Saya menikmati sarapan pagi sambil membaca artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Judulnya “Mengapa Denmark Menjadi Salah Satu Negara Termakmur di Dunia” Saya mendapatkan artikel itu dari sharing sebuah grup WA, di mana saya menjadi pesertanya.
Prof. Komaruddin Hidayat menceritakan bahwa Negara Denmark di Eropa paling utara yang dekat kutub adalah salah satu negara paling makmur di dunia. Negara ini bergantian menempati ranking satu, dengan Swedia, Swiss dan Norwegia, yang tergabung dengan Negara-negara Skandinavia. Hasil penelusurannya di Google, kemakmuran yang dicapai Denmark ternyata terutama disebabkan oleh faktor kejujuran.
Semua orang di negara itu, baik rakyat biasa maupun pejabat dan aparat keamanan adalah orang-orang jujur. Dengan kejujuran maka negara itu terbebas dari penyakit sosial akut yang bernama korupsi. Di negara itu hampir tidak ada korupsi.
Jadi tingkat kemakmuran suatu negara berbanding selaras dengan tingkat korupsi. Negara tetangga kita, Singapura dan Australia termasuk negara paling makmur di dunia. Di kedua negara itu, tingkat korupsinya juga sangat rendah karena rakyat dan pejabatnya adalah orang—orang jujur. Dalam artikel-artikel Pak Tjiptadinata Effendi, Kompasioner yang bermukim di Australia, beliau menulis jangan coba-coba menyuap polisi di Australia. Mereka tidak bisa disuap. Polisi akan menjebloskan orang yang mencoba menyuap ke dalam penjara.
Sebaliknya di Indonesia, polisi justru mencari penghasikan tambahan dari pungli. Akibatnya, sebagian besar sopir angkot tidak merasa perlu melengkapi diri dengan SIM. Lalu mereka parkir seenak perutnya. Maka terjadilah kesemrawutan lalu lintas. Jalanan menjadi macet di mana-mana.
Lalu banyak pelaku kriminal yang bisa bebas karena menyuap polisi. Bahkan di penjara, bisa-bisanya narapidana menempati kamar mewah yang lengkap dengan AC dan televisi karena menyuap sipir penjara. Prof. Deny Indrayana, mantan Wamenkum punya pengalaman menangkap narapidana kaya yang menempati ruang mewah tersebut.
Di negara kita tercinta ini, setiap proyek yang akan dilaksanakan hampir dipastikan ada potongannya, yang konon bisa mencapai 30%. Soalnya ada uang komisi yang harus disediakan kontraktor kepada pimpro untuk dibagi-bagikan ke atas, ke samping dan kepada seluruh pihak yang terkait. Termasuk pula di dalamnya para pegawai yang ikut mendengarkan proyek sudah berjalan di satuan kerjanya. Semua akan mendapatkan bagian amplop berisi uang hasil korupsi.
Termasuk pula ada bagian bagi oknum anggota DPR/D yang terkait sebagai “success fee”. Karena persetujuan merekalah proyek itu bisa untuk dilaksanakan. Tentu saja ada pula bagian untuk pejabat pada instansi yang memegang uangnya di kantor-kantor bendahara negara. Semua kebagian, semua senang.
Anak saya bercerita, tentang temannya yang baru diangkat jadi pegawai negeri. Hari pertama bekerja dilaci mejanya sudah ada amplop berisi uang. Ia tanya kepada rekan sekerjanya, dan dijawab, ambil sajalah, jangan banyak tanya. Rupanya pada hari itu pimpro membagikan amplop uang komisi kepada setiap pegawai di kantor itu.
Indonesia dipenuhi pejabat yang melakukan tindak korupsi. Mereka menjadi makmur dan kaya. Punya rumah dan mobil mewah, yang tidak sebanding dengan besar gaji resmi yang mereka terima. Mereka ada yang menjadi pejabat tinggi, pimpinan lembaga tinggi negara, anggota DPR, para pimpinan di lingkup sipil, militer dan kepolisian dan juga para kepala daerah.
Sebagian dari mereka ketiban sial, tertangkap dalam operasi KPK. Sejak KPK dibentuk, sudah lebih separo kepala daerah, yaitu para gubernur, bupati, walikota yang ditangkap KPK karena korupsi. Pada hal tugas mereka adalah melakukan pembangunan dan memakmurkan rakyatnya. Tapi uang untuk itu mereka korupsi, masuk ke kantong mereka melalui berbagai modus operandi.