Mohon tunggu...
Khoir Al-faroli
Khoir Al-faroli Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Anggota LPM Benteng Kampus, \r\nSekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penghujung Tahun

3 Juli 2015   06:26 Diperbarui: 3 Juli 2015   06:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya : Khoir Al faroli

  

            Sepertinya matahari sudah mulai tinggi. Sedikit cahanya masuk ke celah diding kamarku. Kurebahkan tubuhku. Mulai bangun dan merapikan rambutku dengan tangan. Keluar dari kamar menuju tempat setiap hari kumelamun.

            Duduk di kursi. Di teras rumah. Dengan memandangi lalu lalang warga yang memulai aktifitasnya. Terlihat di kejauhan seorang berdasi dengan sedikit warna putih di rambutnya. Nampaknya ia terburu-buru. Dengan membawa tas berwarna hitam ia masuk ke dalam mobil dan langsung pergi. Nampaknya mobilnya baru. Istrinya cantik dan rumahnya pun terlihat megah. “Hmmm. Kapan saya bisa seperti itu?” gumamku dalam hati.

            Aku masih terdiam. Apa yang harus aku lakukan hari ini. Setiap hari hanya melamun dan melamun. Tak ada kegiatan yang pasti setiap hari kulakukan. Rasanya tangan dan fikiran ini sangat sulit untuk diajak beraktifitas. Canggung untuk memulai sesuatu yang menurutku akan berakhir sia-sia.

            Ah, mungkin memang takdirku seperti ini. Tak ada pilihan lagi untuk melawannya. Merasa sepi. Nampaknya aku memang perlu jalan-jalan hari ini. Tak usah jauh-jauh. Keliling kampung cukuplah. Selain tak mengeluarkan biaya. Dengan berjalan kaki akan membuat badan menjadi sehat. Ya walaupun hari sudah tidak pagi. Fikiran ini nampaknya juga membutuhkan kesegaran.

            Dengan sedikit menggerak-gerakkan tangan dan lari-lari kecil aku menyusuri jalan di kampungku. Hari ini terlihat agak sepi. Semua warga nampaknya sudah menyibukkan diri di pagi hari.

            Matahari yang semakin tinggi membuatku cepat lelah. Keringat sedikit menetes dari daguku. Aku berhenti di pos kampling. Terlihat ada koran tergeletak di sudut kursi. Aku pun mengambilnya. Tanggalnya sudah lewat. Ya walaupun koran kemaren tak apalah. Mungkin saja ada informasi penting yang saya perlukan.

            Kubaca bolak balik sampai iklan-iklan pun tak terlewatkan. Dan bacaanku semakin serius di halaman lowongan kerja. Kuambil bulpoin yang ada di atas buku dekat meja pos kampling. Beberapa kolom aku tandai. Setelah keluar dari kampus beberapa bulan lalu dengan gelar yang aku sandang. Tak satu pun tempat kerja yang aku jajaki. Aku takut. Aku rasa diri ini tak punya keahlian apapun.        

            Hari ini aku berniat merubah kehidupanku. Aku harus bekerja. Aku harus membuktikan itu. Kemalasanku dari kecil memang sudah menjalar sampai umurku tak remaja lagi. Aku tak mau menyalahkan orang tuaku yang dulu selalu memanjakanku. Diriku terlalu lemah nampaknya tak pantas disebut seorang laki-laki.

            Sepertinya hari sudah siang. Aku putuskan untuk kembali ke kontrakanku. Sebelum aku sampai kontrakan. Aku berniat mampir ke toko untuk membeli folio dan map sebagai syarat melamar kerja. Aku bawa koran itu dan berjalan pulang.

            Setelah sampai depan toko. Niatku menjadi canggung. Selain aku tak bawa uang. Sepertinya niatku akan gagal. Aku takut bila nantinya usahaku sia-sia. Aku lihat toko itu. Tinggal beberapa langkah lagi dan hanya berkata beli folio dan map. Tapi bagaimana kalau penjual itu tidak memberikan hutangan kepadaku.

            Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang. Nanti setelah pulang aku akan kembali ke toko itu dan membawa uang untuk membeli.

***

            Setelah sampai di rumah. Dompet aku masukkan ke dalam kantong celana dan berniat kembali ke toko itu. Langkah demi langkah. Aku pun berhenti di teras rumah. Rasa canggung kembali menjeratku. Kubalikkan badan dan kembali duduk di kursi kesayangannku.

            Berjam-jam aku hanya terdiam. Melihat ke kanan dan ke kiri. Suara adzan terdengar. Masih saja aku duduk dan memikirkan sesuatu yang tak jelas arahnya.

            Beberapa tahun ilmu yang kupelajari di kampus. Nampaknya tak berhasil aku terima. Kelulusan pun membutuhkan waktu yang melebihi batas kewajaran. Bukan karena aku betah di kampus. Tapi kemalasan dan rasa canggunggku seperti menyetir laju hidupku. Jangankan betah di kampus. Aku hanya berangkat ke kampus jika ada jam kuliyah. Dan langsung pulang ke kontrakan jika jam kuliyah selesai. Biasanya aku habiskan waktuku dengan main game, nonton TV dan membaca status-status orang dalam sosmed.

            Sewaktu masih kuliyah memang kehidupanku terasa kecukupan. Laptop, TV, Smartphone, motor. Fasilitas itu semua aku punya. Dan kini, hanya telepon murahan yang hanya bisa digunakan telepon dan sms yang tersisa. Beberapa bulan setelah aku lulus orang tuaku memang tak pernah lagi kirim uang. Akibatnya apapun yang aku punya sedikit demi sedikit kujual untuk memenuhi kebutuhan.

            Nampaknya adzan asar mulai terdengar. Selain aku orangnya pemalas dalam menjalankan rencana. Aku juga orang yang malas beribadah. “Ah, apa nanti jika aku beribadah bisa langsung kaya.” Gumamku dalam hati. Beberapa tahun ini aku memang sudah berhenti menjalankan perintah agama. Entah orang mau bilang apa. Diriku ya diriku. Walaupun aku sudah tidak pernah beribadah, apa warga akan mengusirku. Nampaknya itu tidak akan terjadi.

            Rencana membeli folio dan map leyap sudah. Berjam-jam dari awal niat ke toko itu. Tak berhasil aku kerjakan.

            Nampaknya hari sudah semakin sore. Senja sebentar lagi akan datang. Aku kembali masuk dalam rumah. “Apa yang akan aku lakukan setelah di dalam rumah?” Beberapa menit aku berdiri dan memikirkan hal yang akan aku lakukan. Bau keringat terasa. “Hahh. Nampaknya aku perlu membersihkan badan.” Aku pun langsung mandi.           

Kembali ke tempat tidurku. Tak ada kegiatan lain yang aku lakukan. Setiap hari kehidupanku berputar seperti ini. Merasa bosan tentu ada. Namun, kebosananku masih kalah dengan rasa malasku. Handphone aku pegang. Kubuka tutup kuncinya. Aku pilih game dalam menu hp. Aku mainkan game klasik. Sudah tak terhitung berapa kali aku menyelesaikannya. Nampaknya hari sudah begitu malam. Kututup hpku dan begitu pula mataku.

***

            Pagi hari. Terdengar suara ayam berkokok. Aku segera keluar dan duduk di kursi kesayangan. Kulihat sana sini. Seperti biasa warga sekitar nampaknya mulai sibuk dengan aktifitasnya. Rasa iri mulai merasuk ke dalam hati. “Apa aku akan hidup seperti ini sampai tua?” Batinku. Begitu pun keuangan mulai menipis. Sudah tak ada barang lagi yang bisa dijual. “Sepertinya niatku kemaren akan aku jalankan hari ini.” Beberapa menit masih berfikir-fikir. Aku segera bangkit dan mengambil dompet. “Oke. Hari ini aku harus menjalankan rencana kemaren.”

            Berjalan menuju toko. Setelah sampai di depan toko. Rasa canggung kembali menjerat. Berhenti di depan toko. Semangat mulai melemah. “Apa aku pulang saja?” aku kembali menggagalkan niatku. Dua langkah pulang aku berhenti. Berfikir. Terus berfikir. “Ayo... Semangat.” Gumamku dalam hati.

            Aku telah berhasil membeli beberapa map dan kertas folio. Aku mulai menulis surat lamaran. Aku persiapkan semua yang aku butuhkan. Setelah itu, aku pun mandi dan langsung pergi menuju kantor yang alamatnya dijelasakan dalam koran.

            Setelah semua siap. Aku langsung pergi menuju kantor. Naik angkotan beberapa menit dan akhirnya sampai di depan kantor. Berhenti beberapa menit. Aku lihat gedung kantor itu. “Apa aku akan diterima? Bagaimana jika nanti ditolak?”

            Aku kembali menggagalkan rencanaku. Berjalan menuju warung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor. “Buk, es teh satu.” Terlihat lalu lalang orang berjalan. Mobil. Motor. Sepertinya mereka sibuk dengan aktifitasanya. “Kapan aku bisa seperti itu?” aku pun merasa sepi dalam keramaian.

            Aku lihat kakek-kakek makan dengan lahab di sampingku. “Lapar Kek?” tanyaku. “Iya Nak, seharian keliling kota rasanya capek sekali.” Jawab kakek itu. “Nampaknya saya kalah semangat dengannya.”

            “Kerja di mana Nak?” Ia bertanya dan melihat wajahku yang melamun. “Aku belum bekerja Kek.” Dengan sedikit kaget aku menjawab.

“Dari kapan Kamu menganggur?”

“Dari lulus kuliyah aku belum pernah bekerja Kek. Dan hari ini berniat melamar kerja. Tapi aku tak yakin akan diterima” Jawabku agak malu.

            “Sholatlah dulu Nak! Adzan dzuhur sudah terdengar. Minta pertolongan kepada Allah. Luruskan niatmu. Yakinkan dirimu pasti bisa.” Aku pun terdiam mendengar perkataan Kakek ini.

“Tiga hari lagi tahun akan berganti. Apa kau akan menikmati hidupmu sepereti tahun-tahun kemaren?”

Aku masih saja terdiam.

            Beberapa menit kemudian kakek itu bangkit dan berkata. “Yakinlah Nak!” dengan membawa kantong yang berisikan barang bekas. Ia pergi berjalan menjauh menuju masjid yang letaknya tak jauh dari gedung kantor di depanku.

            Merenung. Mencerna perkataan kakek itu. “Nampaknya aku perlu melakukan apa yang dikatakan kakek tadi.” Aku mulai bangkit. Membayar minuman yang aku beli dan berjalan menuju masjid.

            Sampai di depan masjid. Rasa canggung kembali menghentikan langkahku. “Ah, apa nanti nasibku akan berubah?” beberapa menit terdiam. “Aku harus bisa merubah kehidupanku.”

            Dengan sedikit memaksakan langkah kaki, aku berjalan menuju masjid. Wudlu. Sholat dan tak lupa berdo’a di akhir ibadahku. “Seperti ada yang berbeda hidupku hari ini.”

            Keluar. Duduk di serambi. Melihat-lihat gedung yang berjejeran megah di depan masjid. Penglihatanku terhenti beberapa menit di gedung yang tadinya aku ingin datangi. “Aku harus diterima di kantor itu. Aku harus yakin.”

            Kehidupanku di  tahun yang akan datang harus berbeda dengan sebelumnya. Tahun ini akan menjadi kenangan yang perlu ditutup dan perlu diganti dengan kehidupan baru. Aku harus bekerja. Aku harus pindah dari kontrakanku dulu. Aku perlu suasana baru. Aku harus melupakan semua kegitan burukku itu.

            “Selamat siang Pak.” Aku masuk ke dalam ruangan kantor.

            “Ya siang. Silahkan duduk. Ada perlu apa?” Aku pun menjelaskan kedatanganku.

Dan mulai detik ini. Saya hapuskan yang namanya rasa malas dan canggung dalam diriku. Aku pun sadar bahwa kehidupan memanglah membutuhkan perubahan. Perubahan itu membutuhkan keyakinan dan yang pasti berdo’a menjadi kunci keberhasilan.

 

Semarang, 20 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun