Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gamal Abdel Nasser dalam Pusaran Piala Dunia U-20?

4 April 2023   20:33 Diperbarui: 28 Agustus 2023   09:08 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Penjelasan Sejarah Mengapa Indonesia Kukuh Menolak Israel)

Keputusan FIFA baru-baru ini menimbulkan kegemparan. Indonesia dianggap tidak mampu menyelenggarakan pertandingan olahraga tingkat dunia.

Apa argumen FIFA? Ternyata FIFA tidak menyediakan argumen yang tegas mengenai itu, sehingga spekulasi mengenai itu menjadi sangat liar beberapa hari setelah FIFA menjatuhkan putusannya itu.

Salah satu spekulasi yang mengemuka adalah seputar sikap 2 gubernur di mana U-20 tadinya bakal digelar, yaitu Jateng dan Bali. Timnas Israel ditolak oleh 2 gubernur itu bersama-sama dengan berbagai kelompok radikal berbasis agama. Banyak yang meyakini sikap gubernur yang sejalan dengan kelompok radikal ini membuat FIFA meragukan kemampuan Indonesia dalam menjaga keamanan atau ketertiban dalam pertandingan U-20 nanti.

Semua orang dibuat terkejut dengan sikap 2 gubernur itu, mengingat 2 gubernur itu adalah kader dari PDIP, partai yang dikenal nasionalis yang diharapkan oleh masyarakat tidak memiliki sikap seperti partai berbasis agama (dalam soal Israel). Namun ternyata sikap PDIP bahkan sejalan dengan sikap berbagai kelompok radikal berbasis agama yang sudah lama menolak secara ekstrim eksistensi negara Israel.

Tentu saja PDIP memberi beberapa alasan, yang salah satu alasan penolakannya pada Israel adalah aturan atau konstitusi, serta memenuhi amanat Sukarno seputar penjajahan. Namun apapun alasannya, sikap PDIP disebut secara tidak langsung oleh Jokowi sebagai sikap mencampuradukkan olahraga dengan politik. Bahkan sikap ini menuai coreng yang mempermalukan bangsa ini.

Mengapa PDIP Bersama Kelompok Garis Keras Menolak Israel?

Pada artikel sebelumnya, saya sudah menggambarkan sejarah singkat berdirinya Israel dan bagaimana Israel ditolak oleh negara-negara Arab di sekitar Israel, yaitu, Mesir, Jordania, dan lain-lain (klik di sini). Bahkan negara-negara Arab ini serentak mengeroyok Israel sehari setelah Israel memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1948.

Sedangkan artikel yang sedang Anda baca ini untuk melengkapi jejak perseteruan negara-negara Arab dengan Israel itu. Lalu mengapa Indonesia berdiri bersama-sama dengan negara-negara Arab menolak berdirinya negara Israel sejak awal sekali?

Rupanya ada peran Gamal Abdul Nasser di situ.

Seperti sudah disebut di atas, pada tahun 1948, Mesir yang masih berbentuk monarki bersama-sama dengan negara-negara Arab lainnya mengeroyok Israel yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Negara-negara Arab itu fokus menolak berdirinya negara Israel, sehingga mereka lupa untuk mengupayakan berdirinya negara Palestina. Namun ternyata Israel memenangkan peperangan, meski dikeroyok.

Warga Palestina menjadi korban dari sikap permusuhan dari pemimpin negara-negara Arab itu. Ada 750 ribu warga Palestina yang menjadi pengungsi di berbagai tempat, termasuk di negara-negara Arab. Sebagian besar dari mereka masih tetap menjadi pengungsi setelah puluhan tahun kemudian.

Lalu muncul Gamal Abdel Nasser pada tahun 1952 di Mesir mengkudeta Farouk, raja Mesir, dan Nasser mencetuskan revolusi Mesir. Ia kemudian terpilih sebagai presiden pertama Republik Mesir di tahun 1956.

Revolusi Mesir mengantar Nasser menjadi pemimpin bangsa-bangsa Arab. Raja Jordania, Hussein pun sempat kuatir, digulingkan oleh rakyatnya yang sempat terpengaruh oleh Revolusi Mesir yang dicetuskan oleh Nasser.

Sukarno, presiden pertama RI sempat mengunjungi Nasser di Mesir pada tahun 1961. Sukarno memuji Nasser sebagai pemimpin besar dunia ketiga yang berani melawan para penjajah. Inilah salah satu yang mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk ikut menyanjung Nasser dan terseret membenci Israel.

Ini kutipan dari apa yang dikatakan Sukarno tentang Nasser: "Gamal Abdel Nasser is a man of destiny, not only for Egypt, but also for the entire Arab world and for all those who love peace and justice. He is a leader who has shown that it is possible for a small country to stand up against imperialism and colonialism and to achieve independence and progress."

Pada tahun 1967 Nasser bersama dengan negara-negara Arab sekali lagi menyerang Israel. Namun kali ini Israel lebih cepat memenangkan peperangan. Bahkan hanya dalam 6 hari Israel memperoleh lebih banyak wilayah yang tadinya dikuasai oleh Mesir, Jordania dan lainnya. Kota suci Jerusalem pun menjadi sepenuhnya di bawah kendali Israel. Lalu wilayah yang dimenangkan Israel itu disebut dicaplok oleh Israel.

Meski kalah telak dalam perang 6 hari dengan Israel, masyarakat Mesir malah terpesona dengan pidato pengunduran diri Nasser. Masyarakat Mesir dan masyarakat dari negeri-negeri Arab lainnya menganggap Nasser adalah pahlawan bangsa-bangsa Arab yang berjuang melawan Israel dan negara-negara Barat lainnya yang disebut penjajah.

Tidak lama setelah kekalahan Mesir atas Israel, Nasser wafat karena serangan jantung di tahun 1970. Tidak hanya rakyat Mesir yang berduka, namun nyaris seluruh warga Arab di berbagai negeri Timur Tengah berduka dan kehilangan pemimpinnya.

Krisis Terusan Suez

Namun sebelum kekalahan telak Mesir di tahun 1967 itu, Nasser sempat menorehkan "kemenangan" yang mengagumkan, terutama bagi bangsa Arab, dan juga bangsa-bangsa yang disebut disebut berkembang, atau bangsa-bangsa dari dunia ketiga.

Tahun 1956, beberapa bulan setelah Nasser terpilih menjadi presiden pertama Republik Mesir, ia membulatkan tekad dan memusatkan kekuatan militernya untuk menasionalisasikan Terusan Suez yang sebelumnya dikuasai oleh Perancis & Inggris. Lalu Perancis & Inggris meresponnya dengan mengirimkan pasukan perang ke Terusan Suez.

"Berkat" campur tangan Amerika & Soviet, akhirnya Perancis & Inggris menarik pasukan perangnya dari Terusan Suez. Mesir di bawah kepemimpinan Nasser akhirnya mengusai Terusan Suez yang memang secara geografis berada di wilayah Mesir.

Rakyat Mesir dan rakyat di berbagai belahan negeri di Timur Tengah mengelu-elukan Nasser sebagai pahlawan bangsa Arab yang berani dan berhasil melawan para penjajah. Demikian pula rakyat di negara-negara dunia ketiga, termasuk juga Indonesia.

Kalah Perang dengan Israel di Tahun 1967

Mungkin karena pernah menang perang di Terusan Suez, Nasser kemudian di tahun 1967 nekat bersama-sama dengan negara-negara Arab mengeroyok Israel sekali lagi. Sayang sekali, seperti sudah disebut di atas, Israel memenangkan peperangan dengan gemilang.

Karena kekalahan telak ini, Mesir kehilangan banyak wilayahnya, jatuh ke tangan Israel. Nasser yang wafat di tahun 1970 lalu digantikan oleh Anwar Sadat yang kemudian berupaya membawa Mesir berdamai dengan Israel. Upaya Sadat itu harus dibayar sangat mahal. Sadat dibunuh pada tahun 1981 oleh kelompok agama garis keras di Mesir yang menganggap Sadat pengkhianat, karena bersikap baik pada Israel.

Terbunuhnya Sadat semakin menegaskan apa yang telah disepakati oleh negara-negara Arab selepas kalah perang 6 hari di 1967 itu, yaitu "No peace with Israel, no negotiation with Israel, no recognition of Israel." Three Noes (tiga sikap NO atau menolak) itu disampaikan di Kartoum, Sudan, 1 September 1967, saat para pemimpin negara-negara Arab berkumpul membicarakan sikapnya pada Israel yang mengalahkan mereka hanya dalam waktu 6 hari sebelumnya.

Penutup

Negara-negara Arab tentu saja sekarang sudah berubah banyak. Mesir yang dahulu selalu ikut dalam gelombang permusuhan dengan Israel, sekarang sudah mengusung "the recognition of Israel's right to exist". Bersama dengan Mesir, ini daftar negara-negara Arab yang sudah mengakui Israel: Mesir, Jordania, United Arab Emirates (UAE), Bahrain, Sudan, Morocco. Saudi Arabia meski belum mengakui secara resmi, namun sudah memiliki beberapa hubungan kerjasama yang erat, seperti penerbangan komersial sudah terjalin sejak 2020 lalu.

Nampaknya Konflik Israel-Palestina sudah menunjukkan titik terangnya menuju hidup bersandingan secara damai. Namun sayangnya, Hamas yang sekarang "memimpin" warga Palestina masih terus menggaungkan "perang" dengan Israel, padahal para petinggi Hamas diberitakan oleh berbagai media internasional hidup mewah di Doha, Qatar, bukan di Gaza di kamp pengungsian warga Palestina. Sayangnya juga masih banyak masyarakat Indonesia yang berdonasi untuk kesejahteraan warga Palestina, namun tidak tahu persis donasinya apakah betul-betul sampai kepada warga Palestina atau kepada petinggi Hamas di Doha.

Politisi Indonesia nampaknya kekenyangan dengan kemewahan atau dengan berbagai previlege yang mereka sandang, sehingga lupa untuk memperbaiki kapasitasnya yang semakin hari semakin kedodoran. Mengenai itu, Gus Dur dulu pernah menyebut mereka: "seperti anak TK".

Lebih memprihatinkan lagi: politisi Indonesia masih terjebak pada konsep berpikir yang ketinggalan jaman mengenai peta konflik di Timur Tengah. Mereka masih terjebak pada konsep berpikir negara maju atau negara besar adalah negara penjajah, atau negara yang dulu penjajah adalah tetap penjajah. Padahal lihat India yang orang-orang mudanya berada di posisi puncak perusahaan besar berteknologi tinggi di di Silicon Valley, Amerika. Politisi Indonesia masih belum bisa melihat "penjajahan" yang sudah dilakukan perusahaan besar seperti Google, Facebook, dan berbagai medsos lainnya.

Memandang negara besar atau maju sebagai penjajah sama sekali sudah tidak relevan lagi. Bagaimanapun pemerintah Belanda bersikap hati-hati pada pengungsi Timur Tengah yang memasuki negeri Belanda, namun masyarakat Belanda menerima dengan tangan terbuka, dengan tanpa kecurigaan, bahkan masyarakat Belanda giat mengupayakan agar para pengungsi ini bisa memulai hidupnya dengan baik di negeri Belanda. Itu tidak terjadi hanya di Belanda yang masih sering disebut sebagai negara penjajah oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga terjadi di berbagai negara Eropa lainnya.

Politisi Indonesia bisa dipastikan tidak mengenal sains baru, seperti neuroscience yang bisa mengenali dengan mudah pemimpin mana di dunia ini yang menyandang disorder seperti sociopath, narcissism, atau bahkan psychopath. Ciri disorder itu bisa dikenali dengan mudah, karena kita sekarang mengenal kata: jejak digital. Apa saja ciri disorder itu? Bisa dilihat pada beberapa artikel yang sudah saya tulis (klik di sini).

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan tulisan & ratusan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun