Mohon tunggu...
Mitra Mitra
Mitra Mitra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sulawesi Tengah, selasa 13 April 2021

Sulawesi Tengah, selasa 13 April 2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Perang Kemerdekaan II

14 April 2021   11:44 Diperbarui: 14 April 2021   12:03 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENGARUH PERANG KEMERDEKAAN II  

TERHADAP PENGAKUAN KEDAULATAN RI TANGGAL 27 DECEMBER 1949 

 PENDAHULUAN

Agresi Millier Belanda II 

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda telah melakukan Agresi Militer yang ke II. Dengan penyerangan ter-hadap Maguwo dan pendudukan terhadap Yogyakarta, Belanda bermaksud menghancurkan dan meniadakan Republik Indonesia.

Dengan perbuatannya yang serba mendadak itu, jelas Belanda menginjak-injak perjanjian gencatan senjata yang telah disaksikan Komisi Tiga Negara.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai kehormatan, bangkit mempertahankan kemerdekaan dengan melaksanakan perang gerilya dan serangan umum terhadap kedudukan Belanda. Hal ini membuktikan bahwa Belanda tidak berhasil menumpas dan menghancurkan Republik Indonesia hasil Proklamasi Kemerdekaan

tanggal 17 Agustus 1945, meskipun para pemimpinnya yaitu Presiden, Wakil Presiden dan beberapa orang menterinya tertawan Belanda.

Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desem-ber 1948 yang mendapat reaksi dari bangsa Indonesia ini, tnalahan menjadi dorongan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk lebih cepat menjadi bangsa yang berdaulat, justru dengan peristiwa tersebut perhatian dunia menjadi lebih tertumpah terhadap Indonesia.

Bangsa-bangsa Asia yang disponsori oleh India bangkit menyelenggarakan Konferensi Asia di New Delhi yang menghasilkan resolusi tentang masalah Indonesia di PBB. Dengan resolusi PBB tentang tindakan Belanda yang melakukan agresi Militernya yang ke II tersebut, maka mulailah dirintis lagi perundingan-perundingan yang kita kenal dengan Roem-Royen, Konferensi Antar Indonesia dan KMB. Dan akhirnya melalui Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag maka pada tanggal 27 Desember 1949 terjadilah peristiwa penting bagi bangsa Indonesia, yaitu Belanda menandatangani Nota Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia.

Indonesia            yang bekerja                sama dengan Belanda. Selain itu juga bahwa pidato-pidato yang berupa hasutan sering disiarkan oleh radio RI. Itu semuanya menurut Belanda sangat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan gencatan senjata. Sedangkan menurut pihak RI bahwa tuduhan-tuduhan Belanda tersebut tidak berhubung an dengan pemerintah Republik Indonesia, karena hal ini dilakukan oleh orang-orang yang tak termasuk tentara RI dan mereka bertindak atas nama dan tanggungjawab

sendiri. (Agung, 1985: 85)

Pemerintah Belanda berpendapat bahwa selama pelanggaran-pelanggaran gencatan senjata terus berlangsung dan Pemerintah RI tak mampu untuk mengakhirinya, maka Belanda tak dapat menjamin berkesinambungan perundingan. (Agung, 1985: 90)

Alasan lain yang diajukan pemerintah Belanda atas ketidak puassan dengan persetujuan Renville ialah bahwa RI dianggap telah mengadakan suatu persetujuan atau hubungan dengan Uni Soviet. Menurutnya bahwa wakil RI di Praha yaitu Soeripno telah mengadakan suatu persetujuan konsuler dengan Uni Soviet yang isinya mengadakan tukar menukar pejabat-pejabat konsuler antara Hoskow - Yogya. Menurut Pemerintah Kerajaan Belanda ini merupakan pelanggaran kasar terhadap ayat 1 ke 6 asas tambahan persetujuan Renville. Padahal menurut Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan nota yang diserahkan oleh ketua delegasi Republik Indonesia yaitu Roep dan Sultan Yogya kepada delegasi Belanda tanggal 10 Juni 1948 yang isinya sama dengan jawaban tanggal 28 Mei 1948 dengan tambahan bahwa menurut RI tidak ada pelanggaran terhadap ayat 1 ke 16 tambahan persetujuan Renville. Karena asas ini tak dipandang suatu persetujuan, melainkan hanya dipandang sebagai suatu sarana untuk mencapai persetujuan politik. Republik Indonesia tidak bersedia melepaskan dan menghentikan hubungan-hubungan luar negerinya, sebelum tercapai persetujuan. 

Adapun isi nota tanggal 11 Desember 1948 menurut penjelasan Kolonel Nugroho Notosusanto sebagai berikut:

Dalam perundingan di Kali Urang ternyata RI tidak mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap negaranya, karena itu tidak dapat diharapkan kerja sama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran persetujuan gencatan senjata.

Pendirian terhadap Wakil Tinggi Mahkota, terutama mengenai kekuasaan terhadap tentara di masa peralihan, bertentangan dengan kedaulatan Belanda yang ditetapkan dalam bagian pertama pokok-pokok azasi persetujuan

Renville, yang berarti berlangsungnya keadaan yang tak dapat dipertahankan, dimana ada dua tentara yang saling berhadapan dibawah pimpinan yang terpisah.

persetujuan yang direncanakan KTN dan Amerika Serikat pada tanggal 10 September sebagai bahan perbandingan.

Pemerintah Belanda harus bertindak melaksanakan keputusan pembentukan Pemerintahan Interen yang direncanakan atas dasar persetujuan wakil-wakil daerah

vederal. (Notosusanto, 1985: 32)

Pengaruh Perang Kemerdekaan II

Perang Kemerdekaan II yang terjadi akibat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, ternyata telah membutuhkan Belanda dalam menghancurkan dan meniadakan Republik Indonesia hasil Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Kaum Kolonialis Belanda telah gagal dalam melaksanakan praktek kekerasan senjata, mereka tidak maMpu menghadapi perlawanan rakyat semesta di bawah bimbingan TNI. Terpaksa Belanda mencari jalan lain yaitu membuka kembali perundingan dengan Pemerintah Indonesia, setelah perbuatannya dikecam dunia internasional umumnya dan bangsa Asia Afrika pada khususnya.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, maka uluran tangan Belanda untuk mengajak berunding kita terima. Dengan diawali oleh persetujuan Roem-Royen, ternyata akhirnya kita dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pelik akibat Agresi Militer Belanda II dengan cukup berhasil.

Persetujuan Roem- Royen 

Pada tanggal 3 Maret 1949 Presiden Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO, dan beliau menegaskan tentang perlunya kedudukan Pemerintah RI di pulihkan sebagai syarat dilangsungkannya perundingan yang selaras dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. 

Pada tanggal 4 Maret 1949, Presiden Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota Belanda yang berisi penolakan menghadiri KMB, kecuali dengan syarat sebagai berikut:

pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan.

kedudukan dan kewajiban komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu pelaksanaan resolusi PBB tidak terganggu

(Kartodirjo, 1975: 65).

Dari pihak Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 23 Maret 1949 PBB mengirimkan kawat kepada Pemerintah Belanda, yang menyatakan bahwa Komisi PBB untuk Indonesia telah bekerja sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949.

Berkat kerja keras dari UNCI, akhirnya pada tanggal 6 Mei 1949 mulailah tampak tahap terakhir perundingan Roem Royen. Dan akhirnya tercapailah persetujuan yang kemudian terkenal dengan persetujuan RoenRoyem. Adapun isi dari perundingan Roen-Royen sebagaimana dikemukakan Drs. Sardjono dkk adalah sebagai berikut:

1.           Statemen Delegasi Republik Indonesia (Diucapkan oleh Mr. Roem)

Sebagai ketua delegasi Republik saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta, untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Janua-ri 1949 untuk memudahkan tercapainya:

a.           Pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.

b.           Kerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

c.            Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.

2.           Statement Delegasi Belanda (Diucapkan oleh

Ban-Royen)

a.           Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubung dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Moh. Roem ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. Delegasi Belanda selanjutnya menyetujui pembentukan satu panitia bersama atau di bawah perlindungan UNCA dengan maksud:

1)           Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. 

2)           Mempelajari dan memberi nasihat tentang tindakan tindakan yang diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

Konferensi Antar Indonesia:

Pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari tempat pengasingannya di Bangka (Mulyana, 1969: 258). Setelah para Pemimpin Republik berkumpul kembali di Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diadakanlah Sidang Kabinet yang perta-ma. Pada kesempatan tersebut Mr. Spafrudin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden yaitu Moh. Hatta. Dan dalam Sidang Kabinet itu, diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan Koordinator Keamanan. (Notosusanto: 1985: 43)

Sejak timbul Perang Kemerdekaan II tanggal 19 Desember 1948, kehidupan politik di Yogyakarta telah beralih ke Wilayah di luar Republik. Komisi BFO sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan mebahas penetapan Pemerintah Belanda dalam hal pembentukan

Pemerintah Federal Nasional untuk seluruh Indonesia dalam masa peralihan sebelum terbentuk Indonesia Serikat. Komisi BFO tersebut telah mengadakan hubungan dengan para pemimpin Indonesia yang ditahan di Prapat maupun di Bangka.

Adapun isi Konperensi antar Indonesia tersebut

1.           Negara Indonesia Serikat disetujui dengan na-ma Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasar-kan demokrasi dan

Federalisme.

2.           RIS akan dikepalai seorang Presiden dibantu oleh Menteri-menteri yang bertanggungjawab kepada Presiden.

3.           Akan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat

Sementara.

Di bidang Militer juga telah tercapai persetujuan:

1.           Angkatan Perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional. Presiden RIS adalah Panglima ter-tinggi Angkatan Perang.

2.           Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti Angkatan Perang RI (TNI), bersama-sama dengan bangsa Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB dan Territoriale Bataljons.

3.           Bada permulaan RIS,' Menteri Pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar

Konferensi Meja Bundar

Pada tanggal 3 Agustus 1949, Menteri Seberang Lautan Belanda yaitu Van Marseven berpidato di Majelis Rendah Belanda. Di sana ia memaparkan bahwa Konferensi pendahuluan yang dilaksanakan di Jakarta berhasil dengan baik pada tanggal 1 Agustus 1949. Tentang ketiga pasal acara Konferensi itu yakni tentang kembalinya dan dipulihkannya kekuasaan Pemerintah Republik di Yogyakarta, perintah penghentian tembak menembak untuk mengakhiri permusuhan serta persiapan-persiapan dalam menentukan waktu KMB telah tercapai kata sepakat sepenuhnya. Demikian pula tentang syarat-syarat untuk mengikuti dan melaksanakan KMB telah mencapai kata sepakat pula Dokumen-dokumen mengenai. diakhirinya permusuhan telah di sahkan oleh Pemerintah Republik dan pada tanggal 3 Agustus telah diumumkan serentak di Yogyakarta. (Agung, 1985: 287).

Delegasi dari tiap-tiap negara telah bersiap-siap untuk pergi ke Den Haag. Untuk Delegasi Indonesia telah tersusun dengan baik pada tanggal 4 Agustus 1949. Delegasi Indonesia terdiri dari Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr Mr. Supomo, Dr. Leimena, Mr.

Ali Sostromijoyo, In Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Sujono Hadinoto, Dr. Sumitro, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel Simatupang, Mr. Sumardi. (Agung, 1985: 287).

Pada tanggal 15 Agustus 19^-9 semua perutusan telah hadir di Den Haag. Meneka diberi tempat menginap sesuai dengan Hotelhotel yang ada yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah Belanda. Komisi PBB untuk Indonesia pun tidak pasif, sambil menunggu pembukaan KMB maka para ketua dan Wakil Ketua Delegasi Republik, Belanda dan pertemuan musyawarah Federal telah mengadakan pembicaraan yang tidak resrai dengan ketiga Komisi PBB untuk Indonesia. Hal itu diantaranya membicarakan masalah

Organisasi dan Pimpinan Konferensi Meja Bundar yang akan dimulai tangga123 Agustus 1949.

Pada tanggal 23 Agustus 1949 Konferensi Meja Bundar dimulai di Den Haag. Sidang pembukaan resmi KMB diakhiri dengan menerima baik peraturan tata tertib dan pemilihan seorang ketua, wakil ketua dan Sekretaris salah Irian Barat itu sebetulnya sebelum maju ke KMB juga sudah dipersoalkan. Mulai dari Konferensi Malino sampai ke Konferensi Den Pasar, sudah ada tanda-tanda dari pihak Belanda bahwa mereka hendak memisahkan Irian Barat dari wilayah Negara Indonesia bagian Timur.

Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia .

Pada tanggal 19 Desember 1949, rencana Undang-Undang mengenai pengakuan kedaulatan dibicarakan dalam Sidang Majelis Tinggi Belanda. Dalam kesempatan ini tidak lagi terjadi perdebatan-perdebatan yang melahirkan pandangan-pandangan baru. Praksi-praksi yang ada di Majelis Rendah memberikan suara setuju dan suara tidak setuju tetap mempertahankan pendirian mereka.

Pada tanggal 21 Desember 1949 diadakan pemungutan suara dan ternyata hasil pemungutan suara tersebut yang setuju ada 34 orang dan yang tidak setuju ada 15 orang. Menurut hasil pemungutan suara tersebut maka jelaslah bahwa Undang-Undang pengakuan itu oleh Majelis Tinggi, maka Undang-Undang tersebut pada hari itu juga disahkan oleh Baginda Ratu, agar mulai berlaku dengan segera. Dengan peristiwa tersebut, maka Pemerintah Belanda dapat mengakui kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat, berdasarkan apa-apa yang telah tercapai dan Konperensi Meja Bundar (Agung, 1985: 320).

Upacara bersejarah bagi bangsa Indonesia maupun bagi Belanda terjadi pada tanggal 27 Desember 1949. Dimana pada tanggal tersebut berlangsung upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan yang dilakukan secara bersamaan di Indonesia maupun di negeri Belanda. (Sudharmono, 1975: 257) .

Di Nederland upacara penandatanganan akte pengakuan kedaulatan itu dilaksanakan di ruang tahta Amsterdam Ratu Yuliyana Perdana Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan A. M. J. A. Sassen dan Ketua Delegasi Republik Indonesia Serikat Drs. Moh. Hatta bersama-sama membubuhkan tanda tangannya pada Ate "Pengakuan Kedaulatan".

Pada      waktu   yang      sama                Sri          Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A. H. J. Lopink dalam suatu upacara, bersama-sama membubuhkan tanda tangannya pada naskah "Pengakuan Kedaulatan". Maka dengan berlangsungnya peristiwa tersebut, barulah secara pormil Belanda mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan penuh negara Indonesia diseluruh bekas Hindia Belanda kecuali Irian Barat. (Kartodirdjo, dkk., 1975: 72)

Pengakuan Kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat itu sesungguhnya merupakan pengaruh dari Perang Kemerdekaan II yang terjadi akibat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1949.

Peristiwa penandatanganan "Naskah Pengakuan Kedaulatan" tanggal 27 Desember 1949 ini, mengakhiri suatu periode dalam babakan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka berakhir pulalah periode perjuangan bersenjata untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan yang penuh dengan penderitaan dan pengorbanan yang telah menelan sekian banyak korban jiwa dan harta rakyat Indonesia.

Perjuangan         dalam                rangka Perang Kemerdekaan II ini telah berhasil. Kedaulatan Negara Republik Indonesia berkat perjuangan

 DAFTAR PUSTAKA

Bandung: Angkasa.             

Abdul Haris Nasution. 1971. Sekitar Perang  Kemerdekaan Jilid IX. Bandung: Disjarah  

AD dan Angkasa.  Adam Malik. 1978. Mengabdi Republik, Jilid II,  

              Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.                 

Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat.                         

            1972. Cuplikan Sejarah Perjuangan                     

TNI-Angkatan Darat. Jakarta" Disejarah TNI-AD  dan Fa. Mahjuma.  Dinas Sejarah Militer Kodatan VI Siliwangi.  1968. Siliwangi dari Masa ke Masa.  

Jakarta.  Isjwara, F. 1974. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta:  

          Binacipta.                        

Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Renville.  Jakarta: Departemen Pendidikan dan  

Kebudayaan RI.  Mohamad Roem. 1977. Bunga Rampai dari  

         Sejarah. Jilid IL Jakarta: Bulan Bintang.                    

Mukayat. 1985. Haji Agus Salim The Grand Old                 

Man of Indonesia. Jakarta: Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek  

          Terpadu.                           

Nugroho Notosusanto. 1985. Ikhtisar Sejarah RI  1945 - Sekarang. Jakarta: Departemen  

            Pertahanan Keamanan, Pussejarah ABRI.                  

Nugroho Notosusanto, dkk. 1986. Sejarah  Nasional. Jilid III Untuk SMA. Jakarta:  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,  

Balai Pustaka.  Nalenan. 1981. Arnold Mononutu Potret  

         Seorang Patriot. Jakarta: Gunung Agung.                   

Purnawan Tjondronegoro. 1986 Merdeka  Tanahku Merdeka Negeriku. Jakarta:  

 

Akses internet : https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/download/1101/pdf

https://journal.uwgm.ac.id/index.php/yuriska/article/download/76/71

Jurnal: Historia Jurnal Pendidikan dan penelitian sejarah, volume11, no 2(april 2019) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun