Ramai. Pembicaraan dari mulut ke mulut yang tak hanya satu orang atau dua orang berbicara, namun banyak. Itu membuatku sedikit membingungkan harus dengar yang mana. Diri yang berada di sini, tidak seperti jiwa yang entah lari kemana. Pikiran yang masih mengingat kejadian tiga bulan yang lalu. Cukup berat bagiku untuk melupakannya secepat itu. Waktu, membutuhkan waktu yang cukup panjang. Begitu banyak suara yang bermunculan di kepala ku, namun pikiran yang kosong.
      "Kok melamun? Apa yang dipikirin, sih?" seketika lamunan ku dihancurkan oleh tepukan kecil di pundakku dari teman kantor.
"Iya, dari tadi ga dengerin kita gosip keknya." sahut temanku yang satunya.
      "Oh! Kau pasti sedang memikirkan anak muridmu yang tersayang, ya? Dimana dia? Biasanya datang atau memanggilmu untuk menemaninya makan siang!"  ucapan yang cukup menyayat hatiku keluar dari bibir salah satu temanku, Ara.
      "Sstt, ngapain, sih, Ra?" bisik temannya kepada Ara. Mata mereka saling betemu, tatapan yang menunjukkan makna tertentu, bak telepati. Teman Ara, Vielta membisikkan sesuatu kepada Ara. "Oohh" gumam Ara kecil, mengangguk kecil tanda paham tentang yang diisyaratkan oleh Vielta. Bulir-bulir keringat memenuhi dahi Ara. Ia jelas panik karena salah bicara. Namun, tidak kupedulikan. Banyak kasusnya seperti yang tadi.
      "Aku pergi makan siang dulu di kafe seberang, ya." pamit ku dengan mereka. Ku perintahkan kaki ku untuk berlangkah menuju kafe yang berada di seberang sekolah tempat kerjaku. Kecil, namun sederhana. Memperlihatkan suasana yang nyaman bak di desa. Tempat yang jarang dikunjungi, namun itu adalah tempat ternyamanku, langgananku. Kafe itu mengingatkan ku tentang seseorang.
Klang Klong
      Bell lonceng yang berada di dekat pintu mengeluarkan suara saat aku membuka pintu kafe. Saat ini, semua mata tertuju pada ku. Dengan ramah pelayan melayaniku dan mengantarkan aku ke tempat duduk, lalu memesan kopi dan sandwich. Menunggu pesananku datang sembari menopang dagu. Pikiran tentang ucapan Ara pun datang menghampiriku. Susah bagiku untuk melupakannya. Dia yang telah tiada, sangat susah untuk dilupakan. Satu persatu, memori tentangnya terputar di otak bak vidio.
***
       Pada tanggal 12 Maret 2009, tiga bulan yang lalu di sebuah kantor tempat kerja ku.
      "Ibu senang kamu membuat pilihan yang bagus!" ucapku untuk menyemangati salah satu muridku, Kala. "Iya! Kala akan tetap hidup, apapun yang terjadi pada Kala, Kala akan mengabari Ibu." tutur anak itu. Dia Kala, murid kesayangku. Selama ini ia hanya hidup bersama kakak pertamanya, keluarga yang telah berpencar-pencar. Ditinggal oleh ibu kandung saat bayi, ayah kandung yang memiliki keluarga baru yang lebih baik hingga meninggalkan Kala pada usia 5 tahun. Miris, namun dia tetap bertahan hidup. Hebat.