Mohon tunggu...
Edi Winarno AS
Edi Winarno AS Mohon Tunggu... Lainnya - Terus Belajar

Menyukai Dunia Tulis-Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendesain Sekolah Sebagai Model Lingkungan Kebudayaan

20 April 2018   20:27 Diperbarui: 20 April 2018   21:32 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekolah merupakan lembaga formal yang didaulat sebagai tempat untuk mencetak insan pendidikan mulia yang berkarakter unggul dalam rangka pembangunan nasional Indonesia. Hal ini tentu bukan perkara mudah dan perlu berbagai terobosan strategis mengingat saat ini telah memasuki era Generasi Z.

Pemerintah kini sedang menggalakkan sekolah sebagai model lingkungan kebudayaan dalam upaya untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter berbasis budaya. Proses pendidikan tentu tak pernah lepas dari faktor budaya. Budaya merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang sudah mengakar kuat, sehingga perlu ditanamkan sejak dini dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah proses pendidikan.

Menurut konsep yang dikemukakan oleh Freeman Butt dalam bukunya yang terkenal "Cultural History of Western Education", bahwa pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.

Konsep tersebut di atas memberikan pandangan pada kita tentang pendidikan sebagai proses penyesuaian diri secara timbal balik, baik memberi maupun menerima pengetahuan yang tak lepas dari  unsur-unsur kebudayaan, sehingga akan terjadi perubahan pada diri manusia ke arah yang lebih baik dan kebudayaan yang ada tetap dapat dilestarikan.

Gerusan arus globalisasi yang bertubi-tubi dikhawatirkan dapat mengikis budaya-budaya luhur bangsa. Tanpa adanya pendidikan karakter berbasis budaya akan membawa ke sebuah kondisi dimana bangsa ini akan merasa "terasing" di negerinya sendiri.

 Tingginya tingkat pertukaran informasi global yang mengandung virus-virus budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya luhur bangsa memang harus diantisipasi. Namun harus kita sadari bahwa kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi (information of technology/IT) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari.

Generasi muda harus mengenal budaya luhur bangsanya. Sekolah harus mengambil peran dalam transformasi budaya yang bisa mengoptimalkan pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi muda, sehingga generasi muda kita memiliki karakter yang kuat sebagai para calon pemimpin bangsa yang bermartabat.

Penguatan Pendidikan Karakter

Sekolah sebagai model lingkungan kebudayaan merupakan salah satu upaya dalam rangka penguatan pendidikan karakter berbasis budaya. Ini merupakan tantangan besar yang tak bisa dibilang mudah bagi para stakeholder pendidikan kita.

Beberapa hal penting untuk dilakukan dalam rangka mendesain sekolah sebagai model lingkungan kebudayaan, pertama, meningkatkan sarana dan prasarana budaya. Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor penting yang mendukung proses pembelajaran atau transformasi budaya di sekolah.

Meningkatkan sarana dan prasarana budaya di sekolah model memang membutuhkan alokasi biaya yang sangat tinggi. Namun dengan adanya dukungan anggaran dari pemerintah yaitu melalui kebijakan tentang skema pembiayaan Pemajuan Kebudayaan dengan mengalokasikan minimal 2,5% anggaran khusus dari APBN/APBD atau Bantuan Operasional Kebudayaan (BOK) tentu akan sangat membantu. Diharapkan Bantuan Operasional Kebudayaan tersebut selain untuk mendukung aktivitas budaya di sanggar-sanggar dan komunitas seni budaya, juga dapat dipergunakan untuk mendukung aktivitas budaya khususnya di sekolah model.

 Dalam meningkatkan sarana dan prasarana budaya di sekolah model perlu disesuaikan dengan kebutuhan, jenis budaya dan kearifan lokal (local wisdom) daerah masing-masing. Hal ini dimaksudkan bahwa  penguatan pendidikan karakter perlu didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal atau budaya lokal setempat. Dan pada dasarnya, budaya nasional bangsa Indonesia juga merupakan agregat dari hasil usaha penggalian              budaya-budaya daerah atau lokal yang kemudian menjadi unggulan.

Tersedianya sarana dan prasarana budaya yang memadai di sekolah model akan berdampak positif bagi sekolah lainnya, antara lain sekolah di sekitarnya akan ikut termotivasi untuk berupaya meningkatkan sarana dan prasarana budaya atau setidaknya bisa saling bekerja sama untuk belajar budaya bersama.

Dengan adanya seperangkat gamelan Jawa di sekolah model, misalnya, maka sekolah lain di sekitarnya bisa ikut belajar bersama tentang gamelan Jawa atau seni karawitan di sekolah model tersebut. Karena untuk membeli seperangkat gamelan Jawa tentu harganya sangat mahal atau memerlukan dana hingga ratusan juta.

Kedua, memasukkan muatan lokal budaya daerah dalam kurikulum. Hal ini juga sangat penting dalam upaya penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Beragamnya seni dan budaya di Indonesia merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya yang harus tetap dilestarikan.

Muatan lokal ialah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar (E. Mulyasa, 2006: 273).

Muatan lokal yang dimasukkan dalam kurikulum pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki beraneka ragam  adat-istiadat, kesenian, tata cara, tata krama pergaulan, bahasa, dan pola kehidupan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Sebagai contoh, dimasukannya muatan lokal budaya membatik  di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dengan tujuan untuk melestarikan batik seutuhnya sekaligus memperkenalkan batik ke generasi muda, maka Pemerintah Kota Pekalongan memasukkan batik dalam mata pelajaran. Pemerintah Kota Pekalongan juga rajin menggelar Training of Trainer (TOT) membatik bagi para guru di Kota Pekalongan (Tribun Jateng, 23/01/2018). 

Kita ketahui bersama, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) telah menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009. Ini merupakan tonggak penting diakuinya salah satu budaya asli Indonesia di pentas dunia.

Namun perlu kita sadari bersama, bahwa pasar batik Indonesia sedang digempur habis-habisan oleh pelaku dagang yang umumnya dari China, Pakistan dan India. Mereka melempar "kain serupa batik" ke pasaran dengan harga yang relatif murah. Para pedagang batik kita menyebutnya dengan batik printing atau kain yang ada corak menyerupai batik.

Padahal, jika ditilik dari filosofi batik dan penghargaan yang diberikan UNESCO pada kita yaitu batik khas Indonesia yang melalui proses seni "cap dan tulis". Jadi batik khas Indonesia tetap akan mendapat tempat dan diminati oleh pasar domestik maupun internasional. Untuk itu, kita patut berbangga dengan penghargaan UNESCO, namun apa jadinya jika generasi muda atau para pelajar tak mau lagi melestarikannya.

Ketiga, meningkatkan sinergi kerjasama antara sekolah, orang tua dan komite sekolah dalam hal budaya. Sinergi kerjasama tersebut sangat penting misalnya untuk mendorong sekolah menjalin aktivitas budaya dengan sanggar-sanggar budaya.

Untuk memotivasi siswa untuk mengenal dan belajar tentang budayanya, maka perlu ada program "Budayawan Masuk Sekolah". Ini akan lebih mendekatkan siswa pada tokoh-tokoh budaya, yang pada gilirannya akan semakin menguatkan motivasi siswa.

Sinergi kerjasama ini juga dapat mendorong sekolah untuk mengikutkan siswa pada ajang festival budaya yang ada atau bahkan bisa menggelar festival budaya sendiri di sekolah. Diharapkan ajang festival budaya dijadikan agenda rutin, karena proses penguatan pendidikan karakter tentu tidak bisa serta-merta.

Saat ini festival atau pentas budaya juga sedang digalakkan oleh pemerintah. Bahkan sudah mulai dipentaskan di mal atau pusat perbelanjaan. Ini merupakan salah satu gebrakan penting mengingat mal atau pusat perbelanjaan umumnya banyak dibanjiri oleh pelajar dan generasi muda. Ajang tersebut memberikan peluang bagi siswa untuk ikut ambil bagian menampilkan berbagai kreasi seni dan budayanya.

Dengan demikian, menjadikan sekolah sebagai model lingkungan kebudayaan merupakan upaya penting dalam rangka penguatan pendidikan karakter berbasis budaya. Sehingga diharapkan dapat mencetak insan pendidikan mulia yang berkarakter unggul dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun