Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Negara Makmur dan Kejujuran

16 Januari 2017   11:45 Diperbarui: 16 Januari 2017   11:54 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya menikmati sarapan pagi sambil membaca artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Judulnya “Mengapa Denmark Menjadi Salah Satu Negara Termakmur di Dunia” Saya mendapatkan artikel itu dari sharing sebuah grup WA, di mana saya menjadi pesertanya.

Prof. Komaruddin Hidayat menceritakan bahwa Negara Denmark di Eropa paling utara yang dekat kutub adalah salah satu negara paling makmur di dunia. Negara ini bergantian menempati ranking satu, dengan Swedia, Swiss dan Norwegia, yang tergabung dengan Negara-negara Skandinavia.  Hasil penelusurannya di Google, kemakmuran yang dicapai Denmark ternyata terutama disebabkan oleh faktor kejujuran.

Semua orang di negara itu, baik rakyat biasa maupun pejabat dan aparat keamanan adalah orang-orang jujur. Dengan kejujuran maka negara itu terbebas dari penyakit sosial akut yang bernama korupsi. Di negara itu hampir tidak ada korupsi.

Jadi tingkat kemakmuran suatu negara berbanding selaras dengan tingkat korupsi. Negara tetangga kita, Singapura dan Australia termasuk negara paling makmur di dunia. Di kedua negara itu, tingkat korupsinya juga sangat rendah karena rakyat dan pejabatnya adalah orang—orang jujur. Dalam artikel-artikel Pak Tjiptadinata Effendi, Kompasioner yang bermukim di Australia, beliau menulis jangan coba-coba menyuap polisi di Australia.  Mereka tidak bisa disuap. Polisi akan menjebloskan orang yang mencoba menyuap ke dalam penjara.

Sebaliknya di Indonesia, polisi justru mencari penghasikan tambahan dari pungli. Akibatnya, sebagian besar sopir angkot tidak merasa perlu melengkapi diri dengan SIM.  Lalu mereka parkir seenak perutnya.  Maka terjadilah kesemrawutan lalu lintas.  Jalanan menjadi macet di mana-mana.  

Lalu banyak pelaku  kriminal yang  bisa bebas karena menyuap polisi. Bahkan di penjara, bisa-bisanya  narapidana menempati kamar mewah yang lengkap dengan AC dan televisi karena menyuap sipir penjara. Prof. Deny Indrayana, mantan Wamenkum punya pengalaman menangkap narapidana kaya yang menempati ruang mewah tersebut.

Di negara kita tercinta ini, setiap proyek yang akan dilaksanakan hampir dipastikan ada potongannya, yang konon bisa mencapai 30%. Soalnya ada uang komisi yang harus disediakan kontraktor kepada pimpro untuk dibagi-bagikan ke atas, ke samping dan kepada seluruh pihak yang terkait. Termasuk pula di dalamnya para pegawai yang ikut mendengarkan proyek sudah berjalan di satuan kerjanya. Semua akan mendapatkan bagian amplop berisi uang hasil korupsi. 

Termasuk pula ada bagian bagi oknum anggota DPR/D  yang terkait sebagai “success fee”. Karena persetujuan merekalah proyek itu bisa untuk dilaksanakan. Tentu saja ada pula bagian untuk pejabat pada instansi yang memegang uangnya di  kantor-kantor bendahara negara. Semua kebagian, semua senang.

Anak saya bercerita, tentang temannya yang baru diangkat jadi pegawai negeri. Hari pertama bekerja dilaci mejanya sudah ada amplop berisi uang. Ia tanya kepada rekan sekerjanya, dan dijawab, ambil sajalah, jangan banyak tanya. Rupanya pada hari itu pimpro membagikan amplop uang komisi kepada setiap pegawai di kantor itu.

Indonesia dipenuhi pejabat yang melakukan tindak korupsi. Mereka menjadi makmur dan kaya. Punya rumah dan mobil mewah, yang tidak sebanding dengan besar gaji resmi yang mereka terima. Mereka ada yang menjadi pejabat tinggi, pimpinan lembaga tinggi negara, anggota DPR, para pimpinan di lingkup sipil, militer dan kepolisian dan juga para kepala daerah.  

Sebagian dari mereka ketiban sial, tertangkap dalam operasi KPK.  Sejak KPK dibentuk, sudah lebih separo kepala daerah, yaitu  para gubernur, bupati, walikota yang ditangkap KPK karena korupsi. Pada hal tugas mereka adalah melakukan pembangunan dan memakmurkan rakyatnya. Tapi uang untuk itu mereka korupsi, masuk ke kantong mereka melalui berbagai modus operandi.

Penyakit  korupsi itu akhirnya menular kepada rakyat biasa. Rakyat tidak lagi memandang kaya dengan korupsi sebagai kejahatan. Hampir semua orang tua  merasa “happy” kalau anaknya yang menjadi pegawai negeri, ditempatkan di bagian yang “basah”.  

Seorang teman saya yang berprofesi sebagai guru SD, dengan bangga bercerita anak sulungnya sudah bekerja di Kantor Imigrasi, kebetulan dapat tugas di bagian yang cukup basah, sehingga kehidupannya sudah lumayan. Sudah mampu beli rumah dan mobil.  Lain lagi dengan kenalan saya yang berprofesi sebagai tukang cukur. Ia mendapat menantu yang cukup kaya karena bekerja di Kantor Pajak. Rupanya sang menantu sangat baik hatinya.  Sekarang sang mertua disuruh berhenti menjadi tukar cukur, tetapi menjadi bos para tukang cukur. Sang menantu membangunkan untuk mertuanya sebuah barbershop yang mempekerjakan sejumlah tukang cukur.

Kembali ke Denmark, yang menarik lagi adalah bahwa semakin banyak warganya yang beralih menjadi atheis.  Mereka ramai-ramai meninggalkan agama Kristen, dan merasa terbebas  dari berbagai belenggu ajaran agama yang mereka rasakan mengikat. Kejujuran rupanya tidak ada hubungan dengan agama yang dianut. Jadi tidak ada korelasi,  misalnya, semakin taat kepada agama akan menjadikan seseorang semakin jujur. Mereka menjadi orang-orang jujur meski tidak lagi beragama.  

Di Indonesia yang berdasarkan Pancasila,  tidak ada orang yang berani mengaku atheis. Semua orang punya agama. Bahkan banyak sekali yang sangat rajin beribadah. Kalau mereka muslim, mereka taat shalat lima waktu. Karena mempunyai banyak uang mereka naik haji, atau minimal umrah ke tanah suci Mekkah. Namun ketaatan beribadah itu tidak menjadikan mereka menjadi orang yang jujur. Kalau ada peluang untuk melakukan korupsi, mereka akan melakukannya.  

Padahal, seharusnya ibadah yang mereka lakukan bisa fungsional untuk menjadikan mereka orang baik, orang yang jujur. Bukankah di dalam Al-Quran Allah berfirman, seharusnya shalat  (yang mereka lakukan) akan (fungsional) mencegah mereka dari  kemungkaran, di antaranya adalah perbuatan mencuri uang negara yang disebut korupsi itu.

Sekian dulu,  salam kompasina.

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun