Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kita Butuh Resilience untuk Menghadapi Covid-19

12 April 2020   19:40 Diperbarui: 12 April 2020   19:43 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar dari WHO

Resilience atau ketangguhan dalam hidup berarti: memiliki kondisi otak yang positif setiap saat, sehingga saat tantangan atau hambatan hidup datang menerpa, maka kita tidak akan jatuh atau terpuruk, terlalu lama dan terlalu dalam, namun cepat kembali pulih, dan bangkit kembali menata hidup.

Itu saya tulis di Kompasiana di bulan September 2019 lalu berjudul "Resilience, Apa Kata Neuroscience?". Siapa yang menduga, beberapa bulan kemudian, di bulan Februari 2020, WHO menyatakan dunia dilanda pandemik COVID-19. Siapa yang menduga, ternyata kita semua dihadapkan pada sebuah tantangan atau hambatan hidup yang sangat besar.

Bagaimana kita menghadapi ini jika kita tak memiliki resilience? Simpan dulu pertanyaan itu ya.

Kita semua sedang merasakan apa yang dirasakan oleh orang di seluruh dunia. Kita semua sedang mencoba untuk tetap bertahan hidup. Kita semua sedang berjuang di dalam rumah kita masing-masing agar tetap sehat dan waras. Kita semua sedang berjuang untuk tetap memiliki harapan baik di masa beberapa bulan mendatang.

Catat ini:  Pemerintah negera-negara besar seperti Italia, Spanyol dan Amerika tergagap menghadapi wabah global ini. Health system runtuh di hampir semua negeri maju itu. Korban berjatuhan begitu besar hingga rumah sakit tak bisa menampung atau merawat korban COVID-19 (saya tak perlu lagi menyebut jumlah korban, karena begitu memprihatinkan).

Dalam setiap zaman, peradaban manusia sering mengalami wabah global. Ada yang mengambil korban sedikit ada pula yang banyak.
- Tahun 1918-1919 wabah Spanish Flu membunuh sekitar 50 juta orang.
- Tahun 1347-1351 Wabah Black Death membunuh sekitar 200 juta orang
- Dan masih banyak lagi wabah lain dengan jumlah korban yang juga cukup fantastis.

--00--

Kembali lagi ke masa sekarang, menurut anda drama apa yang paling menonjol dalam situasi wabah global COVID-19 ini? Adakah yang belum termasuk dalam daftar di bawah ini?

1.  Takut atau cemas tertular COVID-19
2.  Kehilangan orang dekat atau yang dicintai
3.  Kehilangan pekerjaan
4.  Kehilangan penghasilan
5.  Ketidakpastian tentang masa depan
6.  "Bergesekan" dengan penghuni rumah lainnya atau anggota keluarga
7.  Tak bisa memakan makanan atau minuman kesukaan kita
8.  WfH dengan situasi yang tidak nyaman
9.  Perubahan kegiatan rutin
10. Terkungkung di rumah berhari-hari
11. Tak tahu apa yang mesti dikerjakan
12. Marah pada pemerintah yang dinilai lambat
13. Dibebani kegiatan memasak yang memakan waktu
14. Dibebani kegiatan memesan bahan makanan online
15. Dibebani kegiatan membereskan dan membersihkan rumah

Bagaimana menghadapi semua drama itu?

1. Takut tertular itu tentu kita bisa atasi dengan tinggal di rumah saja dan berhati-hati pada semua cara virus corona bisa mencapai kita, seperti melalui makanan atau barang yang kita pesan online, atau lainnya.

2. Kehilangan orang dekat atau yang dicintai? Ada yang kehilangan semangat hidup untuk waktu yang lama, namun ada juga yang sebentar saja. Di masa COVID-19 ini kehilangan orang-orang yang dekat mungkin bisa tak sedikit. Kita lihat saja di Italia, Spanyol atau Amerika. Padahal mereka negara maju. Jadi ini pasti berat bagi kebanyakan orang.

Beberapa orang menggunakan agama atau keyakinannya pada Tuhan untuk bisa melalui drama ini dengan baik. Beberapa orang lain menggunakan konsep berpikir positif, bahwa misalnya tetap berpikir semuanya akan berlalu dan semua ada sisi baiknya.

Jadi bagaimana menghadapi drama kehilangan orang dekat atau orang yang dicintai? Simpan dulu pertanyaan itu.

3. Kehilangan pekerjaan atau penghasilan? Bagi yang berada di kelas ekonomi menengah ke atas, kehilangan pekerjaan bisa diatasi dengan merubah mindset. Tapi bagi mereka yang di kelas ekonomi bawah, kehilangan pekerjaan adalah persoalan mendasar. Tanpa uang, maka sulit untuk tidak cemas yang berujung pada stres atau depresi.

Jadi bagaimana menghadapi drama kehilangan pekerjaan, penghasilan, atau tak punya uang? Simpan juga pertanyaan itu.

Lalu bagaimana pula kita menghadapi drama lainnya, seperti "bergesekan" dengan penghuni rumah lainnya yang anggota keluarga kita sendiri? Kekurangan sinar matahari saja bikin kita depresi. Begitu juga tak bisa memakan makanan kesukaan kita, bekerja di rumah dengan kondisi atau situasi yang tak nyaman, harus memasak, harus memesan bahan makanan, harus ini dan itu yang tadinya bisa dilakukan dengan nyaman.

Bagaimana kita menghadapi itu semua?

1. Agama tentu bisa memberi solusi (tak perlu saya jelaskan apa sumbangsih agama dalam menghadapi semua drama itu)
2. Saran dalam bentuk tulisan atau video sudah banyak tersebar di berbagai media tentang cara menghadapi stres atau depresi.
3. Berbagai tips motivasi juga tersebar di berbagai media untuk menghadapi drama di atas.
4. Ini yang terakhir, Neuroscience memberikan tips yang berbeda.

Tips dari neuroscience jika disederhanakan menjadi begini: Miliki resilience! Ya, miliki resilience! Jika kita memiliki resilience, maka kita bisa melalui semua tantangan atau hambatan hidup, terutama di masa COVID-19 ini. Memiliki resilience juga keharusan, bahkan di masa normal nanti, agar tetap bersinar, produktif, cerdas, kreatif, inovatif, tubuh sehat, dan tetap menjadi orang baik.

Kita semua sudah harus bersiap pada dampak dari #DiRumahAja ini. Pemerintah juga sudah mengingatkan soal ini. Saya lihat Gugus Tugas COVID-19 sudah beberapa kali sudah mengundang mereka yang dianggap ahli dalam soal ini untuk memaparkan berbagai tips untuk tetap memiliki mental yang sehat dalam melalui tantangan yang diberikan COVID-19 ini.

Di sini saya menambahkan tips yang saya ketahui dari neuroscience agar kita bisa melalui kondisi stres atau depresi yang disebabkan oleh #DiRumahAja ini. Tips itu dirangkum dalam tips memiliki resilience seperti yang sudah saya tulis di Kompasiana bulan September 2019 lalu. Saya hanya berikan di sini ringkasannya saja, karena terlalu panjang.

Jadi silahkan baca artikel itu. Atau buka website dan Facebook page "Membangun Positivity", lalu cari artikel tentang resilience.

Ini ringkasannya:

1. Lakukan meditasi, lebih sering lebih bagus.
2. Bersyukur dengan cara menulis jurnal tiap hari.
3. Melakukan kebajikan, meski tak gampang di masa COVID-19 ini.
4. Membangun atau menyempurnakan terus relationships atau silaturahim dengan siapa saja, terutama orang dekat atau orang yang kita cintai.
5. Berolahraga, meski di dalam rumah. Intinya harus terus menggerakan tubuh, karena ini penting untuk menumbuhkan positivity, bukan stres atau depresi.

Semua tips itu dijelaskan lebih dalam dalam tulisan saya itu. Baca ya supaya lebih jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun