Difabel atau penyandang disabilitas pada dasarnya adalah sama dengan warga negara yang lain, tidak ada bedanya, perasaannya, keinginannya, cita-citanya, harapan hidupnya, dan kebutuhannya. Yang membedakan adalah kebutuhan khususnya yang dapat menopang hidupnya.
Musim liburan sekolah atau liburan hari raya atau libur peringatan hari besar, menjadi mahgnet tersendiri yang mampu mendatangkan kunjungan wisatawan dari berbagai strata sosial dalam masyarakat.
Termasuk dari kelompok rentan untuk dapat menikmati wisata di daerah destinasi wisata yang relevan dan akomodatif terhadap kebutuhan semua warga negara tanpa diskriminasi untuk menikmati keindahan, maupun indra yang bisa merasakan tujuan wisata yang ada.
Kesadaran membangun peradaban inklusi merupakan kebutuhan mendesak masyarakat multikultural. Upaya pengakuan, penghormatan, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam semua aspek kehidupan masyarakat kebutuhan aktual. Termasuk bagaimana membangun Pariwisata inklusif .
Teman-teman difabel sedang hunting lokasi wisata ramah difabel untuk disodorkan ke Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno agar bisa menjadi model pariwisata inklusif yang mantap. Karena ternyata masih perlu sekali diadvokasi dan membangun perspektif inklusif pemangku pariwisata.
Tidak hanya aksesibilitas tapi juga kepedulian dan pelayanan prima para petugas di lapangan, nampaknya perlu ada pelatihan khusus etika terhadap difabel di destinasi wisata.
Beberapa tahun yang lalu mendiang difabel paraplegia Mulyanto Utomo (Solopos, 2020) pernah menulis artikel yang sangat hebat tentang pariwisata inklusif gagasannya dan impiannya adalah mengharapkan adanya aksesibel terhadap destinasi wisata yang akses untuk penyandang disabilitas tempat wisata yang ramah difabel, tempat wisata yang menawarkan pesona kepada semua stakeholder tanpa terkecuali.Â
Upaya untuk membangun pariwisata yang inklusif masih jauh panggang dari api, sekalipun regulasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dengan tegas dinyatakan bahwa hak-hak difabel dalam mengakses pariwisata sangat mendesak, dan kenyataan di lapangan masih minim.
Ketika tempat wisata tidak akses untuk penyandang disabilitas, maka yang perlu dipahami bahwa difabel punya hak yang sama untuk bisa berwisata sebagaimana masyarakat pada umumnya. Banyak Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) di berbagai daerah yang saat ini sedang berkompetisi mendesain merencanakan serta berupaya keras membuat potensi daerahnya menjadi destinasi wisata unggulan.Â
Eksplorasi potensi daerah melalui pariwisata menjadi andalan untuk meraup Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga pariwisata inklusif yang bisa dinikmati oleh semua kalangan tanpa adanya diskriminasi menjadi menu yang indah di awal tahun, akhir tahun dan musim liburan yang akan datang. Kesadaran ini mestinya sudah tercermin di dalam perencanaan, penganggaran dan evaluasi pelaksanaan program.
Perlunya sosialisasi di tiap desa untuk membangun desa pariwisata yang inklusif karena saat ini di tiap desa berlomba menciptakan destinasi wisata masing masing guna peningkatan pendapatan desa. Bila di tiap desa sudah sadar inklusi, maka banyak desa dan kecamatan, kabupaten/kota menyadari betul akan program-program inklusi sebagai bentuk komitmen pemenuhan hak asasi manusia para difabel.Â