Tiba-tiba, dunia maya dihentakkan kabar perilaku para pedofil yang menjaring anak-anak menjadi korbannya melalui internet. Ramai-ramai orang mengutuk internet sebagai biang terbukanya kesempatan dan biangnya praktik-praktik kekerasan seksual kepada anak.Â
Seorang kolega dan senior dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi melalui akun twitternya kira-kira menulis begini, "internet lagi yang disalahkan. Solusinya nanti internet ditutup. Simplifikasi sekali. Malas mikir."
Terungkapnya jaringan para pedofil ini, tentu saja hanya salah satu bukti mengenai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak memang sudah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia.Â
Sebagaimana dirilis media online, mengutip laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015, Maria Hartiningsih menyebutkan telah terjadi kasus pelecehan seksual sebanyak 1.726 kasus, dan 58 persennya anak-anak sebagai korbannya.Â
Menurutnya, ada sekitar 1.000 kasus pelecehan seksual yang dialami anak-anak dengan ragam bentuknya, sodomi, pemerkosaan, dan incest. Angka kasus kekerasan seksual terhadap anak memang terus meningkat setiap tahunnya.Â
Pada tahun 2013, terjadi 2.700 kasus 42 persennya kasus pelecehan seksual, dan pada tahun 201 terjadi 3.339 kasus kejahatan terhadap anak, kasus pelecehan seksual mencapai 52 persen.
Tetapi kenapa internet yang disalahkan? Ini merupakan pemikiran paling konservatif dalam kehidupan manusia. Menyalahkan alat manakala kesalahan terjadi dalam dirinya.Â
Lihat saja, saat seseorang bermain bulu tangkis, dan pukulan kerasnya tak tepat, bahkan bola berbulu itu melenceng jauh keluar lapangan, ia akan segera melihat raketnya, seakan-akan raket itulah yang salah, mungkin ia bengkok, mungkin senarnya kurang kecang, dan sederta pertanyaan yang dituduhkan kepada raket sebagai alat.
Penyalahan alat merupakan jalan pintas dan paling efektif menutupi kesalahan diri manusia. Kalau dibawa ke dalam ranah kebijakan, menyalahkan internet sebagai biang keladi persoalan pedofil sedang menunjukkan perilaku paling konservatif itu.Â
Tujuannya tentu saja mengalihkan kesalahan dalam menegakkan kebijakan kepada internet. Lalu akan disusul solusi melakukan pemblokiran atau penutupan dan pembatasan penggunaan internet.
Penyalahan alat, merupakan penanda bagi tidak bekerjanya pemikiran kritis dalam para pengambil kebijakan dan juga masyarakat umum. Sebuah kerangka berpikir yang selalu mempertimbangkan banyak sistem yang bekerja dalam kehidupan, dalam kebudayaan suatu bangsa.Â
Artinya, fenomena pedofilia atau eksploitasi seksual kepada anak, harus dilihat dalam keseluruhan sistem yang bekerja: sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan tentu juga agama di dalamnya, sebagai lembaga yang melakukan internalisasi nilai-nilai ke dalam pemikiran manusia, dan diejawantahkan dalam bentuk-bentuk tindakan.
Menyelesaikan masalah kekerasan seksual terhadap anak tentu saja harus dimulai dengan pertanyaan paling dasar, bagaimana sebenarnya bangsa ini memandang entitats anak dan kehidupannya.Â
Sebagai bangsa yang berdaulat, cara pandang ini bisa dilacak melalui berbagai kebijakan mengenai anak yang diberlakukan, baik sebagai kebijakan pada level lokal, nasional dan juga konvensi-konvensi internasional yang diratifikasi pemerintah Indonesia.
Secara normatif, hampir seluruh kebijakan mengenai anak menunjukkan adanya semangat perlindungan, pendidikan dan membebaskan anak-anak dari ragam tindakan penelantaran, kekerasan, termasuk kekerasan seksual.Â
Tetapi pada saat yang sama negara lalai melakukan sinkronisasi kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Sebut, misalnya, UU Nomor 1 Tahun 1974. yang tetap membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun. Kebijakan ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak Anak.
Persetujuan
Pertanyaan kritisnya, kenapa orang dewasa tidak boleh melakukan tindakan seks dengan anak-anak? Sehingga tindakan itu hampir dikutuk oleh seluruh bangsa di dunia ini? Padahal sebagian orang memiliki hasrat kepada anak-anak, seperti juga sebagian orang memiliki hasrat kepada orang yang lebih tua?Â
Titik kuncinya ada pada persoalan persetujuan (concent), anak-anak dalam berbagai kebijakan dianggap belum memiliki kemampuan membuat persetujuan atas dirinya sendiri. Seluruh tindakannya masih berada dalam ampuan walinya, orangtua atau pihak lain yang mendapat pengampuan atas diri anak-anak.
Di mata hukum, karenanya, anak-anak belum dianggap  sebagai subyek hukum dan belum bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya.Â
Sebab itu pula, pengadilan anak memiliki sistem, aturan dan mekanisme yang berbeda dengan pengadilan orang dewasa, meski sama-sama melakukan tindakan yang diokategorikan dalam tindakan kriminal. Bahkan termasuk penjara anak, ketika hakim ternyata memutus hukuman bagi anak pelaku tindak kriminal.
Konsep persetujuan ini pula yang kemudian menjadi pijakan dalam memastikan tindakan seksual dengan anak dilarang hampir di sebagian besar belahan dunia. Para penyedia jasa pencarian data di dunia maya, seperti google pun, memiliki kebijakan mengenai pelanggaran atau tindakan eksploitasi seksual anak.Â
Meski belum semuanya bisa berjalan efektif, pencegahan penayangan anak-anak sebagai korban eksploitasi seksual. Ragam video masih dengan mudah ditemukan dalam dunia maya yang melibatkan anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Tentu hal ini, tidak samata-mata menjadi tanggung jawab perusahaan seperti google, melainkan menjadi tanggung jawab para pengguna yang harus mulai memiliki kesadaran, jangan untuk mengejar kunjungan publik, dan karena itu berharap meraih keuntungan dari iklan, menempuh segala cara termasuk mengunggah tindakan-tindakan seksual yang melibatkan anak-anak.
Bagi masyarakat pengguna internet, juga sudah saatnya melakukan tindakan positif untuk tidak mengakses tayangan-tayangan di dunia maya yang jelas-jelas merupakan bentuk tindakan eksploitasi seksual anak.Â
Tindakan kirits publik seperti ini, tetntu tak hanya mensyaratkan adanya program-program literasi dan agenda internet sehat, melainkan juga membutuhkan integritas invidu untuk bertindak menyelamatkan anak dari ragam tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.
Maka, selain melakukan perubahan-perubahan kebijakan negara yang mencerminkan tidak menghargai hak-hak anak, dan memberikan peluang terhadap pelanggaran terhadap hak-hak mereka, kata teman seniorku itu, "bisa dimuilai dari diri sendiri."***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI