Aku terbangun, membuka mataku. Bau-bauan obat terhirup oleh nafasku. Rasa sakit dan denyutan yang tak karuan berada di seluruh bagian tubuhku. Bertanya pada diriku tentan apa yang terjadi sebelumnya? Mengapa aku bisa berada di dalam rumah sakit? Kepalaku yang diperbankan semakin berdenyut nyeri karna berusaha mengingat kejadian kemarin, atau pun beberapa hari yang lalu. Namun, nihil, aku tak bisa mngingatnya bagaikn terkena dimensia.
“Dian, kamu udah sembuh, Nak?” tanya seseorang kepadaku. Aku tidak melihat wajahnya, aku hanya mendengar suaranya yng terasa familiar di telinga ku. Ingin ku jawab pertanyaan itu, tapi seluruh badan terasa lemas, jadi bibir pun tak mampu untuk bergerak menjawab pertanyaan itu.
“Dian, saya sangat bersyukur kamu dapat selamat dari hal kemarin, Nak.” Celetuk seorang itu. Apa yang dimaksud oleh orang itu? Kejadian? Kejadian apa? Aku bertanya-tanya di dalam kepalaku. “Kau pasti kebingunan, Dian. Kasihan sekali. Biar saya bantu untuk mengingatkan Dian kembali akan apa yang terjadi pada saat itu.” Tutur orang itu. Tanpa aba-aba yang jelas, ia, sosok orang itu menutup paksa mataku menggunakan tangannya. Seketika semuanya gelap.
***
Terbuka kembali mataku tanpa seizinku dengan jelas dalam keadaan terduduk di ruang yang tampaknya ini adalah ruang kerja, tunggu, bukannya aku ada di rumah sakit? Dan ku baru saja berumur 16 tahun, mengapa memakai baju kerja bak guru ini dan berada di sini?
“Hei! Kau ga kerja? Ga masuk kelas ngajarin anak-anak? Kasihan mereka udah nunggu, tuh” tegur seorang guru kepadaku menyuruhku untuk masuk kelas pagi. Aku tiba-tiba menjadi guru. Ah, mungkin ini adalah sebuah mimpi. Batinku.
“Eh, Ibu, Iya, ini mau masuk untuk ngajar, kok. Hanya ketiduran bentar, kecapean, maklum, punya anak.” Ngawurku. “Anak? Kamu kan masih single.”
“Maksudnya ponakan, bu. Hehe,” jawabku singkat dan langsung menuju kelas untuk diajarkan anak-anak murid di sekolah ini. Mampus, aku mengajar di kelas yang terbuang, alias anak muridnya nakal-nakal semua. Tunggu, ini bukannya sekolahku, dan ini kelasku sepertinya?
***
Aku memasuki kelas dengan sopan. “Selamat pagi, anak-anak.” Sapaku kepda mereka. Acuh tak acuh sikap mereka kepadaku, malah asyik bermain kartu. “Wir, jadi gini, Wir. Perhatikan dulu ga sih. Ada guru ni bro di depan.” Aku berhasil menarik perhatian mereka untuk tertuju kepadaku dengan bahasa gaul. Berarti aku harus mengajar sesuai dengan tren, agar mudah diajari.
“Gaul juga nih Ibu-Ibu,” shit, ia memanggilku ibu-ibu. “Kalian mau ngapain hari ini? Hari ini Ibu beru kalian free time, but jangan terlalu bebas. Kalau mau bermain, Ibu mau join juga.” Kataku. Jujur aku tak tahu bagaimana cara mengajar dengan baik dan benar. Jadi, aku ajak mereka untuk bermain-main saja. Hal yang paling ku sukai, yaitu bermain ketika guru menjelaskan. Tapi rasanya sakit hati juga, ya.
“Perhatikan ke papan dulu sebelum itu!” pinta ku kepada mereka. Yah, mereka bertindak persis apa yang aku lakukan ketika di kelas yang ada gurunya. Sakit, sih.
Mereka asyik sendiri. Tanpa memperdulikan aku sebagai guru di sini. Apa boleh buat, aku hanya bisa memandang dan mngawasi mereka, kalau terjadi apa-apa pasti ku yang kena, ini. Rumit ya, anak muda zaman sekarang. Susah di atur. Eh, tap akukan anak muda seumuran mereka juga. Ah, sudahlah.
***
Ini sudah hari ke 15 aku bekerja sebagai guru. Aku masih berharap ini adalah mimpi, tapi kenapa lama sekali bangunnya? Mengajar di klas yang sama setiap hari kecuali minggu membuatku muak. Rasanya seperti membuang-buang tenaga, datang ke sana tapi tak diperhatikan. Ada yang bermain kartu, handphone, nongki di warkop depan sekolah, bolos. Rasanya sangat tak enak. Ternyata ini rasanya menjadi guru yang mengajar di kelas ku. Menghadapi kelakuan ku yang seperti muridku di dalam mimpi ini. Aku paham sekarang rasanya bagaimana.
Hari ini, murid-muridku berkelakuan aneh. Bersikap baik seketika. Mau mendengarkan penjelasan materi yang aku paparkan kpada mereka. Sesekali aku bersikap gaul karna aku senang akhirnya aku dihargai. Namun, ada satu murid yang masih nakal. Seorang gadis yang nakal, berwajah mirip dengan ku versi muda, bukan versi gurunya.
Dia, gadis nakal itu pergi secara tiba-tiba tanpa brpamitan dengan ku terlebih dahulu. Tak menghraukan anak itu, aku tetap pada murid yang menghargaiku, walaupun hanya sehari saja. Dan tak lama setelah itu, asap hitan muncul secara tiba-tiba. Mmebuat orang yang berada di dalam kelas batuk-batuk. Panik. Bel peringatan yang bersuara secara tiba-tiba membuat seisi klas panik tak karuan. Api yang muncul semakin membesar, membuat serpihn-serpihan bangunan yang runtuh, membuat kami terjebak dan mengalami sesak nafas dan cidera. Kepalaku nyeri berdenyut berlebihan.
Benar. Gadis nakal itu. Apakah dia dalangnya? Aku tak bisa bersalah prasangka kepada muridku. Aku hanya bisa berusaha melindungi muridku dari runtuhan bangunan. Inikah definisi guru sebagai pehlawan tanpa tanda jasa? Hebat. Air mataku secara tiba-tiba jatuh tak terkenadli dan membasahi pipiku. Ku harap ini akan berakhir dan mendapat pertolongan, agar tidak ada korban jwa di kelas ini. Dihantui oleh ketakutan. Nafas yang sangat sesak, sepertinya ini adalah akhir dari mimpiku. Sampai aku tak sanggup menahannya lagi dan menutup mata tanda tiadanya diriku karna kebarakan. Nafas yang sudah habis, berakhir di sini, dengan keadaan diriku yang sedang melindungi muridku.
***
Aku membuka mata lagi, dalam keadaan berdiri dengan mata yang tertuju ke sebuah peristiwa yang baru saja aku rasakan tadi. Aku melihat kelas yang terbakar, dengan seorang guru yang aku kenal sedang melindungi muridnya. Namun, buruknya mereka semua tiada. Kelasku, temanku, bahkan guruku telah tiada. Ingatan tentang waktu itu terulang kembali. Ya, saat itu aku lah gadis nakal itu. Karna bolos, hanya aku yang selamat. Guru yang sagat sabar dan baik dalam mengajari aku telah tiada. Andai aku tak bolos.
Aku sudah merasakan yang namanya menjadi guru. Hati tersayat dalam, pedih rasanya melihat seorang guru dengan keadaan miris nan mengharukan di depan. Tak sanggup menahan bulir-bulir air mata ini, jatuh dengan lancar. Tak berhenti meraung-raung menyebut nama guru itu sembari meminta maaf walau itu memng sudah sangat telat. Andai aku tak bolos saat itu.
***
“Sudah ingat, Nak Dian?” tanya seseorang yang menghancurkan dan membangunkan aku dari mimpiku yang sngat terasa nyata dalam ingatanku. Aku memberanikan diri untuk mengarahkan mataku manatap ke arah orang yang sedari tadi bebicara itu. Ku amati wajahnya dengan perlahan. Wajahnya yang sejuk tuk dipandang. Bu Riska, Guru yang berusaha mati-matian melindungi muridnya dari kebaraan itu hingga menyebabkan nyawa Ia juga hilang.
Perlahan air mataku berjatuhan. Menatap penuh makna ke arah sosok guru yang sebenarnya telah tiada. Anehnya, badanku merasakan nyata akan kehadirannya, bukan halusinasi semata.
Jika aku mampu tuk mebuka mulut dan bersuara, aku akan mengatakan sesuatu kepada sosok itu. Ibu, maafkan aku, muridmu yang amat sangat nakal, bahkan aku jarang memperhatikan penjelasanmu, tak jarang aku mengejek dan menghinamu, tak jarang juga aku bolos sampai di mana di saat aku bolos untuk yang ke sekian kalinya, ketika aku kembali ke kelas dengan perasaan senang, aku melihat kejadian yang sangat tidak terbayangkan olehku bahwa ini akan terjadi. Bahkan, saat itu sebenarnya kau bisa saja melarikan diri, Bu. Aku sudah merasakannya, Bu. Sakit ternyata menjadi Ibu Riska. Tapi Ibu selalu sabar, terima kasih atas jasa mu. Dian janji, dian bakalan jadi guru yang sama seperti Ibu, sabar dan perhatia, yang akan siap sedia ketika ada musibah, karna guru, guru ada pahlawan tanpa tanda jasa, seperti Ibu Riska yang siap melindungi anak muridmu dari musibah, ini janji Dian. Sekali lagi terima kasih, Ibu Riska. Batinku.
Aku hanya bisa membatin sembari menatap sosok guru itu, harap ia mengerti apa yang aku isyaratkan dari tatapanku. Hingga di akhir kalimat yang aku tuturkan dalam batin, aku menutup mata, air mata semakin berjatuhan, bantalku semakin basah dan tidak nyaman tuk ditiduri. Aku menutup mata agak lama. Sebuah tangan mengusap lembut kepalaku sembari membisikan kalimat kepadaku. “Iya, Dian. Ibu senang liat kamu berubah, andai kata Ibu masih ada, Ibu ingin memeluk kamu sambil mengatakan bahwa kamu akan baik-baik saja. Ingat selalu dengan Ibu, janji Dian harus ditepati, ya. Ibu tunggu. Maaf karna Ibu telah meninggalkan kamu dan tidak bisa melndungi dan menyelamatkan temanmu yang lain. Maaf.” Tuturnya dengan suaranya yang sangat lembut, dengan usapannya di kepala ku membuatku tertidur.
Di saat aku sadar bahwa aku telah ketiduran, aku terbangun dengan perasaan yang tidak enak di rasa. Sosok itu hilang. Aku ingin kehadirannya datang kembali, karna aku tidak memiliki siapa-siapa. Selamat tinggal tuk Ibu Riska. Aku akan berjuang untuk menepati janjiku, janji Dian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H