Mohon tunggu...
Moh Mansur Abdul Haq
Moh Mansur Abdul Haq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Guru

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membongkar Teologi Gerakan Islam Transnasional Hizbut Tahrir dalam Kitab Syakhsiyyah Islamiyyah

26 Juli 2024   00:35 Diperbarui: 26 Juli 2024   06:44 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-hizbut-tahrir-really-be-dissolved/

Pendahuluan

Salah satu isu menarik yang pernah ada -bahkan mungkin masih tetap ada- dari fenomena keberagamaan kontemporer di Indonesia adalah munculnya gerakan Islam global atau yang disebut sebagai "Gerakan Islam Transnasional" yang salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan tersebut memang telah resmi dilarang dan dibubarkan pada 19 Juli 2017 oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), namun kenyataannya ideologi HTI yang mendorong pendirian negara Islam masih dengan mudah ditemukan di ruang publik. Hal itu disampaikan oleh akademisi Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Surakarta yang juga Direktur Amir Mahmud Center yakni Dr. Amir Mahmud, bahwa eksistensi HTI belum sepenuhnya hilang, karena pemikiran dan cita-cita khilafah telah mengakar. Tersedianya internet dan media sosial menjadi ladang subur bagi pergerakan HTI. Berbeda dengan manusia, ideologi tidak bisa dihalangi oleh tempat atau waktu. Ideologi juga memiliki resistensi tinggi untuk mempertahankan kehadirannya, serta mampu menyebar dari seseorang ke yang lainnya. Namun, bagaimana dengan teologi gerakan Islam transnasional Hizbut Tahrir, apakah juga terdapat kerancuan?  

Sejarah dan Tujuan Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir adalah partai politik internasional yang berideologi Islam. HT menjadikan akidah Islam sebagai asas dari partainya, sehingga ide-ide, hukum-hukum, dan pemecahan persoalan kehidupan dilakukan oleh HT hanya berlandaskan pada Islam. Pandangannya terhadap politik tidak seperti yang dipahami oleh banyak orang sebagai aktifitas dalam pemerintahan, akan tetapi HT justru memandang politik adalah bagaimana mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan syari'at Islam. Gerakan tersebut didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di al-Quds Palestina pada tahun 1953, yang mana dilatar belakangi oleh dua sisi, yaitu historis dan normatif. Secara historis, HT bediri sebagai respon terhadap keterpurukan umat Islam dalam waktu yang panjang, di mana sejak abad ke-19 M peradaban Islam berada di titik nadir akibat dominasi penjajahan barat. Sedangkan secara normatif, berdirinya HT adalah respon dari firman Allah Swt. dalam surah Ali Imran ayat 104;

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka lah orang-orang yang beruntung."

Menurut HT bahwa semua persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia Islam berpangkal pada tidak adanya kedaulatan al-Syari'. Maksudnya tidak diterapkannya sistem Islam di tengah-tengah masyarakat (Khilafah). Masalah utama ini yang selanjutnya memicu terjadinya berbagai persoalan lainnya, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kedzaliman, ketidakadilan, disintegrasi dan penjajahan dalam segala bentuknya, baik penjajahan secara langsung seperti yang kini terjadi di Palestina dan pernah terjadi di Afghanistan dan Irak, atau pun penjajahan secara tidak langsung di bidang ekonomi dan politik. Sebagaimana dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Islam ada kalau ada khilafah dan Islam tidak ada jika tidak ada khilafah (la islama illa bi al-khilafah atau la syari'ata illa bi al-daulah al-khilafah);

والقُعودُ عن إقامةِ خليفةٍ للمسلمين معصِيةٌ من أكْبرِ المَعاصِي، لأنّها قُعودٌ عن القيَامِ بفرْضٍ من أهمِّ فرُوضِ الإسلامِ، بل يَتوقَّفُ عليه وجودُ الإسلامِ في مُعترَكِ الحياةِ

Artinya: "Berpangku tangan dari usaha mendirikan seorang khalifah bagi kaum Muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khilafah.

Bahkan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih tegas dan keras lagi menyatakan bahwa mengangkat khalifah adalah wajib dan tidak ada tawar menawar, jika tidak maka Allah akan mengadzab dengan adzab yang sangat pedih;

وإقامة خليفة فرضٌ على المسلمين كافة في جميع أقطارِ العالم. والقيام به (كالقيام بأي فرض من الفُروضِ التي فَرضَها الله على المسلمين) هو أمر مُحتَّمٌ لا تخيير فيه ولاهوادة في شأنه، والتّقصير في القيام به معصيّةٌ من أكبرِ المعاصي يعذب الله عليها أشد العذاب

Artinya: "Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas semua kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Melaksanakan pengankatan khalifah (sebagaimana pelaksanaan kewajiban-kewajiban lain yang telah ditetapkan Allah atas kaum Muslim) adalah suatu keharusan, yang tidak ada pilihan lain dan tidak ada tawar menawar di dalamnya. Kelalaian dalam melaksanakan hal ini termasuk sebesar-besar maksiat, di mana Allah akan mengadzab dengan adzab yang sangat pedih.

Lantas apa definisi dari khilafah menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, apakah sama dengan pemerintahan yang bersistem demokrasi? Masih sama dalam kitab tersebut, ia menyatakan;

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعا في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم. وهي عينها الإمامة، فالإمامة والخلافة بمعنى واحد. وقد وردت الأحاديث الصحيحة بهاتين الكلمتين بمعنى واحد. ولم يرد لأي منهما معنى يخالف معنى الأخرى في أي نص شرعي، أي لا في الكتاب ولا في السنّة لأنهما وحدهما النصوص الشرعية

Artinya: "Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara' (Islam) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah disebut juga imamah. Imamah dan khilafah memiliki arti yang sama. hadits-hadits shahih telah menyebutkan kedua kata ini dengan arti yang sama. salah satu dari keduanya tidak disebutkan dengan arti yang berbeda dari yang lain dalam nash syar'i manapun, baik dalam al-Qur'an maupun dalam sunnah, sebab hanya keduanya inilah nash-nash syar'i.

Jadi khilafah atau imamah menurut HT adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia, dalam arti seluruh dunia Islam disatukan dalam sistem kekhalifahan atau pemerintahan yang tunggal atau di seluruh dunia tidak diperbolehkan kecuali satu khalifah (la yajuzu an yakuna fi al-dunya illa khalifah wahid). Menurut penulis adalah utopis untuk menerapkan satu khalifah yang memimpin dunia Islam, karena nasionalisme setiap negara sudah cukup kuat dan tentunya juga ideologi HT bertentangan dengan ideologi kebanyakan negara, maka tidak salah jika kebanyakan negara-negara "Islam" justru melarang HT.

Dalam buku Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia mengatakan secara eksplisit bahwa khilafah tidak sama dengan sistem diktator dan bukan sistem demokrasi, tapi sistem politik Islam. Adapun yang membedakan dari sistem lainnya menurut buku tersebut adalah kedaulatan, yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan benar dan haram, ada di tangan syariah, bukan di tangan manusia, maka Khalifah dan umat sama-sama terikat kepada syariah Islam. Selain itu, Khalifah juga wajib menerapkan syariah Islam dengan benar, tidak boleh sesuka hatinya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

 Artinya: "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

Artinya: "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim."

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)

Artinya: "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."

Sementara dalam sistem demokrasi -masih menurut buku tersebut-, kedaulatan ada di tangan manusia, bukan di tangan Allah. Demokrasi telah membuat manusia, melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif bertindak sebagai Tuhan, yang merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan keinginan mereka, seperti kredo demokrasi mengatakan "Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populei Vox Dei)".

Teologi Hizbut Tahrir Dalam Kitab Syakhsiyyah Islamiyyah

  • Qadar dan Ilmu Allah

قد وردَ الإيمانُ بالقدَرِ في حديثِ جبريلَ في بعضِ الرّوايات فقد جاء قال: وتُؤمنَ بالقدرِ خيرِه وشرّه، أخرجه مسلم من طريق عمر بن الخطاب. إلا أنّه خبرٌ آحادٍ عِلَاوةً على أنّ المُراد بالقدرِ هنا علمُ اللهِ، وليس القضَاءَ والقدرَ الذي هو موضِعُ خِلَافٍ في فَهمِه

Artinya: "Telah datang keimanan dengan qadar dalam hadits Jibril menurut Sebagian riwayat, di mana Nabi Saw bersabda: dan kamu percaya dengan qadar, baik dan buruknya. Hanya saja hadits ini tergolong hadits ahad (persumtif), di samping yang dimaksud dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, bukan qada' dan qadar yang menjadi fokus perselisihan dalam memahaminya."   

  • Ta'wil oleh Ulama Salaf

فكان التأويل أول مظاهر المتكلمين، فإذا أداهم البحث إلى أن الله منزه عن الجهة والمكان أولوا الآيات التي تشعر بأنه تعالى في السماء وأولوا الإستواء على العرش. وإذا أداهم البحث إلى أن نفي الجهة عن الله يستلزم أن أعين الناس لايمكن أن تراه، أولوا الأخبار الواردة في رؤية الناس لله، وهكذا كان التأويل عنصرا من عناصر المتكلمين وأكبر مميّز لهم عن السلف

Artinya: "Ta'wil (Terhadap ayat-ayat mutasyabihat) merupakan ciri pertama yang sangat tampak pada teolog. Jika suatu pembahasan mengarah pada bahwa Allah tidak terikat (bebas) dengan arah dan tempat, maka mereka menta'wil ayat-ayat tersebut seraya mengisyaratkan bahwa Allah Swt. berada di atas langit. Mereka juga menta'wil al-istiwa' al al-arsy dengan bersemayamnya Allah di atas kursi arsy. Jika suatu pembahasan mengarah kepada penafian (peniadaan) arah bagi Allah dan mata manusia tidak mungkin melihat-Nya, maka mereka (teolog) menta'wilkan pemberitahuan (al-ikhbar) dengan menyatakan bahwa manusia melihat Allah. Demikianlah ta'wil merupakan salah satu alat teolog dan menjadi ciri khas paling mencolok yang membedakan mereka dengan para pendahulunya (salaf)."

  • Kema'shuman Para Nabi 

إلا أنّ هذه العصمةَ للأنبياءِ والرّسلِ إنّما تكون بعد أن يُصبحَ نبيًّا أو رسولًا بالوحي إليه. أمّا قبل النبوّةِ والرّسالةِ فإنّه يجوز عليهم مايجوز على سائرِ البشر، لأنّ العصمةَ هي للنّبوةِ والرّسالة

Artinya: "Hanya saja kema'shuman para Nabi dan Rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Sedangkan sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja."

  • Kasb (Perbuatan Manusia) Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah dan Jabariyah 

والحقيقةُ أنّ رأيَ أهلِ السُّنّةِ ورأي الجبريّةِ واحدٌ، فهم جبرِيّون. وقد أَحفَقوا كُلَّ الإحفاقِ في مسألةِ الكسْبِ، فلا هي جاريةٌ على طريقِ العقْلِ، إذ ليس عليها أيُّ بُرهانٍ عقلِيٍّ، ولا على طريْقِ النَّقلِ، إذ ليس عليها أيُّ دليلٍ من النُّصُوص الشّرعيَّةِ، وإنّما هي مُحاولةٌ مُخفِقةٌ للتّوفيقِ بين رأيِ المُعتزِلةِ ورأيِ الجبريَّةِ

Artinya: "Pada dasarnya pendapat Ahlussunnah dan pendapat Jabariyah itu sama. Jadi Ahlussunnah itu Jabariyah. Mereka telah gagal segagal-gagalnya dalam masalah kasb (perbuatan makhluk), sehingga masalah tersebut tidak mengikuti pendekatan rasio, karena tidak didasarkan oleh argument rasional sama sekali, dan tidak pula mengikuti pendekatan naqli karena tidak didasarkan atas dalil dari teks-teks syar'i sama sekali. Masalah kasb tersebut hanyalah usaha yang gagal untuk menggabungkan antara pendapat Mu'tazilah dan pendapat Jabariyah.

الإجبارُهو رأيُ الجبريّةِ وأهلِ السُّنّةِ مع اختلافٍ بينهما في التَّعابيرِ والإحتيالِ على الألفاظِ، واسْتقرَّ المسلمون على هذا الرأيِ ورأيِ المعتزلةِ، وحُوِّلُوا عن رأيِ القرآن، ورأيِ الحديثِ، وماكان يفهَمُه الصحابةُ منهُما

Artinya: "Ijbar (keterpaksaan) adalah pendapat Jabariyah dan Ahlussunnah, hanya antara keduanya ada perbedaan dalam retorika dan memanipulasi kata-kata. Kaum Muslimin konsisten dengan pendapat ijbar ini dan pendapat Mu'tazilah. Mereka telah dipalingkan dari pendapat al-Qur'an, hadits dan pemahaman sahabat dari al-Qur'an dan hadits."

Demikianlah teologi Hizbut Tahrir (HT) yang menurut penulis penuh dengan kerancuan. Misalnya tentang kema'shuman para nabi, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani para nabi dan rasul ma'shum hanya setelah menjadi nabi, namun tidak ma'shum sebelum menjadi nabi dan rasul. Padahal para nabi dan rasul sebagaimana disampaikan oleh Imam Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi dalam Hasyiyah 'ala Syarh Umm al-Barahin adalah amanah, maksudnya keterjagaan lahir dan batin dari terjerumus hal-hal makruh dan haram (hifdzu dhawahirihim wa bawathinihim min al-wuqu'i fi al-makruhat wa al-muharramat), baik berupa dosa-dosa kecil maupun dosa besar (shaghair aw kabair), baik sebelum kenabian atau sesudahnya (qobla al-nubuwwah aw ba'dah), baik disengaja atau lupa ('amdan aw sahwan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun