Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Kliwon, Episode Menjual Cincin Kawin

29 Mei 2018   20:28 Diperbarui: 29 Mei 2018   20:42 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber Foto: www.spillasilver.com)

Berkali-kali Legi memerhatikan suaminya. Tidak seperti biasanya, ia tampak begitu gelisah, duduk di ruang dalam tak tenang, duduk depan rumah tak tenang. Legi ingin menyapanya, tetapi khawatir Kliwon sedang ingin sendiri. Legi berlalu ke dapur mempersiapkan makan sahur, dan Kliwon kembali keluar rumah. Kali ini duduk di bangku di bawah pohon nagka tua di sudut barat halaman rumahnya.

"Romo ke mana, Mbok?" Wage berteriak dari meja makan. Biasanya, begitu Wage bangun, ia sudah akan mendapati Romo duduk di meja makan, atau sedang menyiapkan teh hangat empat gelas, untuk dirinya sendiri, anak-anak dan istrinya.

"Romo di luar rumah, Le," jawab Legi dengan suara keras karena ia masih berada di dapur. Tangannya sedang sibuk mengatur kayu bakar agar nyalanya bagus, dan sayur yang sedang dihangatkan segera bisa disajikan di meja makan.

Rajab sudah meneriakkan sahur, sahur, sahur melalui pengeras suara dari Musala kampung sudah membangunkan warga kampung. Para pasukan anak-anak muda kampung sudah berkeliling membangunkan penduduk dengan suara tabuhan dasi alat-alat seadanya, dan membawa oncor, penerang dari bambu menggunakan oli bekas. Kalau dulu mereka menggunakan minyak tanah sebelum harganya menjadi mahal dan keberadaannya melangka.

Legi tak mendapati suaminya di meja makan, hanya si Pon dan Wage yang sedang menunggu sayur yang dihangatkan untuk segera makan sahur. Setelah menata sayur untuk anak-anak, Legi segera menyusul suaminya di sudut halaman rumah.

"Ada apa?"

"Entahlah. Tiba-tiba saja ingatanku selalu ke KH. Abu Hasan."

"Saya belum pernah dengar."

"Memang tidak pernah saya ceritakan bagaimana pernah mendengar."

"Ah, kamu."

"Siapa dia, Kang?"

"Kasih tahu nggak, ya?"

"Kang....," kata Legi sambil memukul-pukul lengan suaminya.

Kliwon menceritakan, KH Abu Hasan itu gurunya yang mengkhatamkan dirinya saat mengaji Alquran. Dia juga yang membimbing dan mengajari beberapa kitab kuning di Musala ketika masih tinggal di Lampung. KH. Abu lulusan dari Pesantren Lirap Kebumen yang dikenal dengan ilmu alatnya. 

Dalam tradisi pesantren, yang dimaksud dengan ilmu alat itu adalah kitab-kitab nahwu (tata bahasa Arab). Santri akan mengaji dari kitab paling kecil, Jurumiyah, lalu naik ke atas mengaji kitab Imriti, dan terakhir mengaji Kitab Alfiah (Kitab Seribu Bait).

KH. Abu selain guru mengaji Kliwon sebelum dirinya masuk pesantren, juga sebagai sahabat akrab ayah Kliwon, meski usianya berada jauh di bawahnya. Sebab itu, salah satu wujud berbakti kepada orangtua yang sudah meninggal adalah bersilaturrahmi dengan para sahabat orangtua. Begitulah ajaran di pesantren yang diingat Kliwon.

"Kang Kliwon tentu merindukannya," kata Legi.

"Ya, tentu saja.'

"Juga ingin bersilaturahmi dengannya."

"Ya, tentu saja."

"Insyaalloh Gusti akan mengijabahi."

"Kita nggak ada dana untuk perjalanannya."

"Insyaalloh, Kang. Tapi sekarang kita makan sahur dulu."

Tentu saja Kliwon hanya bisa mengucapkan kata 'amin', tapi tak pernah tahu dari mana dana untuk bersilaturrahmi ke KH Abu. Ia memang selalu percaya Gusti Alloh akan memberikan rezeki dari arah yang sama sekali tak pernah diduga hambaNya, min haitsu la yahtasib. Kliwon masih tak tahu, dan ia makan sahur dengan perasaan masygul.

Tapi, Legi mengulum senyumnya. Kali ini ia ingin membahagiakan suaminya, memenuhi keinginannya yang sudah puluhan tahun dipendamnya. Ia akan menjual cincin kawin, gelang dan kalung yang selama ini ia beli sedikit demi sedikit dari sisa uang dari hasil kerja suaminya.

"Demi cinta dan kasihku, Kang," katanya dalam hati.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun