Ketika malam sudah demikian pekat, dalam dekap kayu-kayu tua yang terus merapuh. Bunyi-bunyi yang tak bisa kumaknai, penaka mengiringi kidung daun-daun hijau memupus dalam gulungan-gulungan rapat membungkus ulat-ulat yang sebentar lagi hendak menjadi kupu-kupu. Esok pagi, ketika rumpun-rumpun mulai terbangun, dan menghisap lembut embun yang tertinggal dini hari, kepak indah kupu-kupu mungil dengan warna mengkilat semburat jingga karenma matahari yang masih muda, mungkin mereka sudah berterbangan dengan sungging senyum bangga. Dan dengan jarum penghisap madu ndi mulut-mulutnya yang mungil, sudah akan mencoba menghisap madu yang belum pernah dirasakannya. Hanya instink belaka.
Aku masih mendengarkan gumam-gumam lembut, kupu-kupu yang tak tahu benar siapa orang tua perempuan dan orang tua laki-laki mereka. Tetapi seperti tak peduli, seperti tak harus bertanya, sebab mereka yakin, kini sebagai sebatang mata panah, yang sudah meluncur dari busurnya. Ibu hanyalah perlu agar kita bisa bertanya tentang kekerasan, dan bapaknya hanya kita perlu untuk sekadar bertanya bagaimana sesungguhnya nikmatnya berselingkuh, mengendap-endap, dan kepuasan ketika tak ada yang mengetahuinya. Ia adalah fantasi liar, dari sebuah rutinitas yang mungkin membosankan.
Aku ingin mengejar mereka dengan sayapku yang juga mulai menguat ketika bau tanah menyentuhnya. Lalu menari-nari di udara, karena kaki lentikku pasti akan mampu membuat orang-orang terkagum-kagum, dan menyembahku untuk bisa mendapatkan pelajaran yang semestinya. Tentang cengkok kaki yang gemulai, penaka lengan-lengan gurita yang kenyal, tetapi bisa membunuh apa saja yang dibelitnya.
Tetapi ranting-ranting itu terlalu kuat membelitku. Kulit-kulit cabang yang sungguh kasar dan menyakitkan. Perih, dan mengoyak kulit tubuhku yang masih berbau susu. Dan aku hanya sedikit bertanya, kepada orang tuaku yang sudah entah, dalam ceruk nerak atau di atas tangga surga, mendengar musik indah yang menggairahkan, yang belum pernah di dengar sela di dunia.
Tidak, saya tidak akan bertanya kepada mereka, karena ayah biologis, tak ada maknanya, masih terus dipersolakan, meski jelas-jelas aku berasal dari sperma laki-laki yang memancar dari batang penisnya. Berenang-renang, bersaing dan berebutan, melepaskan dari cairan-cairan pekat yang mengedar aroma tak sedap, asin sedikit campur manis, saling sikut untuk menjadi pemenang, dan menguasai sel telur yang tak lagi memberi tempat kepada siapa pun.
Maka tidak usahlah heran, jika aku akhirnya melihat kupu-kupu yang beterbangan itu hanya melihat sejenak lalu berkata, "untuk apa aku harus menolongmu?"
"Aku harus pergi dari ranting ini, agar bisa menghisap asap-asap yang mengepul, dan menggumpal dan sebagiannya dari batang-batang menyala yang tersumpal dalam bibir pecah-kering-mengelupas. Batuk-batuk yang salin g bersahutan, tetapi marah juga kalau diingatkan. Mentheng kelek, kalau disapa agar bisa bergeser sedikit tak usah dalam ruangan."
"Tenanglah, kau. Setiap nasib sudah adalah garis-garis tangan, meski tak ada batas pun, dalam angkasa bisa tersasar juga jalannya," kata kupu-kupu yang baru saja datang mendekat. Uhui...., bulunya sangat indah sekali, memancarkan sinar keemasan yang memukau, setiap pandangan mata yang berhawa cemburu dan sirik untuk segera memiliki, sedang jalannya tak perlu dipedulikan, yang penting sudah ada dalam genggaman tangan.
"Aku tidak terlalu percaya dengan nasib. Aku lebih yakin jika aku sudah tertinggal oleh nasibku, Ia berangkat dengan kereta senja, untuk mengejar matahari terbenam di ufuk barat, karena kerlip malam akan membelainya dalam tidur tak terbatas."
"Kalau begitu, percayalah sekarang pada nasibmu," kata kupu-kupu yang terus mengepakkan sayap dengan gerak yang sangat indah, memabukkan.
"Andaikan kalian melepaskanku, sungguh saya bersumpah untuk dapat memberikan apa saja yang kalian minta."