"Ah, iya, saya baik-baik saja, kok. Maaf, ya, Mba." Jawabku dengan penuh rasa malu. Kini aku berada kembali pada kenyataan yang sangat menyakitkan. Kala, benar-benar telah pergi. Hanya aku saja yang tidak menerima sampai memimpikan dia seperti itu. Namun, hal yang tadi terasa nyata bagiku. Sentuhan lembutnya sangat nyata, hingga aku lupa akan kenyataan bahwa dia, Kala memang tidak bisa datang menjumpaiku lagi. Dia telah tiada, tenang di sana.
      Satu kata yang ingin ku katakan padanya. Perkataan maaf yang belum sempat kusampaikan. Maaf karena aku, telah membuangmu dulu. Aku, Rani, Ibu kandungmu Kala. Bertanya pada diri sendiri, apakah ini yang dirasakan Kala saat aku meninggalkan dia di bawah jembatan saat dia bayi? Kejam sekali diriku. Benci dan marah kepada diriku karena telah membuat anak sebaik itu mengingin-inginkan kematian ketika ia sudah remaja. Rasa menyesal yang selalu datang di akhir ini membuat ku semakin sakit, amarah yang sangat begejolak pada diriku. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali. Maafkan Mama, Kala. Kala pasti bahagia di sana. Ini, kata maaf untukmu, Kala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H