Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Kliwon, Episode Matinya Kucing Hitam

30 Mei 2018   19:16 Diperbarui: 30 Mei 2018   19:32 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu setelah pertistiwa matinya Mochi.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Wage sambil berlari membukakan pintu. Di depan pintu berdiri seorang bapak dan ibu, lalu di belakangnya seorang anak muda membawa keranjang yang dibungkus kain batik. Bapak itu menyapa Wage, dan bertanya apakah orangtuanya di rumah. Wage memersilakan tiga tamu itu masuk dan duduk di kursi tamu.

"Hati-hati, Pak. Kursinya sudah mau pada patah," kata Wage sambil masuk ke ruang dalam memanggil Romo dan Simbok.

"Maaf, apakah saya sudah pernah bertemu?" Kliwon membuka pembicaraan dengan tiga tamunya yang duduk terlihat kaku.

"Benar. Kita belum pernah bertemu. Kita datang mengantarkan anak saya mau minta maaf kepada keluarga Bapak."

"Memang salah," kata Legi.

"Maaf sekali, anak saya yang minggu lalu menabrak kucing dfi depan rumah ini. Saya mengantarkan anak saya untuk minta maaf."

Si Pon yang duduk di sebelah Kliwon matanya memerah kembali. Ada bulir bening jatuh membasahi kedua pipinya. Ia tak mampu bersuara menahan marah. Tetapi ia sudah berjanji mengikuti tindakan Kanjeng Rosul, sehingga ia tak meluapkan kemarahannya. Seminggu lalu ia sudah memaafkan penbrak kucing itu, dan hari ini ia bertemu dengannya. Pon bertekad untuk tetap memaafkan orang yang telah membuatnya sedih tanpa batas.

"Minta maaf saja dengan Pon ini, ia pemilik kucing itu," kata Kliwon.

"Iya, Kang Pon nggak pernah berhenti menangis, lo," kata Wage menyela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun