Puasa Ramadhan tentu Anda sudah tahu, yaitu tidak makan & minum sejak matahari terbit hingga terbenam.Â
Tidak hanya makan & minum yang ditiadakan saat berpuasa, tetapi juga menghindari banyak perbuatan yang dilarang atau tidak dianjurkan agama. Selain itu, saat berpuasa Anda juga dianjurkan untuk melakukan kebajikan dan kegiatan spiritual.
Lalu dunia sains beberapa tahun belakangan ini diramaikan dengan istilah puasa dopamine. Apa itu?
Dopamine Fasting Guide ditulis oleh Cameron Sepah, seorang profesor dari Psychiatry of UC San Francisco di tahun 2019 lalu. Meski demikian praktik ini sudah dikenal beberapa tahun sebelumnya dengan istilah Dopamine Challenge.Â
Lalu istilah Dopamine Fasting menjadi populer di Silicon Valley, California, karena peminatnya datang dari para executive atau CEO di Silicon Valley yang memang sudah akrab dengan gejala atau fenomena seputar kecanduan baru di jaman Industrial Revolution 4.0 ini.
Puasa dopamine ini menyebabkan jagat raya gonjang-ganjing hingga New York Times, BBC, The Guardian, Vox, dll menulis laporannya. Namun menurut Cameron Sepah, praktik puasa dopamine yang dipraktikkan di masyarakat sudah terlalu jauh meleset dari apa yang sudah dirancangnya.
==o==
Dopamine adalah motivation hormone, pleasure hormone, atau reward hormone. Dopamine keluar sebelum melakukan satu aktivitas tertentu atau pada saat melakukan aktivitas tertentu. Dopamine keluar terutama untuk memotivasi Anda untuk melakukan sesuatu. Jika perbuatan itu tercapai, maka Anda merasa puas, senang, atau bangga, karena keluar hormon lainnya.
Pada awalnya dopamine adalah hormon yang membuat Anda mengejar apapun yang membuat Anda untuk bertahan hidup atau untuk membuat Anda merasa nyaman. Dopamine yang mendorong Anda mengejar susu ibu atau makanan sejak masa baru dilahirkan. Dopamine juga bisa disebut membuat Anda menghindari situasi yang tidak menyenangkan atau merugikan.
Kemudian di masa selanjutnya, dopamine terpicu keluar oleh banyak hal, seperti misalnya menginginkan buah yang ada di pohon. Dopamine menyemangati Anda untuk segera menuju pohon itu dan memanjatnya untuk memetiknya.Â
Saat memakannya, maka timbul rasa senang atau puas. Dopamine berhenti keluar setelah Anda mendapatkan buah itu. Namun dopamine akan terpicu keluar lagi jika Anda menemukan atau menentukan goal (buah) yang lain untuk dikejar.
Dopamine juga terpicu keluar oleh hal-hal lain seperti sex, memenangkan kompetisi, mendapatkan nilai bagus di sekolah, mendapatkan promosi pekerjaan, mendapatkan kekayaan atau kekuasaan, mendapatkan pengakuan, penghargaan, award, piala, Nobel, bahkan juga bermain game, memenangkan persaingan atau perdebatan di media sosial, atau sekedar mengunyah/mendalami apa pun isi medsos, dan lain-lain.
Mengejar dopamine agar terpicu keluar menjadi bermasalah jika kegiatan itu mengganggu fokus pada pekerjaan, mengganggu hubungan dengan orang-orang dekat atau di tempat kerja, lupa memperhatikan kesehatan, atau melupakan kegiatan penting lainnya.
Saat seperti itu disebut sebagai kecanduan, seperti kecanduan pada game online, film, sex, onani, berkompetisi, mendapat nilai bagus di sekolah, di tempat kerja, mengumpulkan kekayaan, kekuasaan, media sosial, dll.
Neuroscience menjelaskan kecanduan seperti ini: otak setiap saat secara otomatis mengatur tingkat dopamine (juga hormon lainnya) agar selalu seimbang atau tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Satu kegiatan baru (misalnya bermain game) akan memicu keluarnya dopamine secara lebih banyak daripada biasanya, namun semakin sering Anda melakukan kegiatan yang sama, maka level of dopamine yang keluar semakin dikurangi untuk menciptakan balance di otak.Â
Lama-lama, bermain game, sex, atau yang lainnya menjadi kurang memicu keluarnya dopamine. Padahal Anda terlanjur bergantung pada kegiatan itu untuk memicu keluarnya dopamine, sehingga Anda terus memaksakan diri secara ekstrim untuk melakukan kegiatan itu, sehingga melupakan hal-hal atau kegiatan-kegiatan lain yang juga penting untuk dilakukan sehari-hari, seperti bersosialisasi, membangun relationships dengan orang-orang dekat atau keluarga, teman, dll.
Jadi jangan lupa kecanduan itu bukan hanya pada nikotin (rokok), narkoba, caffeine, judi, sex, makanan & minuman yang mengandung gula, garam, atau lemak (gula, garam, lemak sekarang disebut addictive substance seperti narkoba), tetapi juga pada Internet, media sosial, perdebatan di medsos, menonton film atau berita (melalui medsos), berbagai award yang bisa dibeli, uang, kekuasaan, dan lain-lain.
Otak telah berevolusi untuk menjamin keberlangsungan hidup dengan cara menyediakan dopamine saat Anda melihat peluang untuk keberlangsungan hidup (survival). Melihat makanan adalah contohnya. Saat semua berjalan sukses, maka Anda akan merasa senang, karena ada hormon lain lagi yang keluar.
Dopamine berguna untuk membuat neurons di otak terhubung satu sama lain (melalui synapses). Itu mendorong Anda untuk melakukan satu kegiatan lagi dan lagi. Sedangkan kegiatan-kegiatan baru (yang belum pernah dilakukan sebelumnya) akan membuat keterhubungan baru antara satu neuron dengan neuron lainnya.Â
Jadi yang bertambah di otak bukan jumlah neurons-nya, tetapi jumlah keterhubungan antar neurons.Â
Menurut riset, itu sesuatu yang positif dan harus dilakukan sepanjang hidup. Artinya sepanjang hidup Anda dituntut untuk belajar hal-hal baru atau melakukan berbagai aktivitas yang berbeda-beda, berdasar riset sains. Salah satu yang membahas ini adalah Loretta Breuning dari Inner Mammal Institute, California State University.
Namun demikian ada yang membuat Anda menjadi malas untuk melakukan kegiatan-kegiatan baru. Itu disebabkan karena Anda sebagai manusia sekarang hidup di zaman baru setelah periode 300 ribu tahun sejarah homo sapiens yang sekarang hampir semua kesenangan mudah diperoleh, seperti makanan, minuman, mengumpulkan uang atau makanan, bermain game, menonton film, berinteraksi di media sosial, surfing di Internet, dll.
Semua kemudahan itu seperti sudah disebut di atas, membuat Anda mudah sekali mengalami kecanduan yang merugikan. Beberapa dekade terakhir sudah banyak riset yang menyatakan, bahwa kecanduan pada media sosial adalah kecanduan yang sama berbahaya dengan kecanduan lain, misalnya narkoba, karena sama-sama merusak otak.Â
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, kecanduan menghalangi munculnya keterhubungan baru antar neuros di otak. Lama-lama volume otak menyusut lebih cepat daripada usia biologis. Itu artinya fungsi otak semakin menurun.
JADI APA ITU PUASA DOPAMINE?
Puasa dopamine sebenarnya masih diperdebatkan, atau peer to peer reviewnya masih terus berlangsung hingga kini. Puasa dopamine disebut sebagai pengembangan lebih jauh dari CBT (Cognitive Behavioral Therapy) untuk mereka yang mengalami kecanduan. Namun puasa dopamine ini ditentang oleh para neuroscientists, karena tidak sejalan dengan apa yang sudah ditemukan para neuroscientists selama 3 dekade terakhir.
Puasa dopamine jauh lebih berat daripada puasa Ramadhan. Puasa dopamine meniadakan semua aktivitas yang bisa memicu keluarnya dopamine, kecuali minum air putih saja. Membaca, menonton film, mendengar musik, dan lain-lain dari dunia modern itu terlarang. Bahkan ngobrol juga dilarang, termasuk juga beradu pandang (eye contact).
Meski demikian ada beberapa aktivitas yang dianjurkan untuk dilakukan, seperti meditasi, berdoa, beribadah, melakukan kebajikan, menulis jurnal positif, melakukan olahraga ringan, dll.
Perancang puasa dopamine (Cameron Sepah) mungkin lupa, bahwa dalam beberapa kegiatan yang dianjurkan untuk dilakukan ada yang bisa memicu keluarnya dopamine, seperti melakukan kebajikan, menulis jurnal positif, meditasi, dll.
Jika puasa dopamine diklaim memberikan keberhasilan (misalnya karena ditunjukkan dari kondisi mental yang membaik atau perilaku yang membaik), namun itu bukan disebabkan oleh puasa dopamine, tetapi karena beberapa kegiatan positif yang dilakukan saat melakukan puasa dopamine yang memang dianjurkan oleh riset neuroscience, seperti meditasi, melakukan kebajikan, menulis jurnal positif, olahraga, membangun relationships, dll.
Jadi jika Anda mencari informasi tentang puasa dopamine di berbagai sumber sains, maka Anda akan menemukan banyak tulisan yang menyatakan puasa dopamine tidak diperlukan.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan!
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H