Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Kliwon, Episode Matinya Kucing Hitam

30 Mei 2018   19:16 Diperbarui: 30 Mei 2018   19:32 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: www.kucingmu.com)

Si Pon masih menangis, isakannya tak henti-henti. Legi sudah berupaya mengentikan tangis anak mbarepnya, tapi air mata itu masih terus mengucur, umpama air hujan tumpah ruah dari langit. Matanya kini tampak mulai memerah, dan membengkak di kelopak matanya. Pasalnya, kucing kesayangannya yang bernama Mochi mati.

Padahal kucing itu dipeliharanya sejak kecil, selalu tidur besama di atas kasur. Kucing berbulu hitam solid itu juga manjanya tidak ketulungan. Meski sedang tidur pulas, kalau mendengar suara Pon, Mochi pasti langsung terbangun, lalu berlari ke arah Pon, dan berputar-putar di sela-sela kakinya, sambil mengeluarkan bunyi meong dengan nada manja.

"Nggak ada yang bisa menggantinya, Mbok."

"Simbok tahu. Tapi apalagi yang bida diharapkan. Kita harus yakin, kematiannya itu kehendak Gusti Alloh."

"Tapi, Mbok...."

"Tidak ada tapi untuk ketentuan Gusti Alloh, untuk takdir Sang Murbening Dumadi."

***

Siang itu, Mochi sedang bertiduran di jalan setapak depan rumah Kliwon. Selama ini, memang tidak pernah ada masalah, sebab yang melalui jalan setapak itu memang hanya pejalan kaki dan paling banter pengendara sepeda ontel. Mochi dengan begitu tetap aman, kecepatannya menghindari pejalan kaki dan pesepeda ontel bisa diandalkan.

Saat Mochi tertidur itulah melaju sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Lalu, 'brak', Mochi tergilas roda motor itu, dan langsung wafat dengan luka menganga di bagian perut. Motor itu sempat oleng, berhenti  sebentar lalu melaju kembali dengan kecepatan tinggi. Tak lama, menyusul motor polisi yang mengejarnya, dan sekali lagi tubuh Mochi terlindas tepat di bagian tengah tubuhnya.

Pulang sekolah, Pon menemukan tubuh Mochi di pinggir jalan setapak, darah di bagian peruit sudah tampak mulai mengering. Tetapi ratusan lalat berperta pora di tubuh Mochi yang terbuka. Pon berlari ke dalam kamarnya, mengambil sarung dan membungkus tubuh Mochi dengan hati-hati. Air matanya mulai mengalir perlahan. Tangis itu meledak saat Pon mulai menggali tanah kubur Mochi di belakang rumah.

***

Azan Asar berkumandang ketika Pon selesai mengubur tubuh Mochi. Pon memasang batu gunung berwarna hitam di bagian kepala makam Mochi. Sejak itu, Pon hanya memeluk nisan batu hitam sampai Legi datang setelah belanja dari warung.

"Simbok bensr-benar nggak tahu siapa yang menabrak?"

"Pon, Simbok nggak tahu. Simbok hanya dengar cerita dari orang-orang motor yang melaju cepat itu pelaku tabrak lari yang dikejar polisi."

"Semoga dia mati di tabrak mobil."

"Nggak boleh berdoa begitu, Pon. Berdoalah yang baik untuk orang-orang yang bersalah."

"Biar kapok."

"Masih ingat cerita ketika Malaikat Jibril meminta izin kepada Kanjeng Rosul untuk menimpakan gunung Thaif karena penduduknya menyakiti Kanjeng Rosul?"

"Iya, Mbok."

"Karena kesabaran Rosul, ia melarang malaikat melakukannya. Dan Kanjeng Rosul memaafkan masyarakat Thaif dan bersdoa agar mereka mendapat petunjuk."

"Iya, Mbok. Saya memaafkannya."

***

Seminggu setelah pertistiwa matinya Mochi.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Wage sambil berlari membukakan pintu. Di depan pintu berdiri seorang bapak dan ibu, lalu di belakangnya seorang anak muda membawa keranjang yang dibungkus kain batik. Bapak itu menyapa Wage, dan bertanya apakah orangtuanya di rumah. Wage memersilakan tiga tamu itu masuk dan duduk di kursi tamu.

"Hati-hati, Pak. Kursinya sudah mau pada patah," kata Wage sambil masuk ke ruang dalam memanggil Romo dan Simbok.

"Maaf, apakah saya sudah pernah bertemu?" Kliwon membuka pembicaraan dengan tiga tamunya yang duduk terlihat kaku.

"Benar. Kita belum pernah bertemu. Kita datang mengantarkan anak saya mau minta maaf kepada keluarga Bapak."

"Memang salah," kata Legi.

"Maaf sekali, anak saya yang minggu lalu menabrak kucing dfi depan rumah ini. Saya mengantarkan anak saya untuk minta maaf."

Si Pon yang duduk di sebelah Kliwon matanya memerah kembali. Ada bulir bening jatuh membasahi kedua pipinya. Ia tak mampu bersuara menahan marah. Tetapi ia sudah berjanji mengikuti tindakan Kanjeng Rosul, sehingga ia tak meluapkan kemarahannya. Seminggu lalu ia sudah memaafkan penbrak kucing itu, dan hari ini ia bertemu dengannya. Pon bertekad untuk tetap memaafkan orang yang telah membuatnya sedih tanpa batas.

"Minta maaf saja dengan Pon ini, ia pemilik kucing itu," kata Kliwon.

"Iya, Kang Pon nggak pernah berhenti menangis, lo," kata Wage menyela.

"Saya minta maaf, ya, Dik Pon," kata anak muda itu. Ia mengulurkan tangan dan Pon menyambutnya. Meski ia mencoba tersenyum, tetapi duka yang ia sembunyikan tetap saja tampak oleh siapapun yang memandang wajahnya.

"Mungkin ini tidak bisa menggantikan kucingmu, tapi semoga bisa sedikit saja mengurangi kesedihanmu, Dik."

Anak muda itu mengangkat keranjang ke atas meja. Membuka tutup kain batiknya, dan muncul seekor kucing jenis Garfield berwarna hitam solid. Ia menciumi pipi anak muda itu tak henti-henti. "Ini kucing kesayanganku, dan akan kuserahkan sebagai kenang-kenanganku dan sebagai penebus rasa bersalahku," katanya.

"Kakak, tidak usah. Tidak perlu," kata Pon.

"Saya harap ini diterima, kalau tidak saya akan merasa bersalah selamanya," kata anak muda itu.

Poin menatap ke arah Romo dan Simboknya, ke sarah anak muda itu dan juga bapak dan ibunya. Semuanya mengangguk dan menunjukkan harapan Pon mau menerimanya. Lalu Pon berdiri dan memeluk anak muda yang berdiri di sampingnya.

"Terima kasih," kata Pon yang dibalas dengan pelukan semakin erat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun