Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Bagaimana Bocil hingga Guru Besar Keranjingan Medsos?

16 September 2024   17:28 Diperbarui: 27 September 2024   13:09 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://fairfield.edu 

Apa Dampak Sosial Medsos?

Satu lagi tokoh masyarakat yang "tersandung" fake news. Seorang pengusaha yang dulu terkenal di era Soeharto ikut menyebarkan gambar penyiar TVRI senior, Anita Rachman yang sedang terbaring lemah di terbuat tidur, karena sakit di usia lanjut.

Gambar itu dipasang di akun medsosnya, dilengkapi dengan keterangan yang kemudian dibantah oleh pihak keluarga Anita Rahman yang terkenal sejak zaman TV masih hitam putih itu.

Salah satu bantahan yang dikeluarkan pihak keluarga adalah: Anita Rachman tidak hidup terlantar di masa tua, karena dirawat dengan baik oleh keluarga.

Pengusaha yang ikut menyebarkan gambar ini tidak tergolong muda lagi, sekitar 70an tahun lebih. Ia aktif di medsosnya. Meski tidak muda lagi, ia tidak berbeda dengan pengguna medsos kebanyakan, yaitu mudah terbawa arus ikut menyebarkan fake news, disinformation, misinformation, hoax. Mungkin sebaiknya semua itu disingkat dengan fake news saja.

Medsos memang terbukti di beberapa riset adalah tempat fake news menyebar dengan cepat. Medsos menyebarkan fake news 6 kali lebih cepat daripada berita yang bisa dikonfirmasi. Atau pengguna medsos menyebarkan fake news 70% lebih banyak daripada berita yang bisa dikonfirmasi.

Pelakunya mulai dari anak-anak yang belum dewasa, hingga orangtua yang berusia lanjut, bahkan juga termasuk profesor, dosen, guru besar, mereka yang bergelar PhD sekali pun.

Kok bisa? Bisa lah. Ada penjelasan sains mengenai itu.

Coba saja cari berbagai kasus seperti itu di berbagai media. Anda akan temukan kasus seperti itu di era pilpres 2024, 2019, 2014.

Contoh yang cukup mencengangkan adalah kasus seorang rohaniwan,yang juga filsuf, budayawan, penulis terkenal. Tokoh ini sebelumnya terkenal dengan ucapannya: Pilpres bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk. Sama seperti pengusaha terkenal yang sudah disebut sebelumnya, budayawan ini juga sudah berusia lanjut.

Di era pilpres 2024 ia dengan mudah menelan fake news dan menjadikan fake news itu sebagai dasar dari pernyataannya atau himbauannya yang lebih terasa sebagai "serangan" pada Presiden Jokowi. Ia "menuduh" Jokowi menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendukung satu capres yang disukai Jokowi. Ia juga "menuduh" Jokowi memanfaatkan pembagian bansos untuk kepentingannya sendiri.

Kasus lain yang juga mencengangkan adalah gerakan dari beberapa guru besar dari beberapa universitas negeri, seperti Bulak Sumur, dan Depok, serta beberapa kampus lainnya.

Mereka fokus mengkritik Jokowi dalam soal bansos, MK, pilpres, demokrasi, korupsi, dan lainnya. Padahal sebelumnya mereka diam saat persoalan yang sama muncul?

Mengapa kritik mereka pada Jokowi senada dengan kritik yang dilemparkan oleh para lawan politik Jokowi, terutama di musim pilpres? Mengapa kritik mereka senada dengan isi medsos yang dipenuhi oleh buzzer politik?

AI Menelan Guru Besar melalui Medsos

Kita sekarang hidup di era Artificial Intelligence (AI) yang sesungguhnya sudah ikut menentukan bulat dan lonjong isi otak kita.

AI shapes your brain! Namun banyak yang membantah atau menolak itu.

Sejak awal sekali, kemunculan medsos sudah dilengkapi dengan algorithm (sekarang disebut AI) yang ditujukan untuk 2 sasaran:
1. Memahami kecenderungan users.
2. Mengarahkan perilaku users di medsos.

Jika 2 sasaran ini tercapai, maka medsos akan menjadi candu. Itu artinya:
1. Jumlah users semakin bertambah banyak.
2. Users semakin aktif berinteraksi.
3. Users semakin lama menggunakan waktunya di medsos.

Semakin medsos menjadi candu, maka medsos semakin menarik bagi pemasang iklan. Itu artinya tidak lain adalah profit yang besar.

Frances Haugen yang pernah menjadi product manager di Facebook mengungkapkan di depan DPR Amerika yang membahas dampak medsos di Amerika, bahwa algorithm di Facebook diatur untuk menjadikan profit sebagai sasaran utama, sehingga Facebook mengabaikan konten yang berbahaya atau merugikan bagi users. Namun Facebook berpura-pura memperhatikan atau peduli pada kepentingan users.

Beberapa riset seperti yang sudah disebutkan di atas menyebut medsos adalah tempat  menyebarkan fake news. Medsos menyebarkan fake news 6 kali lebih cepat daripada berita yang bisa dikonfirmasi. Atau medsos menyebarkan fake news 70% lebih banyak daripada berita yang bisa dikonfirmasi.

AI Menembus Otak Manusia Melalui Medsos


Setelah 2 dekade lebih medsos berkembang, maka cara informasi menyebar menjadi berubah. Medsos mulai menggantikan media konvensional sebagai sumber berita. Hampir tidak ada lagi orang yang membaca (mengkonsumsi) berita dari sumber pertama (media konvensional). Mereka membaca salinan berita di medsos (yang di-post oleh users), tanpa tertarik untuk membaca di link aslinya. Bahkan seringkali membaca berita dalam bentuk intisari (summary) saja. Atau yang lebih gila lagi: membaca (di medsos) pandangan atau interpretasi orang pada sebuah berita atau informasi. Padahal entah siapa orang itu.

Maka tidak heran jika sebuah media yang bernama Bocor Alus bisa menjadi populer di masyarakat dan bahkan kontennya dikutip oleh media konvensional. Padahal referensi atau nara sumber dari media seperti Bocor Alus adalah:
1. katanya.
2. katanya.
3. katanya.

Ini untuk mengingatkan Anda, bahwa yang dimaksud medsos itu termasuk WhatsApp, terutama WAG, Youtube, apalagi Facebook, X, TikTok, dan lainnya.

Penutup

Ada yang tertarik mendiskusikan topik di atas secara online untuk kepentingan masyarakat? Jangan sampai Indonesia semakin terpuruk karena terlindas oleh dampak medsos. Sementara itu pemilik medsos bertengger di tangga teratas dalam daftar orang terkaya di dunia.

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun