“Sudah ingat, Nak Dian?” tanya seseorang yang menghancurkan dan membangunkan aku dari mimpiku yang sngat terasa nyata dalam ingatanku. Aku memberanikan diri untuk mengarahkan mataku manatap ke arah orang yang sedari tadi bebicara itu. Ku amati wajahnya dengan perlahan. Wajahnya yang sejuk tuk dipandang. Bu Riska, Guru yang berusaha mati-matian melindungi muridnya dari kebaraan itu hingga menyebabkan nyawa Ia juga hilang.
Perlahan air mataku berjatuhan. Menatap penuh makna ke arah sosok guru yang sebenarnya telah tiada. Anehnya, badanku merasakan nyata akan kehadirannya, bukan halusinasi semata.
Jika aku mampu tuk mebuka mulut dan bersuara, aku akan mengatakan sesuatu kepada sosok itu. Ibu, maafkan aku, muridmu yang amat sangat nakal, bahkan aku jarang memperhatikan penjelasanmu, tak jarang aku mengejek dan menghinamu, tak jarang juga aku bolos sampai di mana di saat aku bolos untuk yang ke sekian kalinya, ketika aku kembali ke kelas dengan perasaan senang, aku melihat kejadian yang sangat tidak terbayangkan olehku bahwa ini akan terjadi. Bahkan, saat itu sebenarnya kau bisa saja melarikan diri, Bu. Aku sudah merasakannya, Bu. Sakit ternyata menjadi Ibu Riska. Tapi Ibu selalu sabar, terima kasih atas jasa mu. Dian janji, dian bakalan jadi guru yang sama seperti Ibu, sabar dan perhatia, yang akan siap sedia ketika ada musibah, karna guru, guru ada pahlawan tanpa tanda jasa, seperti Ibu Riska yang siap melindungi anak muridmu dari musibah, ini janji Dian. Sekali lagi terima kasih, Ibu Riska. Batinku.
Aku hanya bisa membatin sembari menatap sosok guru itu, harap ia mengerti apa yang aku isyaratkan dari tatapanku. Hingga di akhir kalimat yang aku tuturkan dalam batin, aku menutup mata, air mata semakin berjatuhan, bantalku semakin basah dan tidak nyaman tuk ditiduri. Aku menutup mata agak lama. Sebuah tangan mengusap lembut kepalaku sembari membisikan kalimat kepadaku. “Iya, Dian. Ibu senang liat kamu berubah, andai kata Ibu masih ada, Ibu ingin memeluk kamu sambil mengatakan bahwa kamu akan baik-baik saja. Ingat selalu dengan Ibu, janji Dian harus ditepati, ya. Ibu tunggu. Maaf karna Ibu telah meninggalkan kamu dan tidak bisa melndungi dan menyelamatkan temanmu yang lain. Maaf.” Tuturnya dengan suaranya yang sangat lembut, dengan usapannya di kepala ku membuatku tertidur.
Di saat aku sadar bahwa aku telah ketiduran, aku terbangun dengan perasaan yang tidak enak di rasa. Sosok itu hilang. Aku ingin kehadirannya datang kembali, karna aku tidak memiliki siapa-siapa. Selamat tinggal tuk Ibu Riska. Aku akan berjuang untuk menepati janjiku, janji Dian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H