Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teror Mumbai dan Sri Lanka Bisa Dicegah?

29 April 2019   18:56 Diperbarui: 29 April 2019   21:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: faktualnews.co 

Jika Teroris Gagal dalam Pemilu, Mereka Akan Menggunakan Teror

Beberapa hari sebelum Pilpres saya menyaksikan film Hotel Mumbai yg diangkat dari kisah sebenarnya di tahun 2008. Saya tersengat. Cobalah Googling tentang kejadian teror Mumbai sebelum menyaksikan film ini.

Apa yg menyengat dari film ini? Sekelompok anak muda menyerang orang-orang tak berdosa di beberapa lokasi di Mumbai. Mereka berumur 20 tahunan, dan telah dilatih untuk menggunakan senjata otomatis dan granat dan peledak lainnya. Tanpa ragu dan tanpa belas kasihan mereka membantai siapa saja yg bukan muslim, terutama mereka yang bertampang bule.

Saya tersengat oleh beberapa hal di film ini:

1. Anak-anak muda ini hanya bagian kecil dari anak-anak muda lain di seluruh dunia yg dengan mudahnya dicuci otaknya untuk menjadi teroris. Kejadian teror ini terjadi sepanjang tahun di berbagai tempat di seluruh dunia. Berkat kemajuan teknologi informasi, berita tentang aksi teroris ini mudah kita peroleh sekarang.

2. Begitu mudah mencetak teroris tak berbelas-kasihan ini. Umumnya mereka yang dijadikan martir atau teroris adalah mereka yang berusia muda. Sementara yang tua menjadi operator atau bertindak sebagai penceramah atau pencuci otak atau bertindak sebagai penghasut.

3. Apa sesuatu yg dijejalkan ke dalam kepala mereka? Apa yang paling ampuh untuk membuat mereka bersedia mati? Apakah nasionalisme? Surga yang dipenuhi bidadari?

4. Saya membayangkan: tentu saya atau orang-orang yg saya kenal bisa menjadi korban mereka? Teroris sudah beberapa kali beraksi di Indonesia sejak awal tahun 2000an di beberapa kota besar. Korbannya juga tak sedikit.

5. Teroris di Mumbai itu berasal dari Pakistan. Penyelidikan menyebutkan pemerintah Pakistan dianggap tidak kooperatif dan telah membiarkan kelompok teroris tumbuh dan bergerak.

***

Beberapa hari setelah Pilpres, teror kembali pecah. Kali ini di Sri Lanka. Beberapa gereja Katolik diserang dengan bom. Ratusan orang tewas dan jumlah korban luka lebih banyak lagi.

Yang mengherankan, buru-buru ada segelintir orang yg menegaskan, bahwa teror di gereja Katolik Sri Lanka bukan serangan bermotif agama. Padahal jelas sekali para teroris adalah orang yang beragama.

Angka kekerasan atas nama agama di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 2004. Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) menemukan angka yang mengkhawatirkan.

Sejak tahun 2005, lalu 2010, 2015 hingga 2018, warga pro Pancasila terus menurun dari 85,2 persen menuju 75.3 persen. Selama 13 tahun terakhir, dukungan warga kepada Pancasila menurun sekitar 10 persen. Di sisi lain, di era yang sama, pendukung NKRI bersyariah naik 9 persen. Publik yang pro NKRI bersyariah tumbuh dari 4,6% (2005) menjadi 13,2% (2018), 13 tahun kemudian.

Sebenarnya baru setahun lalu, di bulan Mei 2018, Indonesia dikejutkan oleh serangan bom di sejumlah gereja. Nampaknya masyarakat kita mudah lupa, padahal peristiwa itu cukup mengerikan. Satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya melakukan serangan bom bunuh diri dilakukan bulan Mei 2018 lalu di Surabaya. Mereka terdiri dari Ayah: Dita Upriyanto (48), istri: Puji Kuswati (43) dan 4 anak mereka: Yusuf Fadil (18), Firman Halim (16), Fadilah Sari (12), dan Pamela Rizkita (9).

Kapolri  Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam  konferensi persnya  menyatakan, keluarga ini baru saja kembali dari Suriah dan merupakan simpatisan Negara Islam Irak dan Syam  (ISIS) dan anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT ).

Dita Upriyanto (ayah) bertugas mengemudi mobil Avanza untuk menabrak GPPS Jemaat Sawahan. Sebelum melakukan serangan ini, Dita menurunkan istrinya Puji Kuswati dan dua anak perempuannya, FS (12) dan PR (9), di GKI Diponegoro. Ketiga orang ini telah dipasangi dengan tiga buah bom yang dililitkan di pinggang.

Dalam keterangan polisi, jenazah istri dan kedua anaknya rusak di bagian perut. Sedangkan pelaku di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela merupakan anak laki-laki Dita, yakni Yusuf Fadil (18) dan FH (16). Mereka mengendarai sepeda motor dan memangku bom yang akan diledakkan.

Sebelumnya, di tahun 2017 lalu Ahok gubernur Jakarta berhasil dikalahkan saat pilkada Jakarta dengan memanfaatkan isu agama dan juga memanfaatkan kelompok Islam garis keras. Bahkan isu NKRI Bersyariah dan Khilafah menjadi lebih mengemuka saat menjatuhkan Ahok ini.

Beberapa pengamat politik menyebut pilkada Jakarta adalah langkah awal dari berbagai kelompok pengusung Khilafah atau pengusung NKRI Bersyariah. Tentu ini mengerikan jika kita mengingat apa yang kemudian terjadi di Libya, Suriah dan Irak setelah kelompok seperti ini melakukan "pemberontakan" di sana.

Gambar: beredar di media sosial. 
Gambar: beredar di media sosial. 

Lalu sejak 2018 hingga 2019 ini beberapa kelompok pengusung Khilafah dan NKRI Bersyariah terlihat mencoba mengambil kesempatan dalam pilpres dan pemilu 2019 yang sudah berlangsung beberapa minggu lalu. Mereka, seperti HTI, FPI, FUI yang mengira bisa menunggangi Prabowo. Mereka berpikir HTI dan lainnya akan kembali "bebas" jika Prabowo ditolong untuk menjadi presiden. Beberapa pengamat intelijen menyebut Pilpres 2019 ini adalah pertarungan yg berbahaya antar 2 ideologi, yaitu Pancasila dan Khilafah atau NKRI Bersyariah.

Untungnya Prabowo kalah.

Sebagaimana kita lihat saat pilpres dan pemilu yang baru berlangsung beberapa minggu lalu, konsep Khilafah atau NKRI Bersyariah menyelip dalam kegiatan kampanye. Indonesia beruntung, karena LSI Denny JA berinisiatif sejak tahun 2018 lalu membangun gerakan yang diberinama "Komunitas Bela Indonesia". Komunitas ini berkampanye ke berbagai tempat di Indonesia untuk menggerus ide khilafah atau NKRI Bersyariah.

Langkah awal gerakan ini mengkampanyekan apa yang menjadi kekuatiran bersama kita, yaitu tentang naiknya popularitas Khilafah atau NKRI Bersyariah dibanding Pancasila dalam beberapa belas tahun terakhir ini. Bersamaan dengan itu gerakan ini mengkampanyekan mengapa Pancasila penting untuk menjadi ideologi yang mempersatukan kita dan menjamin kemajuan Indonesia di masa sekarang dan ke depan.

Keprihatinan gerakan ini adalah Pancasila tak lagi disosialisasikan dengan cara yang tepat di era milenial atau zaman media sosial dan Google. "Marketing Pancasila" melemah, tidak seperti ideologi lain yang dikampanyekan dengan militan, seperti ideologi Khilafah, yang dikampanyekan hingga di banyak rumah ibadah dan door to door.

Gerakan ini mempertanyakan kembali: apa tujuan kita berbangsa?

Dikutip dari buku "Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia" yang ditulis oleh Denny JA dan Tim: Tujuan kita berbangsa dinyatakan secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam alinea keempat, tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".

Mengacu bunyi dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, ada 4 tujuan negara Indonesia, yakni : (1) Melindungi semua warga Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Empat tujuan kita berbangsa ini apakah bisa dicapai oleh ideologi Khilafah atau NKRI Bersyariah? Tentu tidak, karena ideologi ini belum pernah terbukti berhasil di belahan Bumi mana pun. Sedangkan ideologi Pancasila terbukti menghantarkan Indonesia kepada kemerdekaan Indonesia, meski kemudian Pancasila sempat ditunggangi oleh Soeharto untuk kepentingannya sendiri dan kroninya.

Empat tujuan ini sesuai dengan hasil berbagai riset neuroscience, bahwa positivity (kesejahteraan) harus menjadi tujuan kita semua. Jika kesejahteraan tercapai, maka perlindungan warga dari kelompok radikal lebih mungkin diberikan. Negara pun akhirnya bisa fokus untuk proses pencerdasan bangsa agar lebih maju setiap saat. 

***

Hotel Mumbai dan Sri Lanka menggaungkan pertanyaan tua yg belum terjawab: Kapan kita bisa mendiskusikan secara dewasa akar terorisme seperti di Mumbai dan Sri Lanka? Mengapa akan ada banyak orang yg tersinggung jika akar itu dibicarakan secara bebas atau dewasa?

Sebagaimana disebutkan dalam buku di atas, kita harus sepakat untuk menentukan musuh bersama kita, yaitu terorisme. Lalu secara bersama kita menentukan strateginya,  yang salah satunya adalah mendiskusikan akar terorisme, Khilafah, dan NKRI bersyariah. 

M. Jojo Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun