Misalnya, seorang karyawan dengan gaji Rp5 juta per bulan mengambil cicilan iPhone seharga Rp1 juta per bulan.Â
Itu berarti 20% dari pendapatannya habis hanya untuk iPhone. Jika ada kebutuhan darurat, dia harus berutang lagi, menciptakan lingkaran setan utang konsumtif.
Kondisi ini mencerminkan ilusi prioritas. Banyak yang berpikir bahwa memiliki iPhone adalah langkah maju, padahal kenyataannya mereka justru mundur secara finansial.
Apakah iPhone Selalu yang Terbaik?
Secara teknis, iPhone bukanlah selalu yang terbaik. Banyak ponsel Android flagship menawarkan fitur lebih canggih dengan harga lebih murah. Namun, orang tetap memilih iPhone karena satu alasan: gengsi.
Misalnya, kamera iPhone terbaru memiliki resolusi 48 megapiksel, sementara beberapa ponsel Android di harga separuhnya memiliki kamera 108 megapiksel.Â
Meski demikian, orang lebih bangga memamerkan hasil foto dari iPhone, meskipun kualitasnya tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan bahwa persepsi sering kali lebih penting daripada kenyataan.
Kesimpulan: Mengatasi Obsesi yang Tidak Sehat
Obsesi terhadap iPhone di kalangan kelas menengah ke bawah mencerminkan kompleksitas antara tekanan sosial, gengsi, dan rendahnya literasi keuangan.Â
Masyarakat sering kali terjebak dalam ilusi bahwa memiliki barang mahal adalah simbol kesuksesan, meskipun hal itu justru membebani kondisi finansial mereka.Â
Di balik branding kuat Apple yang menawarkan eksklusivitas dan gaya hidup, terdapat jebakan konsumtif yang memengaruhi keputusan banyak orang.Â
Penting untuk menyadari bahwa kebahagiaan dan pencapaian hidup tidak ditentukan oleh merek ponsel, melainkan oleh kemampuan untuk bijak mengelola prioritas, kebutuhan, dan keuangan, tanpa terpengaruh tren atau tekanan sosial yang bersifat sementara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H