Malik mematikan rokoknya, membuang puntungnya dengan cara dijentil. Dia keluarkan hapenya dari saku batiknya. Dia pun segera memesan mobil online, untuk mengantarkan dia dan keluarganya menuju tempat tujuan.Â
Mereka pun sampai di tempat tujuan dengan selamat. Waktu sudah menunjukan pukul 20.30 WIB. Segera Malik dan keluarganya memasuki gedung tempat monolog itu diselenggarakan, dan mendapati kursi paling belakang.Â
Begitu ramai penonton yang hadir di gedung itu. Mereka melirikan matanya pada satu arah yang sama: arah panggung tempat monolog itu akan dimainkan. Seketika lampu dipadamkan, dan hanya panggung monolog itu yang disoroti lampu. Penonton pun tiba-tiba terdiam.Â
Seseorang lelaki berusia kira-kira setengah abad muncul ke permukaan panggung. Rambutnya tersisir rapi. Jas hitamnya terlihat mahal. Sepatu pantofel hitamnya mengkilat. Celana hitamnya terlihat baru disetrika. Kemeja putihnya bersih tidak ada noda. Sayangnya, lelaki itu tak memakai dasi. "Itu dia teman Bapak waktu kuliah." Kata Malik kepada Muni. Kemudian Monolog pun dimulai.Â
"Saudara-saudara sekalian. Saya adalah wakil rakyat. Wakil dari saudara-saudara sekalian. Saudara-saudara mungkin ada yang tidak kenal dengan saya. Oleh karena itu, pada malam ini, saudara-saudara harus mengenali saya sebagai seorang wakil rakyat."
Penonton terlihat khusyuk menonton lelaki itu bergumam. Hening. Penuh dengan keseriusan. Begitu pun dengan Malik serta anak dan istrinya. Monolog pun berlanjut.Â
"Jika saudara-saudara sekalian, atau rakyat di seluruh penjuru negeri mempunyai masalah, saya siap membantu! Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai wakil rakyat."
"Owalah." Tiba-tiba Muni bergumam.Â
"Sttt. Jangan berisik. Wakil rakyat sedang bicara. Tidak sopan." Tegur Malik.Â
"Bapak juga jangan berisik." Sahut Marni.Â
Mereka pun terdiam. Monolog masih berlanjut.Â