Aku mau marah! Aku tak peduli, aku muak, aku...
"Aaahh!"
Dasar jalang, setan, kobis! Tak seharusnya suratan ini tertulis seperti ini. Semestinya nilaiku tak diberi warna merah, tak dicetak miring! Apa kamu tak pernah mengerti? Apa kamu sama saja seperti mereka-mereka yang melihat dari sisi ha ha hi hi, kesopan-santunan yang menutupi perkosaan verbal maupun fisik yang telah berlangsung tahunan?
"Ha!"
"Hei"
Kenapa kau masih saja tak bergeming? Tanganmu masih saja diam tak bereaksi? Tulis! Ganti! Seperti kenyataan yang hakiki! Keadaan yang terpapar selama ini, bukan basa-basi atas nama durhaka sang durjana.
"Durhaka!"
"Apa? Kau mengataiku durhaka?"
"Aaahh!"
Dasar jalang, setan, kobis! Tak seharusnya suratan ini tertulis seperti ini. Semestinya nilaiku tak diberi warna merah, tak dicetak miring! Paul meradang. Kenyataan yang ia bawa menguap begitu saja, tertelan udara panas yang berhembus dari bawah, tertelan udara sejuk dari langit. Sementara sosok di depan matanya masih saja kukuh pada pendiriannya, seperti karang yang teguh dimana diatasnya telah dibangun pondasi kesetiaan.
"Kamu bisa apa? Bagusan kakakmu, pinter, nilai sekolahnya bagus, tuh besok pasti bisa nyari uang banyak!"
"Kok bagus banget nilaimu, ah masak sih bisa bagus?"
"Kamu ndak boleh sekolah di Fakultas Hukum! Mau jadi apa kau!"
"Apa? Kamu mau masuk SMA favorit para gondrongers itu? Gimana kalau nanti kalau kamu goblok?"
"Kong, singkong, woi, singkong!"
"Aaahhh!" setan! Paul memukul-mukul bayangan-bayangan percakapan yang mendadak hadir dengan kecutnya. Sembilanpuluh sembilan persen negatif, penuh perkosaan verbal, pengkerdilan diri, anti motivasi. Sementara sosok besar yang ada di depannya masih saja dingin meski mampu melihat bayangan-bayangan percakapan itu.
"Durhaka!"
"Apa? Kau mengataiku durhaka?"
"Aaahh!"
Dasar jalang, setan, kobis! Tak seharusnya suratan ini tertulis seperti ini. Semestinya nilaiku tak diberi warna merah, tak dicetak miring! Paul meradang. Kenyataan yang ia bawa menguap begitu saja, tertelan udara panas yang berhembus dari bawah, tertelan udara sejuk dari langit. Sementara sosok di depan matanya masih saja kukuh pada pendiriannya, seperti karang yang teguh dimana diatasnya akan dibangun pondasi kesetiaan.
"Kau tidak menghormati ia, ibu"
"Tapi ia membuatku gila dengan perkosaannya!"
"Kau melanggar laranganNya, yaitu menghormati orangtua!"
"Durhaka!"
"Apa? Kau mengataiku durhaka?"
"Aaahh!"
"Aaahhh! Kobis!" Paul memukul-mukul kepalanya yang tak ada, sebab ia memang sudah tak ada, hanya seonggok jiwa, yang dinilai dengan tinta merah, nilai buruk, tercetak dengan huruf italik. Sang pembawa buku tak peduli dengan perlakuan sang wanita atas perjalanan hidupnya, sejak balita hingga tua. Yang ada hanya, kalimat-kalimat penghakiman, yaitu: kamu berdosa, kamu berdosa, kamu tidak menghormati orangtua!
"Aaahh!"
.
.
Jika aku senja, aku kan menawarimu cakrawala..
Jika aku malam, aku kan menyelimutimu dengan kiasan..
Namun aku bukan senja,
hanya mahluk durhaka saja katanya,
Yang duduk termangu di depan pagar kawat,
setelah sekian lama diperkosa lalu diberi nama sesat
.
.
*Catatan:Â
kobis = sayur kol (bahasa Jawa)
gondrongers = para lelaki berambut panjang (istilah saja)
.
.
Jogja, Juli 2024
miss sukarti dimejo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H