"Apa? Harus pake "itu"?"
"I am affraid, yes.."
"Brapa?"
"Emm..."
Setan! Sejak berdirinya beton-beton besar di sawah-sawah yang dulunya hijau, tak terhitung banyaknya sanak saudara yang jatuh gila! Gila pada sebuah ucapan, "itu". Entah apanya yang buat "itu" menjadi sakti dan...
"Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun,"
"Tapi, dari mana uangnya?"
"Pokoknya kang..."
"Brapa?"
"Emm..."
Enak saja si Joni, minta-minta uang buat dapetin "itu". Bukannya aku tak mau, tapi.... Kang Bocil berkeluh kesah pada dirinya sendiri, sambil mengangkat-meletakkan cangkir kopi pahit tanpa meminum isinya sediktpun. Dia tak habis pikir, bagaimana "itu" bisa menjadi primadona banyak anak muda, termasuk si Joni-jontor yang sebenarnya badannya kuat, sekuat para tetangga yang dulunya adalah petani yang hebat, yang menghasilkan padi, jagung, kacang-kacangan, dan lainnya di sawah yang subur, dengan pengairan yang hebat, tertata, dan tentu saja menghasilkan panen yang hebat.
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun,"
"Dari mana uangnya?"
"Pokoknya kang..."
"Brapa?"
"Emm..."
Bayangkan! Uang segitu, segunung, sebukit! Bisa dibuat modal usaha Jon! Tunjuk kang Bocil pada bayangan Joni-jontor. Matanya merah, hatinya berdarah, sepertinya si adik tidak mau tahu, dan terus saja mendengung,
"Apa? Harus pake "itu"?"
"I am affraid, yes.."
"Brapa?"
"Emm..."
Banyak itu Jon! Teriak kang Bocil pada bayangan Joni-jontor. Ya, hanya pada bayangan adiknya, ia berani berteriak keras, marah, mengumpat, berteriak:
"Bajingan!"
"Sensor"
"Sensor"
"Sensor"
"Sensor"
"Sensor"
Tak berarti lagi perhitungan logis atas pengeluaran uang hanya untuk mendapatkan "itu" dengan perolehan atas penyerahan "itu" kepada beton-beton besar di sawah-sawah yang dulunya hijau. Kata orang pintar, cuma sekedar UMP, ditambah bonus itu, tunjangan anu, terus dipotong buat anu dan seterusnya,
"Terus kapan balik modalnya Jon?"
"Pokoknya kang..."
"Dengerin dulu Joni jontor, bukan aku tak mau membiayai kamu agar memperoleh surat "itu", tapi kalo seratus jutaan lebih itu cuma ditukar dengan upah minimum plus-plus, dan empat tahunan hanya dihargai dengan status "karyawan" apa kamu gak merasa rugi? Apa kamu bisa mengembalikan seratus jutaan lebih itu, dengan tabungan dari  upah minimum plus-plus dipotong pengeluaran sehari-hari sebulan-bulan, setahun-tahun?"
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Jon anak pinter, coba pikir bentar ya, kalo ni ya, seratus jutaan lebih kita jadikan modal usaha, kita tekuni, kamu bisa jadi bos Jon, bukan karyawan yang cuma dapat upah minimum plus-plus..."
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Apa? Harus pake "itu"?"
"I am affraid, yes.."
Setan! Sejak berdirinya pabrik-pabrik besar di sawah-sawah yang dulunya hijau, tak terhitung banyaknya sanak saudaraku yang jatuh gila! Gila pada sebuah ucapan, "itu". Entah apakah harus aku terjemahkan sebagai ijasah S1 atau S-teh! Tapi yang jelas, kini kulihat anak-anak muda sedang mengantri, mengemis pada empunya pabrik-pabrik besar di sawah-sawah yang dulunya hijau, sambil membawa kopian "itu" untuk ditukar dengan status karyawan dengan upah minimum plus-plus...
"Minimum plus-plus, minimum plus-plus, minimum plus-plus," kang Bocil bergumam seperti orang gila, sambil meratapi rumahnya yang tergadai.
"Kapan? Kapan bisa kutebus? Kapan? Kapan Jon? Mana gajimu Jon? Katanya kau sisihkan buat bayar cicilan utang-gadai?"
"Mana Jon?"
"Mana Jon?"
"Mana Jon?"
"Mana Jon?"
Klaten, 9 November 2023
Sawah hijau subur bisa jadi pabrik ya?
Aneh..
eh..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H