Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyawaku Tersangkut di Daun Randu

16 Mei 2012   05:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika malam sudah demikian pekat, dalam dekap kayu-kayu tua yang terus merapuh. Bunyi-bunyi yang tak bisa kumaknai, penaka mengiringi kidung daun-daun hijau memupus dalam gulungan-gulungan rapat membungkus ulat-ulat yang sebentar lagi hendak menjadi kupu-kupu. Esok pagi, ketika rumpun-rumpun mulai terbangun, dan menghisap lembut embun yang tertinggal dini hari, kepak indah kupu-kupu mungil dengan warna mengkilat semburat jingga karenma matahari yang masih muda, mungkin mereka sudah berterbangan dengan sungging senyum bangga. Dan dengan jarum penghisap madu ndi mulut-mulutnya yang mungil, sudah akan mencoba menghisap madu yang belum pernah dirasakannya. Hanya instink belaka.

Aku masih mendengarkan gumam-gumam lembut, kupu-kupu yang tak tahu benar siapa orang tua perempuan dan orang tua laki-laki mereka. Tetapi seperti tak peduli, seperti tak harus bertanya, sebab mereka yakin, kini sebagai sebatang mata panah, yang sudah meluncur dari busurnya. Ibu hanyalah perlu agar kita bisa bertanya tentang kekerasan, dan bapaknya hanya kita perlu untuk sekadar bertanya bagaimana sesungguhnya nikmatnya berselingkuh, mengendap-endap, dan kepuasan ketika tak ada yang mengetahuinya. Ia adalah fantasi liar, dari sebuah rutinitas yang mungkin membosankan.

Aku ingin mengejar mereka dengan sayapku yang juga mulai menguat ketika bau tanah menyentuhnya. Lalu menari-nari di udara, karena kaki lentikku pasti akan mampu membuat orang-orang terkagum-kagum, dan menyembahku untuk bisa mendapatkan pelajaran yang semestinya. Tentang cengkok kaki yang gemulai, penaka lengan-lengan gurita yang kenyal, tetapi bisa membunuh apa saja yang dibelitnya.

Tetapi ranting-ranting itu terlalu kuat membelitku. Kulit-kulit cabang yang sungguh kasar dan menyakitkan. Perih, dan mengoyak kulit tubuhku yang masih berbau susu. Dan aku hanya sedikit bertanya, kepada orang tuaku yang sudah entah, dalam ceruk nerak atau di atas tangga surga, mendengar musik indah yang menggairahkan, yang belum pernah di dengar sela di dunia.

Tidak, saya tidak akan bertanya kepada mereka, karena ayah biologis, tak ada maknanya, masih terus dipersolakan, meski jelas-jelas aku berasal dari sperma laki-laki yang memancar dari batang penisnya. Berenang-renang, bersaing dan berebutan, melepaskan dari cairan-cairan pekat yang mengedar aroma tak sedap, asin sedikit campur manis, saling sikut untuk menjadi pemenang, dan menguasai sel telur yang tak lagi memberi tempat kepada siapa pun.

Maka tidak usahlah heran, jika aku akhirnya melihat kupu-kupu yang beterbangan itu hanya melihat sejenak lalu berkata, "untuk apa aku harus menolongmu?"

"Aku harus pergi dari ranting ini, agar bisa menghisap asap-asap yang mengepul, dan menggumpal dan sebagiannya dari batang-batang menyala yang tersumpal dalam bibir pecah-kering-mengelupas. Batuk-batuk yang salin g bersahutan, tetapi marah juga kalau diingatkan. Mentheng kelek, kalau disapa agar bisa bergeser sedikit tak usah dalam ruangan."

"Tenanglah, kau. Setiap nasib sudah adalah garis-garis tangan, meski tak ada batas pun, dalam angkasa bisa tersasar juga jalannya," kata kupu-kupu yang baru saja datang mendekat. Uhui...., bulunya sangat indah sekali, memancarkan sinar keemasan yang memukau, setiap pandangan mata yang berhawa cemburu dan sirik untuk segera memiliki, sedang jalannya tak perlu dipedulikan, yang penting sudah ada dalam genggaman tangan.

"Aku tidak terlalu percaya dengan nasib. Aku lebih yakin jika aku sudah tertinggal oleh nasibku, Ia berangkat dengan kereta senja, untuk mengejar matahari terbenam di ufuk barat, karena kerlip malam akan membelainya dalam tidur tak terbatas."

"Kalau begitu, percayalah sekarang pada nasibmu," kata kupu-kupu yang terus mengepakkan sayap dengan gerak yang sangat indah, memabukkan.

"Andaikan kalian melepaskanku, sungguh saya bersumpah untuk dapat memberikan apa saja yang kalian minta."

"Maka berikanlah apa yang kau minta sendiri untuk dijrimu saat ini."

Angin tiba-tiba mengalir deras, menggulung-gulung, dan menghantam, meluluhlantakkan apa saja yang menghalangi jalannya. Kupu-kupu yang mengepak sayapnya itu, terbawa dalam pusaran tebal, berputar tepat di tengahnya. Sayapku koyak, kaki-kaki lentikku patah di setiap persendiannya. Tak mampu lagi sayapmu menahan tubuhku di ujung ranting randu, jatuhlah tubuhku dalam lidah udara yang tak terperikan kecepatannya.

Dan aku menangis, di tengah deru angin itu, karena nyawaku ternyata masih di antar ranting randu, dan tak turut lepas bersama tubuhkku, yang kini sedang berenang dalam pusaran angin, dan entah mengalir ke arah mana.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun