Menyadari kekeliruan itu, saya mengubah situasi. Seperti biasanya, saya melemparkan jurus jitu untuk membuat jeda, membangun penghubung karena akan berganti tema, tetapi penonton tidak terasa terjadi pergantian itu. Kalau dalam dunia perfilman disebut dengan ‘bridging’.
“Silakan, Pak. Ini kopi asli buatan orang Magelang,” kataku.
“Ini bikin sendiri?”
“Iya..., ini produksi tangan ini,” jawabku sambil menunjukkan tangan kananku yang terbuka telapaknya.
“Kembali ke persoalan tadi, Pak.”
“Iya..., bagaimana?” Tanyanya. Suaranya kini sedikit lega. Situasi sudah bisa saya ubah sama sekali. Kini dirinya berposisi sebagai penanya, dan tentu saja saya sudah menyiapkan segudang jawaban, segudang teori, segudang pengalaman untuk mengimbanginya.
“Kita selama ini terlalu memandang sebelah mata, atau bahkan mengabaikan suku-suku itu. Sebagai entitas sosial yang juga memiliki nilai, memiliki pemikiran, dan kemampuan membaca situasi sosial, akhirnya mereka juga akan mampu membuat simpulan-simpulan. Soal salah atau benar, itu soal yang lain. Akibatnya, dalam mengembangkan program KB juga tidak pernah memperhitungkan pengetahuan, pengalaman dan sikap dan tindakan mereka secara sosial.”
“Tidak begitu, Pak. Kami dalam membuat leaflet, misalnya, bahkan ada yang menggunakan bahasa mereka.” Ia mencoba membantah apa yang sedang saya bincangkan. Dan saya paham sama sekali, karena memang begitulah watak para pejabat negeri ini. Defensif.
“Maksud saya begini. Untuk keberhasilan program KB, pada galibnya kita akan mengajak para tokoh, adat atau agama. Tujuannya agar masyarakat langsung tunduk patuh, tanpa syarat. Tetapi yang berkembang dalam pemikiran masyarakat adat di Papua berbeda lagi. Mereka sedang berada dalam situasi yang paradoks. Mereka memahami KB sebagai upaya agar tidak banyak anak, kalau dulu “dua anak cukup”. Sekarang diubah menjadi “dua anak lebih baik”. Sementara di sisi sosial yang lain, dalam waktu yang bersamaan, orang-orang dari luar Papua dikirim menjadi transmigran.” Saya memaparkan agak sedikit panjang. Ia masih diam mencoba mencerna arah kalimat-kalimatku.
“Saya sekarang paham apa yang Bapak sebut sebagai paradoks,” katanya.
“Orang Papua, sedang memikirkan program KB sebagai upaya mengurangi ledakan penduduk, karena keberhasilan pembangunan ekonomi tidak akan berefek manakala jumlah penduduk tetap tinggi. Tetapi menjadi sudah dipahami karena upaya itu tidak akan ada gunanya. Dari kelahiran angka penduduk di Papua tidak bertambah. Tetapi pertambahannya berasal dari orang-orang dewasa yang datang mengikuti program transmigrasi.”