Mohon tunggu...
Edi Winarno AS
Edi Winarno AS Mohon Tunggu... Lainnya - Terus Belajar

Menyukai Dunia Tulis-Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendesain Sekolah Sebagai Model Lingkungan Kebudayaan

20 April 2018   20:27 Diperbarui: 20 April 2018   21:32 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dalam meningkatkan sarana dan prasarana budaya di sekolah model perlu disesuaikan dengan kebutuhan, jenis budaya dan kearifan lokal (local wisdom) daerah masing-masing. Hal ini dimaksudkan bahwa  penguatan pendidikan karakter perlu didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal atau budaya lokal setempat. Dan pada dasarnya, budaya nasional bangsa Indonesia juga merupakan agregat dari hasil usaha penggalian              budaya-budaya daerah atau lokal yang kemudian menjadi unggulan.

Tersedianya sarana dan prasarana budaya yang memadai di sekolah model akan berdampak positif bagi sekolah lainnya, antara lain sekolah di sekitarnya akan ikut termotivasi untuk berupaya meningkatkan sarana dan prasarana budaya atau setidaknya bisa saling bekerja sama untuk belajar budaya bersama.

Dengan adanya seperangkat gamelan Jawa di sekolah model, misalnya, maka sekolah lain di sekitarnya bisa ikut belajar bersama tentang gamelan Jawa atau seni karawitan di sekolah model tersebut. Karena untuk membeli seperangkat gamelan Jawa tentu harganya sangat mahal atau memerlukan dana hingga ratusan juta.

Kedua, memasukkan muatan lokal budaya daerah dalam kurikulum. Hal ini juga sangat penting dalam upaya penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Beragamnya seni dan budaya di Indonesia merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya yang harus tetap dilestarikan.

Muatan lokal ialah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar (E. Mulyasa, 2006: 273).

Muatan lokal yang dimasukkan dalam kurikulum pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki beraneka ragam  adat-istiadat, kesenian, tata cara, tata krama pergaulan, bahasa, dan pola kehidupan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Sebagai contoh, dimasukannya muatan lokal budaya membatik  di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dengan tujuan untuk melestarikan batik seutuhnya sekaligus memperkenalkan batik ke generasi muda, maka Pemerintah Kota Pekalongan memasukkan batik dalam mata pelajaran. Pemerintah Kota Pekalongan juga rajin menggelar Training of Trainer (TOT) membatik bagi para guru di Kota Pekalongan (Tribun Jateng, 23/01/2018). 

Kita ketahui bersama, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) telah menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009. Ini merupakan tonggak penting diakuinya salah satu budaya asli Indonesia di pentas dunia.

Namun perlu kita sadari bersama, bahwa pasar batik Indonesia sedang digempur habis-habisan oleh pelaku dagang yang umumnya dari China, Pakistan dan India. Mereka melempar "kain serupa batik" ke pasaran dengan harga yang relatif murah. Para pedagang batik kita menyebutnya dengan batik printing atau kain yang ada corak menyerupai batik.

Padahal, jika ditilik dari filosofi batik dan penghargaan yang diberikan UNESCO pada kita yaitu batik khas Indonesia yang melalui proses seni "cap dan tulis". Jadi batik khas Indonesia tetap akan mendapat tempat dan diminati oleh pasar domestik maupun internasional. Untuk itu, kita patut berbangga dengan penghargaan UNESCO, namun apa jadinya jika generasi muda atau para pelajar tak mau lagi melestarikannya.

Ketiga, meningkatkan sinergi kerjasama antara sekolah, orang tua dan komite sekolah dalam hal budaya. Sinergi kerjasama tersebut sangat penting misalnya untuk mendorong sekolah menjalin aktivitas budaya dengan sanggar-sanggar budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun