progresif revolisioner

Jika menang tak perlu berkomentar, jika kalah tak perlu beralasan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Suksesnya Kebijakan One Day No Rice di Kota Depok

4 Juli 2019   09:30 Diperbarui: 4 Juli 2019   10:16 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : M Nurulloh Bestami

KEBIJAKAN ONE DAY NO RICE

Konsumsi beras yang sangat tinggi di Indonesia menjadi salah satu isu publik yang diambil oleh pemerintah untuk dimasukan kedalam salah satu agenda seting nya. 

Melihat fakta yang terkait over konsumsi beras di Indonesia, presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan PerPres No.22 Th. 2009 yang mengatur tentang Percepatan Penganekaragaman1Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal dan kemudian diimplementasikan oleh Menteri Pertanian dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No.43/Permentan/ OT.1401/1101/12009 yang mengatur tentang tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya1Lokal. 

Dari kebijakan yang diambil pemerintah pusat dalam menangani isu ketahanan pangan, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat No.60 Th.20100yang didalamnya mengatur tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal dan Surat Edaran Gubernur Jabar No.5011/1341/ Binprod tanggal 15 Juli perihal Gerakan Menurunkan Konsumsi Beras.

Isu mengenai over konsumsi terhadap beras sebenarnya juga menjadi salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh Kota Depok pada tahun 2012. Sehingga isu tentang pangan menjadi salah satu kebijakan unggulan yang digalakan pada masa pemerintahan walikota Depok Nur Mahmudi Ismail. 

Regulasi-regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun provinsi ditanggapi dengan baik oleh Pemkot Depok yaitu dengan mengeluarkan kebijakan Gerakan One Day No Rice. Gerakan ini diberlakukan oleh Pemkot Depok, dikarenakan Depok mengalami defisit produksi beras terhadap tingkat konsumsi oleh masyarakat. 

Kota Depok mampu menghabiskan konsumsi terhadap beras sebanyak 186.026,990 ton pertahun, sedangkan jumlah produksi beras yang mampu dihasilkan oleh Kota Depok hanya mampu memproduksi beras sebanyak 5220 ton per tahunnya. Maka dengan demikian Kota Depok akan mengalami defisit ktersediaan beras sebanyak 487 ton perharinya (www.depok.go.id).

Selain untuk mengatasi ketergantungan masyarakat akan konsumsi beras yang berlebih, kegiatan ini juga dianggap mampu menajdi salah satu cara meningkatkan minat masyarakat dalam mengkonsumsi bahan pangan lokal demi terciptanya pola konsumsi pangan masyarakat yang beragam, bergizi, berimbang, aman dan halal. 

Selain meningkatkan minat masyarakat akan bahan pangan lokal selain beras, gerakan One Day No Rice juga akan menekan peningkatan inflasi, dikarenakan akibat yang ditimbulkan dapat menstabilkan harga beras dikarenakan jumlah konsumsi beras yang cenderung normal dan tidak membludak.

DIBALIK KEBIJAKAN ONE DAY NO RICE 

Kebijakan yang dapat dibilang banyak memuai pujian dikarenakan dampaknya yang mampu mengurangi tingkat konsumsi beras masyarkat dan juga dapat meningkatkan diversifikasi bahan pangan masyarakat Depok.

 Kebijakan inovatif seperti ini memang dibutuhan di Indonesia dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.[1] Namun meskipun gemilang, dalam formulasi kebijakan yang dilakukan bukan berarti terlepas dari kepentingan-kepentingan politik yang ada didalamnya. 

Dibalik gemilangnya kebijkan gerakan One Day No Rice ternyata ada sebuah isu yang terjadi bersamaan dengan adanya kebijakan ini. Beberapa bulan stelah kebijakan ini dikeluarkan, Kota Depok meraih peringkat sebagai kota dengan tingkat inflasi tertinggi di tahun 2012. Dengan dikeluarkannya kebijakan baru dan inovatif bukan berarti tidak akan mengalihkan perhatian publik terhadap kebijakan baru yang dibuat pemerintah. 

Pada kebijakan One Day No Rice bukan tidak mungkin sengaja dibangun untuk mengalihkan isu ekonomi yang sedang melanda kota tersebut. Hal ini penulis nyatakan bukan tanpa alasan, pasalnya kebijakan tersebut juga dalam pernyataan Pemerintah Kota Depok di situsnya yang menyatakan bahwa dengan adanya pengurangan konsumsi beras maka akan juga berdampak pada penekanan terhadap inflasi. 

Hal ini menunjukan bahwa seolah inflasi bukan merupakan fokus utama kebijakan ini melainkan pada isu ketahanan pangan. Beberapa bukti diatas juga menunjukan bahwa ada isu yang sebenarnya seolah ditutupi dibalik kebijaka gerakan One Day No Rice ini, yaitu isu tentang inflasi.

Dalam konsep mengenai proses pembatan kebijakan milik Portney, ada bagian dimana kebijakan harus melalui tahap problem formation dimana isu-isu yang berkembang di masyarakat akan saling berkompetisi agar dapat masuk kedalam seting agenda pembuat kebijakan, begitupula fakta empirik yang terjadi dalam kebijakan gerakan One Day No Rice di Kota Depok ini. Proses problem formation ternyata menghasilkan sebuah kebijakan yang menurut penulis cenderung kurang begitu bijak dalam memilih alternatif kebijakan yang hendak diambil. Hal tersebut dapat dilihat bahwa isu tentang inflasi gagal masuk kedalam agenda seting para pembuat kebijakan di Kota Depok. Dan fakta yang mengejutkan adalah isu tersebut mampu dikalahkan oleh isu pangan, padahal apabila inflasi di Kota Depok dibiarkan terus naik maka akan terjadi pergejolakan harga yang cenderung tidak stabil dan akan berakibat pada kesejahteraan masyarakat di Kota Depok.

AKHIR KEBIJAKAN ONE DAY NO RICE

Selayaknya kebanyakan kebijakan di Indonesia, kebijakan gerakan One Day No Rice yang merupakan program unggulan dari Walikota Depok, Nur Mahmudi Ismail berakhir pada masa kepemimpinan Mohammad Idris Abdul Somad, yaitu Walikota Depok periode 2016-2021. Selayaknya kebijakan pada umumnya yang perlu melalui tahap akhir, yaitu tahap evaluasi, kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Nur Mahmudi Ismail yaitu gerakan One Day No Rice nampaknya menghasilkan kebijakan baru yang berkonotasi negatif, yaitu dihentikannya gerakan One Day No Rice.

Menurut Mohammad Idris Abdul Somad, kebijakan One Day No Rice dirasa kurang cocok bagi masyarakat secara general. Kebijakan tersebut hanya cocok bagi orang-orang dengan jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga lebih sedikit. Berikut tanggapan yang diberikan oleh Walikota Depok periode 2016-2021 ini :

"Mungkin kalau untuk dosen yang keseharian mengajar bisa, nggak boleh banyak-banyak makan nasi khawatir diabetes yang ujung-ujungnya ngantuk ngajarnya, lah kalau kuli bangunan nggak makan nasi, pingsan dia,"[2]

 Dengan dihentikannya kebijakan tersebut memang menunjukkan bahwa ada tahap evaluaisi kebijakan yang dilakukan oleh walikota terpilih yang menggantikan Nur Mahmudi Ismail sebagai Walikota Depok. Namun dengan dihentikannya kebijakan tersebut juga menunjukan bahwa proses adaptasi kebijakan (policy adaption) bagi masyarakat dapat dikatakan gagal. 

Pasalnya, kebijakan tersebut tidak mampu mengkaji kondisi sosial masyarakat Kota Depok  sehingga harus dihentikan dengan dalil kurang cocok bila diberlakukan terhadap seluruh kalangan masyarakat, dan hanya cocok apabila diberlakukan pada masyarakat dengan kategori tertentu.

Namun kegagalan kebijakan tersebut untuk tetap diberlakukan bukan serta merta hanya disebabkan oleh gagalnya tahap adaptasi kebijakan pada proses pembentukan kebijakan, melainkan berkemungkinan juga dipengaruhi oleh tidak berjalan secara baiknya tahapan lain pada proses pembentukan kebijakan. 

Misalnya dapat berkemungkinan terjadi "salah pilih opsi" pada tahap formulasi kebijakan penyelesaian isu yang diambil oleh Pemkot Depok. Hal tersebut sangat berpeluang terjadi apabila kepentingan partikular milik para pemangku kepentinga menjadi lebih dominan ketimbang kepentingan universal yang dimiliki oleh publik. 

Selain itu kegagalan kebijakan tersebut berkemungkinan terjadi kesalahan pada tahap policy adaption. Kemungkinan lainnya adalah adanya kesalahan yang menyebabkan gagalnya kebijakan One Day No Rice ini terletak pada implementasi kebijakan yang tidak didukung oleh kalangan masayarakat, atau adanya hambatan diluar proyeksi kebijakan ini. Sehingga menyebakan ketidak efektifan kebijakan dan bermuara pada dihentikannya kebijakan ini.

 

   

[1] Muhammad Tahir Haning, Reformasi Birokrasi : Desain Organisasi yang Mendukung Pelayanan Publik di Indonesia, hlm. 5

   

[2] IWAN SUPRIYATNA, Dedi Mulyadi Komentari Program One Day No Rice di Depok, 2017 (https://regional.kompas.com/read/2017/12/21/11344701/dedi-mulyadi-komentari-program-one-day-no-rice-di-depok) diakses pada tanggal 6 Mei pukul 22.25 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun