Suatu siang. Saya masih asyik menikmati es jeruk di ruang kerja, ketika datang seorang tamu berseragam pegawai negeri sipil. Ia bekerja di kantor BKKBN Propinsi Papua, dan posisi yang cukup lumayan, middle level management. “Silakan duduk, Pak. Bagaimana khabarnya?” Tanyaku membuka perbincangan. Saya bertemu dengannya, pada saat acara diskusi di sebuah hotel di daerah Argapura, Jayapura.
“Alhamdulillah, sehat-sehat saja,” sahutnya.
“Saya sangat tertarik dengan gagasan Bapak mengenai pendekatan kebudayaan dalam menjalankan program di Papua,” lanjutnya.
“Sebenarnya bukan hal yang baru, Pak. Hanya saja mungkin sedikit terlupakan,” kataku mencoba merendahkan diri, meskipun, jujur saja, ada sedikit rasa tersanjung yang berderak-derak karena pernyataannya itu. Sebagai pemain baru dalam menjalankan program di Papua, dan pemain lama merasa tertarik dengan gagasan yang saya kembangkan. Wajarlah, jika saya tersanjung, bukan?
“Pertanyaannya, kenapa kita bisa mengabaikan pendekatan budaya ini? Padahal semua orang selalu bilang, Papua itu terdiri dari ratusan suku, ratusan bahasa yang tersebar-sebar dari pesisir sampai pegunungan,” katanya.
“Apa karena pengabaikan terhadap pendekatan ini lantas menjadi gagal program KB di Papua?”
Jujur saja, saya sama sekali tidak berani membenarkan atau menyalahkan kesimpulannya. Saya tidak memiliki data apa pun yang memadai sebagai argumentasi pembenaran dan argumentasi menyalahkannya. Saya lantas mencoba saja mengembangkan gagasan, memancing dengan pertanyaan sederhana. Sebab ia tentu saja jauh lebih memahami berbagai persoalan di Tanah Papua. Dari sanalah saya hendak mengembangkannya.
“Kira-kira yang banyak dipikirkan orang selama ini, kenapa orang Papua menolak KB?” Tanyaku.
“Kalau tahun-tahun dulu, setiap mereka yang mau KB mendapatkan hadiah,” jawabnya.
“Apakah karena semata-mata tidak mendapatkan hadiah lagi, lantas mereka enggan KB?”
Beberapa saat ia tak menjawab. Wajahnya menunjukkan kegalauan, lebih tepatnya digelayuti ketidaktahuan. Ada rasa tidak adil muncul tiba-tiba dalam benak saya. Bukankah ia datang hendak mencari pemikiran baru, bukan untuk menerima pertanyaan yang menyulitkan. Jika hanya sekedar untuk ditanya, kenapa harus repot-repot bertemu dengan orang lain. Setiap harinya, atasannya saja tak pernah berhenti untuk bertanya, apa saja, seakan pekerjaan utama pejabat tinggi adalah bertanya.
Menyadari kekeliruan itu, saya mengubah situasi. Seperti biasanya, saya melemparkan jurus jitu untuk membuat jeda, membangun penghubung karena akan berganti tema, tetapi penonton tidak terasa terjadi pergantian itu. Kalau dalam dunia perfilman disebut dengan ‘bridging’.
“Silakan, Pak. Ini kopi asli buatan orang Magelang,” kataku.
“Ini bikin sendiri?”
“Iya..., ini produksi tangan ini,” jawabku sambil menunjukkan tangan kananku yang terbuka telapaknya.
“Kembali ke persoalan tadi, Pak.”
“Iya..., bagaimana?” Tanyanya. Suaranya kini sedikit lega. Situasi sudah bisa saya ubah sama sekali. Kini dirinya berposisi sebagai penanya, dan tentu saja saya sudah menyiapkan segudang jawaban, segudang teori, segudang pengalaman untuk mengimbanginya.
“Kita selama ini terlalu memandang sebelah mata, atau bahkan mengabaikan suku-suku itu. Sebagai entitas sosial yang juga memiliki nilai, memiliki pemikiran, dan kemampuan membaca situasi sosial, akhirnya mereka juga akan mampu membuat simpulan-simpulan. Soal salah atau benar, itu soal yang lain. Akibatnya, dalam mengembangkan program KB juga tidak pernah memperhitungkan pengetahuan, pengalaman dan sikap dan tindakan mereka secara sosial.”
“Tidak begitu, Pak. Kami dalam membuat leaflet, misalnya, bahkan ada yang menggunakan bahasa mereka.” Ia mencoba membantah apa yang sedang saya bincangkan. Dan saya paham sama sekali, karena memang begitulah watak para pejabat negeri ini. Defensif.
“Maksud saya begini. Untuk keberhasilan program KB, pada galibnya kita akan mengajak para tokoh, adat atau agama. Tujuannya agar masyarakat langsung tunduk patuh, tanpa syarat. Tetapi yang berkembang dalam pemikiran masyarakat adat di Papua berbeda lagi. Mereka sedang berada dalam situasi yang paradoks. Mereka memahami KB sebagai upaya agar tidak banyak anak, kalau dulu “dua anak cukup”. Sekarang diubah menjadi “dua anak lebih baik”. Sementara di sisi sosial yang lain, dalam waktu yang bersamaan, orang-orang dari luar Papua dikirim menjadi transmigran.” Saya memaparkan agak sedikit panjang. Ia masih diam mencoba mencerna arah kalimat-kalimatku.
“Saya sekarang paham apa yang Bapak sebut sebagai paradoks,” katanya.
“Orang Papua, sedang memikirkan program KB sebagai upaya mengurangi ledakan penduduk, karena keberhasilan pembangunan ekonomi tidak akan berefek manakala jumlah penduduk tetap tinggi. Tetapi menjadi sudah dipahami karena upaya itu tidak akan ada gunanya. Dari kelahiran angka penduduk di Papua tidak bertambah. Tetapi pertambahannya berasal dari orang-orang dewasa yang datang mengikuti program transmigrasi.”
“Begitulah kemungkinannya, Pak. Jadi bukan soal KB dalam Injil tidak dibolehkan, dalam Alquran tidak dibolehkan, dan bukan karena suku Papua tidak memiliki perencanaan hidup yang lebih baik,” kataku.
“Ya..., saya mengerti. Ini soal isu genocide,” ujarnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H