"Kamu bisa apa? Bagusan kakakmu, pinter, nilai sekolahnya bagus, tuh besok pasti bisa nyari uang banyak!"
"Kok bagus banget nilaimu, ah masak sih bisa bagus?"
"Kamu ndak boleh sekolah di Fakultas Hukum! Mau jadi apa kau!"
"Apa? Kamu mau masuk SMA favorit para gondrongers itu? Gimana kalau nanti kalau kamu goblok?"
"Kong, singkong, woi, singkong!"
"Aaahhh!" setan! Paul memukul-mukul bayangan-bayangan percakapan yang mendadak hadir dengan kecutnya. Sembilanpuluh sembilan persen negatif, penuh perkosaan verbal, pengkerdilan diri, anti motivasi. Sementara sosok besar yang ada di depannya masih saja dingin meski mampu melihat bayangan-bayangan percakapan itu.
"Durhaka!"
"Apa? Kau mengataiku durhaka?"
"Aaahh!"
Dasar jalang, setan, kobis! Tak seharusnya suratan ini tertulis seperti ini. Semestinya nilaiku tak diberi warna merah, tak dicetak miring! Paul meradang. Kenyataan yang ia bawa menguap begitu saja, tertelan udara panas yang berhembus dari bawah, tertelan udara sejuk dari langit. Sementara sosok di depan matanya masih saja kukuh pada pendiriannya, seperti karang yang teguh dimana diatasnya akan dibangun pondasi kesetiaan.
"Kau tidak menghormati ia, ibu"