Mohon tunggu...
Taufan Difinubun
Taufan Difinubun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Amatiran

Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi Universitas Merdeka Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mereflekasikan Teori Eksistensialisme Jean Paul Sartre dengan Pendekatan Pemikiran Islam

10 Mei 2021   23:35 Diperbarui: 10 Mei 2021   23:36 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esensi dan Eksistensilisme Jean Paul Sartre.

mungkin sudah tak asing lagi bagi kita ketika mendengar nama jean paul sartre, seorang eksistensialis asal prancis yang lahir pada tanggal 21 juni 1905. jean paul sartre merupakan salah satu filsuf kontemporer yang mengembangkan sebauh paradigma saintifik dari Soren Kierkegaard mengenai qoidah fikriyah dari paham eksistensialisme yang melihat manusia sebagai subjek niresensial. jean paul sartre menganggap bahwa kelahiran esensialitas pada diri manusia bergantung pada corak eksistonya (eksistensi) pada jagat semesta yang kemudian menjadi landasan interpretasi dalam menerjemahkan esensial tersebut, berbeda dengan esensialitas yg terdapat pada benda yg dimana mampu tersentuh praduga manusia tanpa perlu untuk melihat eksistensinya terlebih dulu. lain lagi dengan hal-hal yg bersifat absurditas atau nirmaterial, hal tersebut oleh jean paul sartre disebut sebagai suatu esensi yg tak punya eksistensi.

jika berangkat dari teori jean paul sartre sebagai tolak ukur dalam mendefenisikan esensial manusia, maka mungkin saja kita akan diperhadapkan dengan ragam tafsiran yang berwarna banyak. karena jika kita menjadikan eksistensialitas sebagai barometer dalam menerjemahkan esensial pada manusia maka tentu hasil yg didapati justru akan relatif, sebab tak ada yg mengetahui kedok atau urgensitas dari pada eksistensial tersebut ditampilkan. 

relatifitas eksistensialisme ini bisa kita lihat pada karangannya Muhiddin m dahlan yaitu "Memoar Luka seorang Muslimah". Dalam karangan tersebut meceritakan tentang petualangan seks oleh nidah kirani sebagai tokoh feminisme yang telah mencicipi satu pelukan lelaki ke pelukan lelaki lainnya, mulai dari karakter dari eksistensi lelaki (manusia) yg bejat hingga eksistensi manusia yg terlihat baik/alim. 

dalam cerita tersebut iya memperlihatkan sisi lain dari dunia manusia, iya berada pada satu alam yg di dalamnya tidak ada sedikitpun kebohongan yg ditutupi eksistensi manusia. yah "sebab manusia hanya terlihat baik pada bajunya, jika dilepaskan maka semua akan sama" ( nidah kirani ), pernyataan ini menegaskan bahwa eksistensialitas yg diperlihatkan manusia bukanlah perwujudan yg sebenarnya. tidak heran jika Ihsan Abdul Quddus dalam bukunya "aku lupa bahwa aku perempuan" menyatakan bahwa "setiap manusia memiliki dua kepribadian, satu untuk dirinya dan satu untuk orang lain".

selain itu kita juga bisa belajar dari kisah perjuangan firdaus seorang feminis dari mesir yg harus dikenai hukuman mati di penjara hanya karena melawan kemunafikkan manusia, salah satu statement kontroversialnya kurang lebih seperti ini "semua lelaki itu sama bejat, kebaikan atas mereka hanya akan terlihat ketika mereka mati", atau "patriotisme bagi lelaki sama halnya dengan sex bagi kami". 

dari dua kisah tersebut dapat kita simpulkan bahwa eksistensi manusia yg muncul dipermukaan tidak selamanya menampilkan perewujudan yang sebenarnya.

berkaitan dengan eksistensi, Gilbert mengatakan karakteristik individualisme adalah keyakinan implisit bahwa relasi sosial bukanlah pembentuk pengalamannya yg paling fundamental. artinya ruang sosial atau sistem sosial tdk dapat memproduksi karakteristik atau nilai individu yg menjadi status sosial atau eksistensial seseorang. oleh karena itu, tak ada anasir apapun yang dapat menentukan karakteristik atau esensialitas seseorang jika hanya bermodal pada ukuran penilaian masyarakat terhadap eksistensinya, sebab dibalik status sosial masih terdapat kelemahan dan kerapuhan di sana. karena tak ada jaminan bagi manusia bahwa mereka bisa konsisten pada eksistensialismenya masing-masing.

jika demikian, maka jelaslah bahwa esensialitas yg bergantung pada corak eksistensi manusia dalam kehidupan menurut jean paul sartre hanya akan berakhir pada interpretasi yg relatif dan rapuh. 

Esensi dan Eksistensialisme Menurut Pendekatan Islam

Saya lebih sepakat dengan konsep esensialitas yg dikenalkan oleh murtadha muthahhari dalam bukunya "refleksi filsafat manusia ( Elixir Cinta Imam Ali )". meminjam pemikiran Imam Ali As, dalam karangannya murtadha muthahhari menjelaskan bahwa esensi atau disebutnya sebagai fitrah (kesucian) pada diri manusia adalah suatu kecenderungan yg selalu mengarah pada kebaikan (Khoir). murthada menjelaskan bahwa pada dasarnya hakikat atau esensi manusia adalah suatu kebaikan sejak ia lahr terlepas dari pada penerapannya dalam kehidupan. sebab menurutnya dalam kehidupan manusia hanya akan diperhadapkan oleh dua pilihan yaitu baik atau buruk. dan diantara kedua pilihan tesebut manusia cenderung akan memilih pilihan yg dianggap berdampak positif bagi kehidupannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun