Sebagian orang yang sedang merasa sedih atau stres kerap mengatasi perasaannya dengan berbelanja.Â
Bagi mereka, baik berbelanja maupun sekadar window shopping diketahui dapat meningkatkan suasana hati. Fenomena ini dikenal sebagai retail therapy.Â
Namun, apakah retail therapy benar-benar efektif dalam meningkatkan kebahagiaan seseorang, atau justru dapat memicu perilaku konsumtif? Yuk, kita bahas lebih dalam aspek psikologis dari retail therapy!
Apa Itu Retail Therapy?
Retail therapy adalah situasi di mana seseorang pergi berbelanja dengan tujuan utama untuk merasa lebih baik.Â
Sebuah studi menunjukkan bahwa 62% pembeli membeli sesuatu untuk menghibur diri mereka, sementara 28% lainnya berbelanja untuk merayakan sesuatu.Â
Aktivitas ini dipercaya memberikan efek positif tertentu pada otak karena melibatkan unsur harapan dan kejutan.
Secara ilmiah, retail therapy memicu pelepasan endorfin, yaitu neurotransmitter yang membantu mengurangi rasa sakit dan meningkatkan perasaan senang.Â
Selain itu, endorfin bekerja bersama dopamin, yang dikenal sebagai "hormon bahagia." Setiap pengalaman belanja, baik offline maupun online, dapat melepaskan bahan kimia ini, menciptakan sensasi kebahagiaan sementara.
Namun, penting untuk diingat bahwa retail therapy tidak selalu berkaitan dengan perilaku konsumtif.Â
Banyak orang yang melakukan retail therapy mampu mengontrol pengeluarannya sehingga aktivitas ini tidak mengganggu kondisi finansial mereka.Â