"Tapi..." ragu ia untuk melanjutkan perkataannya. Ada apa? Bukankah wajahnya tadi tampak bahagia, mengapa berubah menjadi murung dalam sekejap? "Ada apa, Mel?" tanyaku untuk memastikan keadaanya. Ia menggeleng kecil dan tersenyum manis kepadaku untuk mengisyaratkanku bahwa tidak apa-apa. "Nggak, gak ada apa-apa, kok, Bu. Terima kasih ya, Bu, udah ngajar di sekolah ini, Kala jadi punya guru yang bisa jadi pendengar cerita Kala, dan yang paling penting, terima kasih banyak karena telah mengajarkan Kala apa tu hidup dan terus bertahan hidup. Terima kasih banyak, nanti Kala balas kebaikan Ibu. Hehe" jawabnya dengan perkataan yang manis, namun tersirat akan sesuatu.
      "Nanti, minggu depan kita jalan-jalan bareng, yuk. Kita ke kafe langganan Ibu, di seberang. Ibu traktir." Ajakku kepada Kala. "Ayok!" semangat ia. Aku mengancungkan jari kelingking sebagai tanda perjanjian. Sadar apa yang harus Kala lakukan, ia juga mebalas dan merekatkan jari kelingking nya dengan jari kelingking ku. Membuat perjanjian.
      "Janji bertahan hidup, ya? Harus janji sama Ibu, ya." ucapku
      "Iya Ibu. Tenang saja, ga akan terjadi apa-apa, kok." jawabannya menenangkan pikiran ku yang sedang kacau karena memikirkannya. Sebenarnya aku memiliki pemikiran yang sedikit buruk. Namun, aku buang jauh-jauh. Karena saat itu aku berpikir apa yang Kala janjikan itu benar dan serius. Ternyata, dua hari setelah obrolan yang disebut deeptalk bersama Kala, ada kabar yang mengatakan bahwa murid kesayanganku, Kala, tanggal 14 Maret 2009 telah menemukan rumah yang sesungguhnya. Ia telah bertemu dengan Tuhan yang sangat ia inginkan.
      Tak sadar, air mata yang telah jatuh tanpa seizinku membasahi pipiku. Pesananku telah datang ternyata. Aku sungguh tidak menyadari kedatangan pesananku. Sudah brapa lama aku melamun?
      "Kok melamun, Bu? Dimakan dong, nanti ga enak lagi, lho."
      Suara yang sangat aku kenali terdengar dekat denganku. Mataku terpaku Ya, seseorang telah duduk di bangku depan ku. Jadi, kami berhadapan. Aku kenal ia, sangat kenal.
      "Kenapa Ibu melihat Kala begitu? Kaget, ya?" katanya dengan nada yang sedikit mengejek. Kala, ia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan baju yang sama dengan terakhir kali ia pakai. Sempat berpikir, apakah ini arwahnya?
      "Kala? Kala sayang?" tanyaku bingung, memastikan apakah ini benar atau halusinasiku karena aku sedang lelah. Aku mencoba menyentuh pipinya yang lembut dan chubby. Ya, ia asli, ini asli. Â
      "Kok kamu bisa ada di sini?" tanyaku lagi. "Lho, kan Ibu yang mengajak Kala kesini. Ibu traktir." jawabnya. "Iya, tapikan..." aku tak ingin melanjutkan ucapan ku yang sangat sensitif. Kala tersenyum manis, persis seperti Kala yang ku kenal.
      "Tapi apa, Bu? Tapi Kalakan sudah tiada? Kala tau kok." sahutnya dengan nada yang santai. Dia tahu dia akan meninggal. Semakin bingung aku dibuatnya.