Mohon tunggu...
M Lendri Julian
M Lendri Julian Mohon Tunggu... Penulis - Sedang ber-fiksi. Hubungi aku via do'a

Seorang lelaki dari Purwakarta. Datang untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Monolog Wakil Rakyat

30 September 2019   21:43 Diperbarui: 30 September 2019   21:48 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seketika malam menguasi hari. Langit yang gelap menghiasi dirinya dengan gugusan bintang. Udara kian sejuk, tidak seperti pada siang hari yang kemarau. 

"Bagaimana, sudah siap?" Tanya Malik kepada istrinya, Marni, yang sedang berdandan. 

"Sebentar lagi." Sahut Marni. 

"Cepat. Nanti kita tidak dapat kursi."

"Iya, iya."

Malik menunggu istrinya di teras depan rumah. Dengan mengenakan batik, Malik menghisap rokoknya pada malam itu. Dia melirikan mata pada jam tangannya, dan mendapati waktu sudah menunjukan pukul 20.00 WIB. Tiba-tiba seorang perempuan yang masih remaja keluar dari rumah dan menghampiri Malik. Ternyata itu anaknya, Muni. 

"Pak, kita mau kemana sih?" Tanya Muni. 

"Menonton monolog." Jawab Malik. 

"Siapa aktornya? Kok bapak bersemangat untuk nonton?"

"Teman bapak sewaktu kuliah. Cepat panggil ibumu, sudah terlalu larut."

Muni pun kembali memasuki rumah dan memanggil-manggil ibunya. Tak lama kemudian, Marni telah menyelesaikan dandanannya. Dengan juga mengenakan batik, Marni dan Muni pun menuju Malik yang sedang menunggu di depan teras rumah. 

Malik mematikan rokoknya, membuang puntungnya dengan cara dijentil. Dia keluarkan hapenya dari saku batiknya. Dia pun segera memesan mobil online, untuk mengantarkan dia dan keluarganya menuju tempat tujuan. 

Mereka pun sampai di tempat tujuan dengan selamat. Waktu sudah menunjukan pukul 20.30 WIB. Segera Malik dan keluarganya memasuki gedung tempat monolog itu diselenggarakan, dan mendapati kursi paling belakang. 

Begitu ramai penonton yang hadir di gedung itu. Mereka melirikan matanya pada satu arah yang sama: arah panggung tempat monolog itu akan dimainkan. Seketika lampu dipadamkan, dan hanya panggung monolog itu yang disoroti lampu. Penonton pun tiba-tiba terdiam. 

Seseorang lelaki berusia kira-kira setengah abad muncul ke permukaan panggung. Rambutnya tersisir rapi. Jas hitamnya terlihat mahal. Sepatu pantofel hitamnya mengkilat. Celana hitamnya terlihat baru disetrika. Kemeja putihnya bersih tidak ada noda. Sayangnya, lelaki itu tak memakai dasi. "Itu dia teman Bapak waktu kuliah." Kata Malik kepada Muni. Kemudian Monolog pun dimulai. 

"Saudara-saudara sekalian. Saya adalah wakil rakyat. Wakil dari saudara-saudara sekalian. Saudara-saudara mungkin ada yang tidak kenal dengan saya. Oleh karena itu, pada malam ini, saudara-saudara harus mengenali saya sebagai seorang wakil rakyat."

Penonton terlihat khusyuk menonton lelaki itu bergumam. Hening. Penuh dengan keseriusan. Begitu pun dengan Malik serta anak dan istrinya. Monolog pun berlanjut. 

"Jika saudara-saudara sekalian, atau rakyat di seluruh penjuru negeri mempunyai masalah, saya siap membantu! Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai wakil rakyat."

"Owalah." Tiba-tiba Muni bergumam. 

"Sttt. Jangan berisik. Wakil rakyat sedang bicara. Tidak sopan." Tegur Malik. 

"Bapak juga jangan berisik." Sahut Marni. 

Mereka pun terdiam. Monolog masih berlanjut. 

"Wakil rakyat adalah sebuah tempat untuk rakyat menyampaikan aspirasinya. Rakyat adalah atasan saya. Saudara-saudara sekalian adalah tuan saya. Tapi, kenapa saya lebih kaya dari saudara-saudara sekalian? Hahaha. Mungkin ada beberapa dari saudara-saudara sekalian yang lebih kaya dari saya. Namun, saya juga termasuk golongan dari orang-orang kaya di negeri ini. Hahaha. Hahaha."

Lelaki itu terdiam. Kemudian kembali melanjutkan. 

"Wakil rakyat adalah pekerjaan yang sangat berat saudara-saudara. Tidak sembarang orang yang bisa menjadi wakil rakyat. Seorang yang dipilih menjadi wakil rakyat harus pintar, cerdas, cekatan, mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyat. Oleh karena itu, gaji saya sangat besar. Itu wajar bukan?"

Muni cengengesan mendengarnya. 

"Dengan kecerdasan yang dimiliki oleh seorang wakil rakyat, negeri ini akan aman dan tenteram. Wakil rakyat akan membuat undang-undang yang mampu mensejahterakan rakyat. Wakil rakyat adalah pencipta undang-undang. Undang-undang yang akan dinikmati oleh tuan kami yaitu rakyat. Rakyat tidak perlu sibuk-sibuk memikirkan undang-undang. Biarkan wakil rakyat yang memikirkannya. Rakyat cukup duduk manis sambil menikmati teh manis hangat di rumah. Hahaha."

"Itu benar. Jika wakil rakyatnya memang benar-benar cerdas!" Muni kembali bergumam. 

"Maksud kamu, wakil rakyat kita tidak cerdas?" Tanya Malik. 

"Sttt. Kalian jangan berisik." Perintah Marni. 

Lelaki yang sedang berperan sebagai wakil rakyat itu kembali melanjutkan monolognya. 

"Tapi saudara-saudara sekalian. Wakil rakyat selalu diganggu oleh mahasiswa. Mereka menyebut diri mereka sebagai 'penyambung lidah rakyat'. Haha. Mereka itu hanya anak-anak nakal. Wakil rakyat-lah 'penyambung lidah rakyat' yang sebenar-benarnya! Oleh karena itu saudara-saudara sekalian. Jika para mahasiswa itu mendatangi gedung kami, kami akan menyuruh aparat keamanan mengusir mereka. Jika para mahasiswa itu melawan, aparat keamanan tidak akan segan-segan kepada mereka. Hidup wakil rakyat! Hahaha."

Seketika lampu yang menyoroti panggung dimatikan. Sedangkan lampu lainnya kembali menyoroti tempat duduk para penonton. Hal itu menandakan monolog telah usai. Kemudian para penonton memberikan tepuk tangan. Begitu pun dengan Malik serta anak dan istrinya. 

Malik, Marni, dan Muni pun kembali pulang menuju rumah dengan memesan mobil online. "Dasar wakil rakyat. Kata-kata mereka memang penuh dengan omong kosong!" Tiba-tiba Muni bergumam di dalam mobil online pesanan bapaknya. 

"Hmm. Kamu terlalu menghayati akting teman bapak tadi yah? Aktingnya memang bagus. Begitulah seharusnya aktor bekerja." Sahut Malik. 

"Mau akting atau tidak, di panggung pementasan atau di kehidupan nyata, wakil rakyat memang selalu berakting. Dihadapan kamera media massa, mereka akting. Sewaktu kampanye, mereka akting. Ketika di penjara karena korupsi pun, mereka akting menjadi orang yang paling sengsara. Jadi, tidak perlu capek-capek menonton monolog untuk melihat mereka akting."

"Owalah bu. Lihat anakmu, sudah seperti aktor yang sedang melakukan monolog. Haha."

Purwakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun