Hari ini 21 Maret 2020, COVID-19 masih merebak di seluruh dunia setelah dinyatakan muncul oleh WHO di akhir Desember 2019 lalu. Negara-negara maju sekalipun nampak terbata-bata menghadapinya, begitu juga Indonesia.
COVID-19 bermula di Wuhan, sebuah kota di provinsi Hubei, Cina. Di sana ditemukan beberapa penderita yang memiliki gejala seperti penderita SARS (Cina, 2002) dan MERS (Saudi Arabia, 2012).
Temuan itu dilaporkan ke WHO pada tanggal 30 Desember 2019 dan Cina segera menutup kota Wuhan 23 Januari 2020) dan membangun rumah sakit baru hanya dalam tempo 10 hari untuk menampung ledakan pasien yang bakal segera muncul dalam beberapa hari mendatang.Â
Dua langkah yang dilakukan oleh Cina, menutup kota dan membangun rumah sakit baru, menunjukkan Cina telah belajar dari 2 wabah virus corona sebelumnya (SARS dan MERS) yang menyerbu seluruh dunia. COVID-19 memang penyakit yang disebabkan oleh virus dari keluarga yang sama seperti SARS & MERS.
Banyak yang memuji Cina karena telah berhasil melalui masa gentingnya setelah 2 bulan sejak pertama kali diumumkan oleh WHO. Penyakit ini kemudian diberi nama COVID-19 (Corona Virus Desease 2019) oleh WHO pada 11 Februari 2020. Lalu, 11 Maret 2020, WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemik.
Namun, apa yang terjadi di dunia saat Cina menutup Wuhan? COVID-19 malah terlanjur merebak ke seluruh dunia. Banyak negara yang hanya bermodalkan pengukur suhu untuk menghalau masuknya COVID-19 ke negeri mereka. Padahal penderita yang baru saja tertular, tidak menunjukkan gejala demam tinggi.
Para pemimpin dunia pun mempertontonkan ketidakpedulian mereka pada COVID-19 dengan masih bersalaman atau saling menempelkan pipi di depan lensa media yang kemudian disaksikan oleh warganya.
Badan-badan dunia seperti WHO sebenarnya sudah cukup jelas menyajikan berbagai informasi mengenai COVID-19 ini di websitenya. Bahkan juga tentang bagaimana para pemimpin di setiap negeri di dunia ini mesti bersikap dan bertindak.
Idealnya semua negara tahu cara menghadapinya saat virus ini pertama kali muncul. Idealnya pula WHO lebih mampu mengkoordinasikan semua negara untuk bersiap menghadapinya. Namun kita lihat Italia, Perancis dan Spanyol, juga Indonesia masih sedang berjuang menghadapinya.Â
Italia bahkan menghadapi keputusan sulit, yaitu harus membiarkan mati mereka yang yang tak memiliki harapan untuk sembuh. Sayangnya mereka adalah orangtua mereka sendiri yang tak memiliki immune system sebaik orang-orang muda (di bawah 50 tahun).
Angka-angkanya hingga hari ini adalah: hampir 250 ribu orang terpapar di seluruh dunia. Tewas 10 ribu orang (fatality rate 4,1%). Di Indonesia 369 orang terpapar, dan tewas 32 (fatality rate 8,6%).
Apa yang salah? Atau memang harus selalu seperti ini saat ada wabah virus merebak di dunia? Inikah proses evolusi itu?
Mengapa dunia tergagap setelah diberi pelajaran 2 kali (SARS & MERS) sebelumnya?
Mengapa banyak negara yang tak mengikuti Cina? Mengapa banyak negara tak belajar dari SARS dan MERS?
Apakah website WHO tidak cukup komunikatif dalam menyampaikan apa yang penting? Apakah WHO harus merekrut ahli komunikasi digital agar pesannya bisa mencapai siapa pun dengan tingkat pendidikan apapun atau kelas ekonomi apapun?
Apa saja yang seharusnya dilakukan oleh negara-negara lain setelah satu negara mengumumkan adanya wabah virus seperti COVID-19 itu?
Protokol untuk menghadapi penyakit menular di dunia sebenarnya sudah banyak dibuat dan sejak lama. Apakah harus dibuat lagi protokol baru untuk itu? Bagaimana bunyi protokol baru itu?
Banyak pertanyaan yang harus dijawab ternyata.
***
Kita hidup di zaman digital atau media sosial di mana setiap hari kita bisa dibanjiri oleh hoax, atau informasi-informasi menyesatkan. Di saat krisis seperti sekarang ini, kita malah dibanjiri informasi sesat seperti soal jamu dan rempah-rempah atau yang berasal dari agamawan.
Nampaknya para ahli perlu berkumpul lagi seperti yang sudah dilakukan di New York beberapa waktu lalu (New York Times 14 Maret 2020, Worst-Case Estimate For Coronavirus Deaths).
Sebanyak 50 ahli pandemik dari berbagai universitas dan negara berkumpul membuat prediksi. Berdasarkan data yang ada, kecepatan penyebarannya, dengan asumsi tak ada perubahan dalam soal penanganan COVID-19 seperti yang sekarang dijalankan.
Pertemuan itu menghasilkan perkiraan yang cukup mengerikan, bahwa sekitar 50-70 persen populasi dunia akan terkena COVID-19. Itu artinya dari 7 milyar penduduk dunia akan terjangkit sebanyak 5 milyar (70%). Dari yang terjangkit itu akan tewas sebanyak 50 juta orang jika fatality rate-nya cuma 1%. Bagaimana jika fatality rate-nya 4%? Angka kematian ini jauh lebih besar dari Perang Dunia II yang cuma 40 juta.
Lalu coba terapkan rumus ini pada penduduk pulau Jawa yang sekitar 150 juta. Jika 70% terkena, berarti sekitar 100 juta orang. Maka 1 juta penduduk pulau Jawa akan tewas (fatality rate 1%).
***
Dunia sekarang dicekam oleh situasi di mana banyak orang harus "terpenjara" di rumahnya masing-masing. Kegiatan ekonomi berhenti. Masing-masing negara di dunia rugi triliunan rupiah.
Semua orang saat ini di sebagian wilayah Indonesia sudah berusaha untuk hanya beraktivitas di rumah (social distancing). Untungnya bakal datang jutaan rapid test untuk COVID-19 sebagai bantuan dari Cina dalam beberapa hari ini. Jadi kita bisa mengira-ngira berapa lama social distancing ini bakal diberlakukan di Indonesia.
Sebagian dari kita tentu bisa melakukan aktivitas di rumah. Sebagian lagi jika tak beraktivitas di luar rumah akan kehilangan penghasilannya dan sulit untuk bertahan hidup. Pemerintah harus memperhitungkan warga dengan kondisi seperti ini.
Sebagian dari kita bahkan tak bisa sama sekali meninggalkan pekerjaannya. Mereka adalah para pekerja yang melayani kebutuhan publik, terutama tenaga medis, penyedia logistik, transportasi, pertahanan-keamanan, dan pekerjaan lain yang membutuhkan tatap muka. Merekalah yang berjuang untuk kita agar bisa tinggal di rumah. Merekalah pahlawan di zaman ini.
Kita tentu berharap, di masa depan semua negara di dunia bisa lebih sigap bersikap atau bertindak saat ada sebuah negeri dilanda wabah virus seperti COVID-19 sekarang ini. Dengan begitu, wabah virus bisa lebih cepat dikendalikan lajunya di manapun di seluruh dunia.
Kerugian akibat wabah virus ini sungguh besar, hanya karena para pemimpin di seluruh dunia tak sama bersikap dan bertindak saat wabah virus merebak di sebuah tempat di dunia ini.
M. Jojo Rahardjo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI